29. Pertemuan

5.9K 474 15
                                    

Danu Aji putrasena

Caramel Java Chip ukuran grande, Starbucks Bandara Adi Sutjipto.”

“Hah?” tanyaku yang masih tidak jelas dengan maksud perkataan Asti.

“Ya kalau mau aku maafin, beliin! Harus yang di bandara!” Mandatnya lagi.

Aku menggaruk belakang kepalaku. Masih tidak bisa mengerti dengan maksud Asti yang secara tiba-tiba minta dibelikan minuman dari cafe Starbucks di Bandara Adi Sutjipto.

“Harus yang di bandara, As? yang di outlet lain nggak mau?”

Asti menggeleng mantap. “Harus yang di sana.”

“Kamu hukum aku, ya?” tanyaku lagi untuk memperjelas. Banyak outlet Starbucks yang lebih dekat dari kantorku, tapi kenapa dia malah memilih outlet yang jauh? Jalan pikiran perempuan memang susah ditebak.

“Iya,” jawabnya singkat, “kalau nggak mau juga aku nggak maksa. Aku pulang aja sekarang.”

Asti yang sudah menyambar tasnya langsung aku cegah. “Jangan pulang dong. Iya Mas berangkat sekarang, tapi janji kamu jangan pulang dulu sebelum Mas datang. Oke.”

“Jangan lama, kalau lama aku pulang. Jangan lupa struknya kasih aku buat bukti kalau Mas benar-benar ke cafe yang di bandara.”

Begitulah kronologinya mengapa akhirnya aku berada di sini. Ikut mengantri bersama beberapa orang di depan ATM bandara karena lupa membawa uang cash saking terburu-burunya pergi tadi.
Sambil menunggu giliran, aku berlgelut dengan pikiranku tentang apa sebenarnya kesalahan yang sudah aku lakukan terhadap Asti sampai akhirnya aku dihukum begini. Bukannya tadi dia sendiri yang dengan ceroboh memakai celemek dari rumah sampai ke kantor? dan bukankah aku yang membantunya melepas celemek itu dan menyadarkan perbuatan bodohnya itu? lantas di mana letak kesalahanku? Jika aku diam saja dan tidak melepaskan celemek itu, bukannya akan menambah malu Asti saat perjalanan pulang nanti? dan kenapa pula jadi aku yang dihukum harus membelikan minuman kesukaannya di tempat yang jauh? Hah ... kepalaku pusing seketika.

Orang yang mengantri di depanku terlihat pergi setelah menerima panggilan telepon dan merelakan tempatnya untukku. Aku kembali mendapat pesan dari Asti yang bertanya sudah sampai di mana aku sekarang. Mengingat wajahnya yang merah padam tadi di kantor, membuatku mengulum senyum. Dia terlihat begitu menggemaskan tadi dengan wajah menahan malunya itu. Dadaku terkembang lagi dan sudah tidak memusingkan soal hukuman yang kujalani saat ini. Aku ikhlas melakukan apa saja untuk dia.

Danu:
Lagi ngantri ATM, lupa bawa cash. Sabar ya.

Asti:
Kan bisa pakai kartu belinya

Danu:
Sekalian mau narik uang transferan klien juga.

Asti:
Yah, lama lagi dong?

Begitu aku akan membalas pesan Asti, orang di dalam bilik ATM keluar. Aku segera mengakhiri chat dan melangkah masuk, ternyata kartu milik orang sebelumku masih tersemat di lubang kartu. Orang yang tertinggal kartu rupanya menyadari hal itu. Begitu aku membuka pintu ATM untuk mengembalikan pada pemiliknya, orang itu sudah berada di ambang pintu.

“Danu.”

“A ... Anggun?” ucapku sedikit terbata. Masih sulit percaya bahwa akhirnya aku bertemu dengannya lagi setelah sekian lama.

“Apa kabar?” sapanya sambil menyodorkan tangan.

“Baik.” Aku menyambutnya canggung dengan pikiran kosong.

