7. Curhat Sahabat

6.5K 517 6
                                    

Danu Aji Putrasena

Aku bertandang ke bengkel milik Sigit, salah satu sahabatku di sini. Walau aku sudah tidak pulang ke Jogja hampir empat tahun lamanya, tapi suasana di bengkel yang sering ramai ini masih tampak sama. Sigit menyambutku dengan pelukan hangatnya dan kami berbincang akrab sekali. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, dari penglihatanku dia semakin gemuk saja dari yang terakhir aku ingat.
Pembicaran kami banyak di dominasi oleh obrolan masa lalu antara kami sampai ke masa-masa saat aku masih bermukim di Jakarta. Sigit hampir memuntahkan kopi yang dia minum saat mendengar bahwa aku sudah memutuskan untuk menetap di Jogja dan menjual semua harta bendaku selama tinggal di Jakarta.

“Edan kamu, Nu. Benar-benar edan! Cuma masalah putus cinta dan patah hati, kamu melepaskan semua yang kamu punya di Jakarta? Bukannya karir kamu sudah bagus di sana? Apa nggak sayang semua kerja keras yang sudah kamu raih selama ini kamu tinggalkan begitu saja?”

“Kamu bukan orang pertama yang bilang begitu sama aku. Ya kenyataanya begitu kok.” Aku hanya tersenyum tipis saja.

“Aku merasa nggak akan sanggup lagi hidup di bawah langit yang sama dengan Anggun, semua tempat di Jakarta punya kenangan tersendiri tentang dia. Kalau aku mau move on ya harus pergi dari sana, kan?” lanjutku.

“Apa kamu yakin bisa move on? secara hubunganmu aja sudah tujuh tahun, itu kalau ibarat anak sekolah sudah kelas satu SMP kamu itu!”
Aku tertawa kecil mendengar candaan Sigit. Tetiba aku menyadari bahwa rentang waktu yang aku habiskan bersama Anggun sangatlah lama.

“Ya harus dicoba. Aku juga nggak mau sedih lama-lama, aku sudah menganggap kalau Anggun itu bukan jodohku. Makanya aku mau menyerah dan memulai hidup baru di sini. Coba ikhlas ajalah.”

“Kalau kamu sudah ikhlas, nggak mungkin kamu kabur ke sini. Kamu pasti tetap di Jakarta dan nggak akan mengorbankan semua yang kamu punya di sana. Itu artinya kamu masih belum bisa terima dan belum bisa ikhlas.”

Aku sedikit termenung mendengar semua penjabaran Sigit dan ternyata dia memang benar. Bahwa aku masih belum bisa mengikhlaskan semua yang terjadi, aku masih sulit untuk menerima keputusan Anggun yang menurutku konyol itu dan masih tidak rela jika melihat Anggun yang terlihat baik-baik saja padahal aku hancur seperti ini.

“Aku butuh waktu, Git. Semua ada prosesnya, aku juga nggak mau terus sedih begini. Kamu bukannya dukung aku buat move on malah bikin aku tambah bingung aja! bahas yang lain aja!” protesku.

“Iya, maaf. Oh ya, Asti gimana kabarnya?”

“Ada apa kamu tiba-tiba nanyain dia?” tatapku curiga.

“Lama aja nggak lihat dia. Biasanya kan kalau mobilnya mogok pasti ke sini, terus sering ngobrol-ngobrol juga sama dia.”

“Jangan macam-macam, sampean. Dia sudah punya pacar!”

“Tahu, beberapa kali Asti kalau mau ambil mobil suka diantar pacarnya itu. Chandra to namanya?”

Tiba-tiba muncul rasa penasaran terhadap sosok yang bernama Chandra itu. “Kayak gimana orangnya?” tanyaku.

“Ganteng, tinggi—”

“Bukan itu, maksudku sifatnya?”

“Ya nggak tahu, aku belum pernah ngobrol sama dia. Kok nggak kamu tanyain Asti sendiri, malah tanya aku.”

Dab, kalau aku tanya langsung Asti bisa-bisa dia pikir aku lagi interogasi dia.”

“Lha kamu malah interogasi aku. Mana aku tahu Chandra itu kayak gimana orangnya, la wong tiap ketemu cuma sebentar je.”

“Aku tuh nggak mau Asti mengalami sakit hati kayak yang aku rasakan. Pacaran lama-lama nggak tahunya salah orang. Makanya aku harus tahu dulu siapa dan bagaimana si Chandra itu sebenarnya.”

“Ya kalau kamu mau tahu bukannya malah harus ketemu langsung to sama orangnya? Undang makan malam aja ke rumah, biar sekalian ketemu bapak dan ibumu.”

“Masalahnya, Asti udah sering ngajak dia ke rumah tapi orangnya nolak terus dengan berbagai alasan. Sibuklah, manggunglah.”

“Namanya juga anak band yang sedang merintis karir.”

Mataku kembali memicing. “Kok kamu tahu dia anak band?”

“Kan pernah dikenalin Asti waktu ke sini. Asti bilang Chandra itu anak band, gitarisnya malah.” Aku hanya manggut-manggut saja tidak tahu apalagi yang harus dikatakan.

“Terus rencanamu apa sekarang? Mau jadi pengangguran terus?” kulihat Sigit tertawa puas saat mengataiku pengangguran.

“Ya aku mau merintis karirku di sini, mulai dari nol lagi nggak apa-apa. Dengan modal pengalaman dan nama, aku yakin bisa sukses juga di sini.”

“Mau gabung firma lagi po?”

Sebelum aku menjawab, aku menyeruput kopi hitam yang sejak tadi aku biarkan karena terlalu asik mengobrol dengan Sigit. Kopinya sudah agak dingin tapi masih nikmat diminum.

“Rencana aku mau bangun firmaku sendiri. Uang hasil jual rumah dan mobil di Jakarta mau aku pakai buat modal. Kalau aku bisa sukses di Jakarta, masa aku nggak bisa sukses di kampungku sendiri.”

OOOO

Menikah Denganmu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang