10. Berbeda

6.2K 540 3
                                    

Pinasti Rara Anjani

Sejak semalam, Mas Danu menjadi sosok yang aneh dan menyebalkan menurutku. Saat kami ngopi di Jalan Mangkubumi semalam, Mas Danu terus berbicara sesuatu yang aneh dan cenderung menyudutkan hubunganku dan Chandra. Dia terus mengiterogasiku dengan bertanya macam-macam tentang Chandra, seolah Mas Danu sudah berubah kepo.

Yang paling menyebalkannya lagi, saat dia mengusulkan agar aku memutuskan Chandra karena Mas Danu menilai bahwa Chandra itu tidak serius berhubungan denganku dan aku disuruh untuk mencari laki-laki lain yang lebih serius dan matang soal pemikiran dan pernikahan.

“Iya aku memang mau nikah tapi nggak gitu juga dong Mas usulnya. Masa suruh aku putusin Chandra, sih?” aku mencebikkan bibir begitu usulan Mas Danu tentang memutuskan Chandra meluncur dari mulutnya.

“Terus kamu mau nunggu dia siap sampai kapan? Untuk datang ke rumah aja dia nggak berani, apalagi menikahi kamu!” ledeknya.

“Dia kan sibuk, Mas. Namanya juga lagi merintis karir, lagi sibuk-sibuknya.”

“As, cari pacar itu yang pasti-pasti aja kerjanya. Kalau kayak Chandra gitu kan risikonya banyak. Kamu sering ditinggal ke luar kota, penghasilan dari manggung band indie itu nggak tentu, belum lagi kalau dia punya fans cewek-cewek fanatik.”

“Mas Danu kok jadi jelek-jelekkin Chandra, sih?”

Aku benar-benar tidak mengerti dengan sikap Mas Danu yang berubah drastis begini. Perasaan selama ini dia mendukung hubunganku dengan Chandra, sama seperti aku mendukung hubungannya dengan Mbak Anggun itu. Kenapa sekarang dia menjadi berubah sinis begini tentang Chandra? Sebenarnya ada apa?

“Lho aku nggak jelekkin dia, aku cuma mau kamu berpikir lagi soal apakah memang Chandra itu layak untuk kamu atau nggak.” Begitu jawabnya.

“Yang jalanin hubungan itu aku, yang tahu Chandra itu juga aku. Jadi Mas Danu nggak usah repot urusin hubungan aku! Dan dengan siapa aku akan menikah itu juga urusanku!”

Aku sudah sangat muak dengan topik obrolan malam itu. Aku berdiri dan menunggunya untuk bangkit dan segera mengantarku pulang ke rumah. Tapi ditunggu-tunggu, Mas Danu sama sekali tidak berniat untuk pergi dari warung kopi itu.

“Mau pulang nggak? Kalau Mas masih mau di sini, aku pulang sendiri,” ancamku.

“Mas cuma mau yang terbaik buat kamu, As. Supaya kamu nggak mengalami sakit hati seperti yang mas rasain. Mumpung hubungan kamu sama Chandra itu belum terlalu lama, sebaiknya kamu tanyakan sejauh mana keseriusan dia sama kamu.”

“Kalau memang hubungan Mas Danu bubar, bukan berarti Mas harus ngomporin aku juga untuk bubar! Chandra nggak sama dengan Mbak Anggun.” Aku mulai menyalak dan berjalan untuk menyetop taksi yang masih banyak berseliweran di jalan.

Tanganku dijegal Mas Danu. “Kamu bilang sama Chandra kapan dia siap nikahin kamu. Karena kalau nggak, aku yang akan nikahin kamu!”

Sesaat lalu aku merasa seperti ada petir yang menyambar-nyambar hatiku. Apa aku tidak salah dengar? Mas Danu habis makan apa sampai ucapannya ngelantur semua begini?
Naluriku langsung refleks melepaskan diri dari dia dan berusaha menjauh sejauh mungkin darinya. Tapi lagi-lagi tanganku dijegal dan kali ini lebih kuat dari sebelumnya.

“Asti, mas serius sama ucapan mas tadi. Kamu mau kan menikah sama aku?”

Jelas aku tidak salah dengar, sudah dua kali Mas Danu berbicara hal yang sama soal menikahiku. Apa yang sebenarnya terjadi dengan masku itu, apa patah hati akut yang dia rasakan mulai mempengaruhi otak sehingga dia bicara ngawur?

“Aku pulang sendiri aja, Mas.”

Di saat bersamaan ada sebuah taksi melintas dan tanpa pikir panjang aku langsung menyetopnya. Pergi secepat mungkin dari sana sangat aku perlukan sekarang.

OOOO

Aku sengaja mengurung diri di dalam kamar dan melewatkan waktu sarapan bersama. Aku sedang tidak berminat untuk bertemu dengan Mas Danu yang masih membuatku kesal itu. Tadinya aku tidak akan pergi ke butik kalau tidak ingat ini adalah hari kepulangan Chandra ke Jogja dan dia janji akan bertandang ke butik dan menjemputku saat jam makan siang nanti.

“Pak, Bu, aku berangkat ya.” Aku menyalimi tangan orang tuaku sebagai bekal restu dari mereka dalam menjalani hari.

“Kamu nggak sarapan dulu?” tanya Ibu yang mulai membereskan meja makan.

“Nggak, nanti aja di butik.”

“As, tuh masmu sudah di depan lagi panasin mobil.” Bapak yang terlihat sedang membaca koran hari ini menengokkan kepala sekilas ke arah halaman depan rumah.

“Aku pergi naik taksi aja deh, nggak usah diantar,” elakku.

“Lho, kenapa? Sekalian jalan, masmu juga mau lihat-lihat ruko yang dijual buat jadi lokasi kantor dia nanti.” Ibu membawa piring kotor menuju dapur.

“Tunggu apalagi? Udah sana berangkat, nanti kesiangan.” Mungkin Bapak terganggu melihat gelagatku yang seperti ulat keket.

Dengan bahu yang turun dan langkah kaki yang lesu, aku terpaksa berjalan menuju teras. Terlihat Mas Danu sudah mencuci bersih mobil hingga kinclong dan sudah memanaskannya.

“Udah siap?” tanyanya sambil mengitari badan mobil dan membukakan pintunya untukku.

Mau tak mau aku akhirnya memilih mengalah dan masuk ke dalam mobil juga. Setelah menutup pintu mobil, Mas Danu berpamitan pada Bapak dan Ibu yang sudah berdiri di teras rumah.

“Kamu tadi kok nggak ikut sarapan?” pertanyaan Mas Danu itu memecah atmosfer sunyi dalam mobil.

“Malas,” jawabku.

“Kok gitu, nanti kamu sakit lho. Sarapan dulu yuk.”

“Langsung ke butik aja, deh.”

“Sebentar aja kok, tuh ada bubur ayam. Kamu suka, kan?”

“Aku turun di sini aja!” titahku yang mulai emosi lagi.

“Kamu kenapa, sih? masih marah sama mas?”

Itu adalah jenis pertanyaan yang seharusnya tidak perlu untuk ditanyakan. Selain konyol dan tidak berguna, menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya adalah suatu bentuk pemborosan energi. Dan aku sama sekali tidak mau menjawabnya.

“Soal ucapan mas yang kemarin itu, ya? Mas tahu kamu pasti syok, tapi mas serius kok—”

“Aku nggak mau bahas itu,” potongku cepat. Bagiku ucapan Mas Danu kemarin adalah hal terkonyol yang pernah aku dengar.

OOOO

Menikah Denganmu (Completed)Where stories live. Discover now