OOOO

Bisa tebak apa yang terjadi selanjutnya? Aku malah duduk berhadapan dengan Anggun sambil ngopi di Starbucks. Entah apa yang tadi hinggap di kepalaku hingga mengiyakan ajakannya. Sekarang aku malah menyesal setengah mati karena tidak langsung menolak dan pergi dari sana secepatnya. Bertemu kembali dengan Anggun sungguh di luar prediksiku. Ada perasaan senang yang diiringi rasa sakit yang sudah terkubur dalam saat berjumpa kembali dengannya. Entahlah, saat ini pikiran dan hatiku sangat kacau. Badai yang kukira sudah reda dalam hati, nyatanya kembali datang begitu sosoknya muncul tepat di hadapanku.

Anggun terlihat sangat cantik di mataku saat ini. Bahkan jika boleh kukatakan, dia lebih terlihat cantik dibanding saat kami berpacaran dulu. Mungkin aku sudah tidak waras saat memikirkan hal itu, tapi itu memang kenyataan yang kulihat sekarang.

“Kerja di mana sekarang?” tanyanya.

“Baru buka kantor kecil-kecilan.”

Dia mengangguk-angguk. “Udah dapat klien?”

“Ada tapi belum banyak.”

Ada jeda sesaat di antara kami.

“Waktu tahu kalau kamu resign dari kantor lama terus menjual semua aset kamu di Jakarta, aku sangat menyayangkan lho, Nu. Kamu udah tergolong mapan di sana, tapi kamu malah memilih pulang kampung dan ...” Anggun tidak melanjutkan kata-katanya.

Ada rasa kesal begitu mendengar semua yang dia lontarkan tadi. Bagaimana bisa dia dengan begitu entengnya berbicara seperti tadi seolah-olah dia bukan sumber dari segala keputusan yang aku ambil dulu? Apa Anggun masih tidak sadar kalau aku memilih mengakhiri karirku di Jakarta dan pulang ke kampung halaman itu semua dia penyebabnya?

“Harusnya sebelum kamu bilang begitu, kamu tanya dulu alasan aku melakukan semua itu,” sergahku tajam.

I’m sorry.”

Kami kembali terdiam. Aku melihat koper yang Anggun bawa sejak tadi, rasa penasaran tentang mengapa Anggun bisa berada di Yogyakarta mulai menggelitik.

“Kamu ke Jogja ngapain?” tanyaku sekaligus menyudahi pembicaraan sensitif kami tadi. Aku sudah tidak berminat untuk melanjutkannya.

“Oh, Alfian merit minggu ini. Dia dapat orang Jogja, makanya acaranya di sini nggak di Jakarta.”

“Alfian? Sepupu kamu itu?” aku sedikit lupa dengan saudara Anggun yang sempat beberapa kali bertemu denganku itu.

“Iya. Nggak nyangka kamu masih ingat sama dia.” Senyum Anggun terbit lagi. “Papa, Mama sama semua saudaraku udah di sini dari dua hari yang lalu. Aku baru bisa nyusul sekarang soalnya sibuk banget di kantor.”

Kini aku yang giliran manggut-manggut. “Jelaslah, manajer baru pasti kerjaannya tambah banyak dong, ya,” ucapku tanpa bermaksud menyindir.

“Maksud kamu apa ngomong kayak gitu? nyindir?”

“Siapa yang nyindir, sih?”

Aku mulai menyadari bahwa pembicaraan ini sudah mulai merambah ke arah yang lebih sensitif lagi.

“Oke, aku minta maaf atas apa yang sudah terjadi. Aku salah, aku minta maaf. Tapi kamu nggak perlu pake nyindir-nyindir soal kerjaan aku segala, dong!”

“Nggun, kamu pasti salah paham. Aku nggak nyindir kamu sama sekali.”

“Terus apa namanya? Kamu jelas-jelas nyinggung soal kerjaan aku yang menurut kamu itu sumber kehancuran hubungan kita, kan?”

“Lho, memang itu kenyataannya! Kamu milih putus dari aku karena jabatan itu. Kamu lebih memilih karir kamu dibanding aku. Salah kalau aku berpikiran itu semua penyebabnya? Atau kamu ada pembelaan lain?”

Tanpa kami sadari, pertengkaran itu membuat kami berdua menjadi bahan tontonan orang-orang di sana, dan telepon dari Asti membuatku tersadar bahwa masih ada hal penting yang harus kuurus dibanding semua omong kosong ini.

OOOO

Menikah Denganmu (Completed)Where stories live. Discover now