20. Berdamai

5.4K 463 0
                                    

Pinasti Rara Anjani

Ini hari terakhir batas toleransiku untuk Chandra. Aku berharap dua hari terakhir dia sudah banyak merenung dan berpikir bahwa ancamanku tidak main-main terhadapnya. Tapi ditunggu sampai sore begini, belum juga ada tanda-tanda kalau Chandra akan segera menelepon. Aku mencoba untuk optimis dan terus berpikir positif kalau mungkin besok Chandra akan langsung datang ke rumah. Mungkin, mungkin dan mungkin. Hanya itu yang bisa menjadi pegangan sekarang sebagai sumber kekuatanku.

Dan masalah dengan Mas Danu? Tidak usah ditanya, sudah sejak kemarin aku mendiamkannya dan sama sekali tidak berminat untuk berbicara dengannya. Untunglah sejak pagi, dia yang biasanya sibuk mencuci mobil untuk mengantarku ke butik tak terlihat batang hidungnya. Aku juga tahu dari Ibu kalau ternyata Mas Danu sejak kemarin tidak tidur di rumah, melainkan kembali ke ruko untuk membereskan sisa-sisa pekerjaan yang kami tinggalkan kemarin.

Baguslah, ada untungnya juga Mas Danu sibuk di kantor barunya itu sehingga malam ini dia tidak akan pulang lagi ke rumah dan aku tidak berkewajiban untuk bertemu apalagi berbicara dengannya. Malam ini aku akan sendirian di rumah karena sejak siang Bapak dan Ibu pergi ke Solo karena mendapat kabar kalau Bulik masuk rumah sakit dan kemungkinan akan pulang dalam beberapa hari lagi.

Aku pulang kantor lebih awal dari biasanya karena hari ini ada giliran pemadaman listrik di daerah sekitar butik. Jadi aku memulangkan karyawan dan menutup butik lebih cepat. Begitu aku sampai rumah, aku dikejutkan dengan kehadiran Mas Danu yang terlihat sedang mengadakan meeting via daring dengan kliennya.

“Baik, Pak, akan segera saya hubungi secepatnya setelah model maketnya selesai saya buat. Iya Pak, baik. Terima kasih.” Terlihat pembicaraan terputus dan Mas Danu menatapku sambil melepas headset yang tadi dia gunakan.

“Kok jam segini udah pulang?” tanyanya sambil melirik ke arah jam dinding.

“Kok Mas Danu ada di rumah? Bukannya kata Ibu nginap di kantor lagi?” tanyaku balik dengan memasang wajah judes.

“Ya memang harusnya begitu, tapi gara-gara kamu aku jadi boyong semua kerjaanku ke sini.” Sambil memperlihatkan satu box besar berisi kertas, gunting, kayu, lem dan sebuah maket bangunan yang belum jadi.

“Maksudnya?” kenapa aku merasa tersinggung mendengar ucapannya barusan.

“Tadi Ibu telepon suruh aku tidur di rumah buat jagain kamu—”

“Aku bukan anak kecil kali, perlu dijagain,” sambarku cepat, “kalo Mas Danu sibuk banget balik lagi aja ke kantor. Aku juga nggak minta ditemenin tuh. Waktu Mas masih tinggal di Jakarta juga aku sering sendirian di rumah. Balik ke kantor sana!” usirku.

“Yakin ngusir, nih? Kalau nanti kamu sendirian terus ada apa-apa jangan salahin aku lho, ya.”

“Nggak usah nakut-nakutin deh!”

“Nggak nakutin, cuma memperingatkan. Kalau seandainya kamu ngusir aku, aku bisa pergi sekarang juga. Tapi kalau nanti ada apa-apa, terus kamu ngadu sama Ibu, aku juga yang nanti disalahin.”

“Aku sih nggak masalah mau ngerjain di sini atau di kantor. Yang jelas aku cuma menjalankan amanat dari Ibu kalau malam ini aku harus tidur di rumah buat jagain kamu.” Mas Danu melanjutkan konfrontasinya terhadapku.

Aku sudah sangat geram dengan tingkahnya itu yang selalu bersembunyi di belakang nama Ibu. Terserah saja jika dia masih mau berada di sini, aku sudah berencana tidak akan keluar kamar sampai pagi.

