9. Tekad

6.6K 538 4
                                    

Danu Aji Putrasena

Jika sudah berbicara mengenai orang tua, rasa-rasanya manusia yang paling kejam di dunia pun akan rapuh juga. Begitu pun aku, hatiku langsung menyerah kalah tanpa perlawanan saat mengetahui ibuku sakit hanya karena memikirkan Asti. Aku yang semula bertekad untuk menolak perjodohan gila dengan orang yang tak terduga itu mendadak bersedia menerima Asti sebagai calon istri.

Aku tidak tega menolak permintaan dari Ibu. Sejak dulu jika Bapak yang memandati sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginanku, aku dengan mudah bisa menolak. Tapi jika Ibu yang sudah turun tangan dan memandatiku aku sangat sulit untuk menolaknya. Dalam hatiku, aku merasa begitu berhutang budi pada Ibu. Seluruh hidup yang aku berikan pun rasanya tidak akan pernah bisa menebus kasih sayang yang telah beliau curahkan padaku.

Aku sebenarnya adalah keponakan Ibu. Anak dari kakak perempuan Ibu yang meninggal saat usiaku menginjak tujuh tahun. Jika ditanya soal masa lalu, aku tidak ingat dengan jelas. Hanya beberapa momen saat ibu kandungku menitipkan aku pada adiknya karena harus pergi bekerja. Sedang ayah kandungku adalah seorang pemabuk dan penjudi, itu yang aku ingat dari bau alkohol dan rokok yang begitu menyengat dari tubuhnya saat aku memeluknya begitu dia pulang ke rumah setelah berhari-hari pergi entah ke mana.

Teriakan dan tangisan ibuku setiap kali ayah pulang ke rumah seperti tidak mau pergi dari ingatan. Aku selalu membenci memori itu setiap kali mendengar teriakan seorang wanita menyasar ke telingaku. Seolah terlempar ke masa lalu di mana aku hanya bisa menonton penderitaan Ibu tanpa berbuat apa-apa.

Depresi membuat ibuku akhirnya meninggal dunia. Sementara ayahku yang sudah tidak jelas di mana keberadaannya malah terdengar menikah dengan bule rusia dan menetap di sana dan sama sekali tidak peduli dengan nasibku. Saat itulah, Ibu Astuti atau tanteku menawarkan rumah, kasih sayang dan keluarga hangat padaku. Jadilah sejak saat itu aku tinggal bersama mereka dan mendapat limpahan kasih sayang dari sebuah keluarga utuh yang tidak sempat aku rasakan dulu. Belum lagi mendapat bonus berupa sosok adik yang manis bernama Pinasti Rara Anjani sungguh sebuah jasa yang tidak pernah bisa aku tebus dengan apa pun juga.

Aku sudah tiba di depan butik tepat sebelum butik tutup. Memasuki area dalam butik, aku mendapati Asti sedang berinteraksi dengan seorang pelanggan. Wajahnya yang terlihat ramah dalam menjelaskan motif dan makna pada sepotong kain batik sidomukti membuatku terdiam karena teringat saran yang Bapak ucapkan tadi siang.

Mulai sekarang kamu harus belajar melihat Asti bukan sebagai adikmu, tapi coba lihat Asti sebagai calon istrimu.

Aku menghela napas. Mana bisa aku merubah cara pandangku terhadap dia setelah dua puluh tahun ini aku memandangnya sebagai adikku sendiri? Rasa menyesal karena sudah menyanggupi permintaan orang tua melesak secara tiba-tiba.

“Mas, kok berdiri di pintu, sih?” seru Asti yang terlihat berjalan ke arahku.

“Ng—nggak apa-apa.” Bagus, belum apa-apa aku sudah gelagapan di depan Asti.

“Kenapa to, Mas? Kok kayak ketakutan gitu?”

“Nggak, biasa aja,” kilahku.

“Mau minum dulu nggak?” tawarnya lagi.

“Nggak usah.” Bodoh, sekarang aku malah tidak bisa menatap matanya seperti biasa.

“Ya udah aku ambil tas dulu, ya.”

Sepeninggal Asti yang berjalan menuju ruang kerjanya barulah aku bisa bernapas dengan benar. Sial! Kenapa aku jadi setakut ini berhadapan dengan Asti? Apa karena Bapak menyarankan untuk melihat Asti sebagai calon istri makanya aku jadi bersikap aneh begini?

Sampai saat ini aku masih menganggap bahwa ide tentang perjodohanku dan Asti adalah hal terkonyol yang pernah aku alami. Bagaimana bisa dua orang yang sudah terbiasa dengan status saudara mendadak harus berganti menjadi calon suami-istri yang mungkin dalam waktu dekat akan benar-benar menjadi pasutri?

Jika di masa lalu aku tidak tinggal dan diangkat anak oleh orang tua Asti, mungkin cara pandangku terhadap Asti hanya sebatas sepupu saja dan akan lebih memungkinkan untuk bisa menghadirkan cinta di antara kami. Tapi terbiasa menganggap Asti sebagai adik kandungku sendiri membuatku sanksi untuk bisa mencintai dia dan menerimanya sebagai pendampingku nanti. Belum lagi soal Anggun yang masih bersemayam dalam hatiku, akan semakin sulit untuk bisa move on jika pesaingnya Anggun adalah adikku sendiri.

Sangat aku hargai usaha orang tuaku ini. Tapi untuk mencari pengganti Anggun, kurasa masih terlalu dini juga. Bukannya ingin menikmati patah hati lama-lama, aku hanya ingin menenangkan diri dulu dan mencoba menyusun keping demi keping hati yang berserakan setelah diporak porandakan oleh Anggun. Bisa move on atau tidak saja, aku masih belum tahu jawabannya. Malah ditambah aku harus bisa meyakinkan diri bahwa Asti adalah calon istriku sekarang dan bukan lagi si adik manisku.

“Mas, kok bengong aja, sih?” tepukan Asti di lenganku membuatku terlonjak.

“Nggak apa-apa.” Aku hanya memberikan senyum rikuh padanya.

“Yakin? Kok kamu aneh banget, sih? sakit?”

Asti secara tak terduga menempelkan punggung tangannya ke leherku. Hal yang wajar sebenarnya jika dia masih berstatus adikku, tapi akan menjadi hal yang tidak wajar karena saat ini dia sudah berstatus calon istriku. Aku langsung mengelak darinya agar tidak lagi disentuh.

“Pulang sekarang aja, yuk,” tawarku yang semakin kikuk dan langsung berjalan menuju mobil terparkir.

Aku bukan tipe orang yang bisa berpura-pura. Sangat sulit untukku bisa bersikap normal dan menganggap tidak ada yang terjadi di saat aku tahu kebenarannya. Aku juga tidak bisa berpura-pura bersikap biasa di depan Asti sementara pendekatan yang aku lakukan ini bertujuan untuk membuat Asti jatuh cinta padaku dan sebaliknya. Sungguh ini perbuatan paling konyol yang pernah aku lakukan.

Tapi saat kembali mengingat tentang kondisi kesehatan Ibu membuatku tidak bisa berbuat banyak selain mengikuti semua permintaan beliau. Aku tidak mau kehilangan sosok ibu lagi untuk yang kedua kalinya. Jika dulu aku gagal menolong ibuku karena masih sangat kecil, maka sekarang saatnya aku menolong Ibu dan membahagiakannya dengan memenuhi semua permintaannya.

“Mas, kok diam aja dari tadi. Biasanya banyak nanya kayak wartawan?”

“Perasaan kamu aja kali.”

“Nggak ah, benar. Mas Danu sekarang aneh. Padahal tadi pagi masih asik-asik aja, ada masalah?”

“Lho, kok belok sih? mau ke mana?” tanya Asti begitu mobil yang seharusnya lurus aku putar menuju arah Jalan Mangkubumi.

“Ngopi sebentar.”

Pikiran dan juga hati yang kusut membuat lidahku haus akan guyuran segelas kopi jos yang membara. Aku sedang butuh angin malam Kota Yogyakarta yang semoga bisa memberikanku sedikit semangat untuk bisa melanjutkan misi yang dibebankan di pundakku.

OOOO

Menikah Denganmu (Completed)Where stories live. Discover now