“Makan di luar, yuk,” ajaknya tiba-tiba saat aku mulai melangkah menuju kamar.

“Gudeg pawon. Udah lama aku nggak makan di sana. Kalau nggak mau, temanin makan aja mau ya?”

Ah, gudeg pawon. Salah satu makanan favoritku dan sumber kelemahanku juga. Aku tidak pernah bisa menolak jika tempat itu adalah gudeg pawon. Salah satu tempat makan legendaris di Yogyakarta dengan segala kenangan tentang masa kecil saat keluarga kami rajin makan di sana dahulu. Selain menawarkan kenangan, kesederhanaan juga menawarkan cita rasa gudeg yang khas dan lain dari yang lain.

“Ayo, to. Jangan kebanyakan mikir nanti kehabisan.” Mas Danu langsung menyambar jaket dan menarik tanganku pergi.

OOOO

Seperti yang sudah-sudah terjadi begitu kami sampai di lokasi, antriannya mengular panjang. Antrian yang semakin malam semakin panjang ini membuktikan bahwa banyak orang yang amat mencintai makanan khas kota kelahiranku yang satu ini. Rela mengantri lama demi mendapatkan sepiring nasi gudeg terlezat menurut lidahku seharusnya bukanlah hambatan, tapi karena Chandra selalu enggan dan menolak ajakanku untuk makan di tempat ini membuatku juga sudah sangat lama tidak berkunjung kemari.

Lelah mengantri akhirnya terbayarkan juga dengan kenikmatan rasa gudeg yang masih saja tidak berubah sejak dulu. Rasa gudeg yang tidak terlalu manis, selalu membuatku terbius oleh kelezatannya. Tanpa sadar, sejak tadi Mas Danu mengamati ekspresi wajahku yang selalu menutup mata sambil menggelengkan kepala bak food vlogger yang sedang membuat konten. Suara cekikikan Mas Danu akhirnya membuatku tersadar kalau sejak tadi aku diintai olehnya.

“Kenapa senyum-senyum?” tanyaku setelah memuluskan tenggorokan dengan segelas es teh manis.

“Mukamu itu lho, As ... emang seenak itu buat kamu?”

“Ini tuh bukan cuma masalah enak, Mas, tapi juga membawa kenangan masa kecil waktu aku makan di sini bareng Ibu dan Bapak,” jawabku semangat.

Mas Danu manggut-manggut dan senyum gelinya masih juga belum hilang dari bibirnya.

“Untung kita datangnya nggak kemalaman, jadi masih bisa kebagian,” celetukku lagi.

“Nggak salah dong aku ajak kamu makan di sini? Berarti marahnya udahan, kan?”

“Belum tahu.”

“Dih, kok gitu!”

“Habis aku masih kesal sama Mas Danu. Ngomongin Chandra yang nggak-nggak aja.”

“Aku tuh nggak ngada-ngada, semua yang ak—”

“Mas, aku tuh lagi makan bisa nggak jangan ngerusak suasana hatiku yang lagi senang ini?” protesku.

“Perasaan kamu yang mulai bahas soal si Chandra.” Meski pelan tapi amat terdengar jelas di telingaku.

“Tuh kan!”

“Iya sori, sori. Ya udah damai aja deh.” Mas Danu mengulurkan tangannya di depanku berharap aku akan menyambutnya.

“Tapi janji ya, Mas Danu nggak boleh ikut campur lagi urusanku sama Chandra. Aku akan benar-benar marah lho kalau Mas kayak gitu lagi.”

“Iya janji. Maafin mas, ya.”

Aku mengangguk pertanda aku sudah memaafkan semua kesalahannya yang membuatku kesal kemarin dan Mas Danu pun mengusap-usap keningku dengan ibu jarinya seperti yang selalu dia lakukan jika sedang membujukku yang sedang marah atau kesal. Kebiasaan Mas Danu itu selalu ampuh membuatku melunak, usapan yang dia berikan di kening seolah bisa menyalurkan energi positif yang membuat semua amarah yang bersarang di hatiku sirna seketika.

Ini baru kakakku.

OOOO

Menikah Denganmu (Completed)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें