12. Tak Terduga

5.9K 531 15
                                    

Pinasti Rara Anjani

Karena masih takut jika Mas Danu benar-benar akan datang ke butik dan bertemu Chandra, aku memajukan jam makan siangku dengan Chandra. Kami janjian untuk bertemu di House Of Raminten di daerah Gondokusuman pukul sebelas siang. Setelah lama aku menunggunya Chandra datang terlambat dengan alasan masih capek sehabis pulang dari Semarang.

Perkataan Mas Danu masih saja terngiang di telinga tentang menanyakan kesungguhan Chandra terhadapku. Maka setelah kami selesai makan, aku mencoba untuk berbicara dengannya secara baik-baik. Berharap kali ini Chandra tidak akan emosi seperti sebelumnya jika aku menyinggung soal berkunjung ke rumah dan menemui orang tuaku.

“Aduh As, kamu kok itu lagi yang dibahas?”

Aku bisa mencium aroma penolakan lagi dari Chandra untuk yang kesekian kalinya.

“Kita kan udah sepakat nggak akan bahas itu lagi sampai aku bisa selesai rekaman,” sambungnya sambil menandaskan es jeruk pesanannya.

“Nggak bisa sebentar aja, Chand? Cuma ketemu Bapak dan Ibu, kenalan aja kalau kamu itu pacarku,” bujukku lagi.

“Nggak bisa, As. Jadwal manggungku sampai akhir bulan itu padat, dan aku harus konsentrasi dulu sama karirku ini. Nanti kalau rekaman album sudah selesai dan sukses, baru aku datang ke rumahmu.”

“Kenapa harus nunggu sampai selesai rekaman, to?” aku jadi kesal juga lama-lama karena alasan yang Chandra berikan selalu sama.

“Ya biar aku ada kebanggaan waktu ketemu bapakmu nanti.”

“Bapak itu nggak butuh kebanggaan apa-apa, Chand. Bapak cuma mau kenalan sama orang yang katanya pacarku itu, masa gitu aja kamu nggak bisa nurutin?”

“Ya pokoknya aku nggak bisa sekarang. Jadwalku sedang padat, nanti sore aja aku ada manggung lagi—”

“Selalu alasan yang sama!” geramku tak terkendali.

“Aku nggak mau bertengkar sama kamu, As. Aku harus jaga mood tetap baik supaya performanceku nanti sempurna,” kilahnya.

“Kamu serius nggak sih sama aku?” akhirnya kalimat itu meluncur juga dari mulutku.

Chandra menegakkan punggungnya yang sejak tadi menempel pada sandaran kursi. “Maksud kamu apa ngomong begitu?”

“Maksudku sudah jelas, kan? aku cuma mau tahu seberapa serius kamu sama aku! Seberapa besar kamu sungguh-sungguh dengan hubungan kita!” bentakku lagi.

Sungguh bukan sengaja aku ingin bertengkar dengannya di tempat seperti ini, apalagi kondisi resto sedang ramai-ramainya karena masuk jam makan siang. Pertemuan yang seharusnya penuh keromantisan karena sudah tiga hari tidak bertemu malah menjadi berantakan.

Chandra terlihat menggaruk dagunya dengan santai. “Kamu lagi PMS, ya?”

Aku hanya bisa membanting punggung sambil membuang napas berat. Kesal dengan ketidakpedulian Chandra terhadap masalah yang menurutku sangat amat penting ini.

“Ya udah, kamu pikirin baik-baik kapan kamu siap ketemu Bapak. Sekarang kamu antar aku ke butik aja,” ucapku sambil mengamit tas.

“As, kamu yang bayar dulu ya. Honorku baru nanti sore cair soalnya.” Untuk kesekian kalinya dengan alasan yang sama lagi.

OOOO

Sampai di butik sosok Mas Danu sudah terlihat duduk di salah satu kursi tamu. Begitu aku hampiri, Mas Danu langsung berdiri dengan memasang tampang kusutnya seolah akan memarahiku seperti dulu.

“Mas Danu ngapain di sini?”tanyaku basa-basi.

“Kan tadi mas udah bilang kalau mau jemput kamu buat makan siang bareng.”

“Tapi aku udah makan siang, Mas.”

“Udah tahu, tadi Yuli yang bilang,” sergah Mas Danu, “kamu sengaja nggak mau makan siang sama mas, ya?”

“Bukannya gitu Mas, tapi—”

“Tunggu, tunggu, ini siapa As? Kok pake ngajak kamu makan siang segala?” tanya Chandra yang langsung memotong pembicaraanku dengan Mas Danu.

Belum sempat aku menjawab, Chandra sudah maju dan menutupi tubuhku. Dia berhadapan langsung dengan Mas Danu.

Sampean siapa, Mas? Kok berani banget ngajak pacar saya makan bareng?” cecarnya.

Aku langsung melotot mendengar ucapan Chandra barusan. Langsung saja kupukul punggungnya dengan lumayan keras. Tapi Chandra malah tidak menggubris pukulanku itu dan malah semakin menaikkan alis dan dagunya di depan Mas Danu.

“Oh, jadi ini yang namanya Chandra?” timpal Mas Danu.

“Iya, saya Chandra. Sampean siapa?” tantangnya lagi.

Tanpa sadar, karyawan dan beberapa orang pengunjung sudah bergerombol menyaksikan dua orang pria dewasa yang sedang saling meneliti satu sama lain dan satu orang gadis yang terjebak di antara mereka.

“Chandra, ini Mas Danu!”pekikku yang ingin segera menyudahi perdebatan antara mereka.

“Mas Danu siapa?”

Rasanya aku pernah menceritakan pada Chandra tentang Mas Danu, kakakku yang tinggal di Jakarta itu. Apa Chandra lupa sampai dia harus kembali bertanya siapa Mas Danu? Begitu aku akan membuka mulut lagi, tangan Mas Danu sudah terulur di depan Chandra.

“Saya Danu, calon suaminya Asti.”

Bisa terbayangkan bagaimana reaksi orang-orang di sana setelah mendengar pengakuan yang tak terduga dari mulut Mas Danu itu? rasanya saat itu juga aku ingin pergi ke Gunung Merapi dan menceburkan diri ke dalam kawahnya. Bagaimana bisa Mas Danu dengan begitu frontal mengatakan hal itu tanpa seizin dariku dulu?

“Maksudnya apa ini, As?” tanya Chandra yang langsung berbalik menatap tajam ke arahku.

“Ak—aku ...” banyak kalimat yang ingin aku ucapkan, tapi tak satu pun yang bisa keluar dari mulutku. Selain masih kaget, pikiranku juga bleng otomatis.

“Heh, jangan sembarangan bicara, ya. Asti itu pacar saya!” bentak Chandra lagi tepat di depan wajah Mas Danu.

“Dia juga calon istri saya, Mas. Lagian kamu baru sebatas pacar to? Kenalan sama orang tuanya saja belum pernah. Saya ini calon suami yang sudah dipilih langsung oleh orang tuanya Asti, jadi status saya sebagai calon suami Asti itu sah dan jelas.” Mas Danu terlihat tenang dalam menjabarkan persoalan pada Chandra, berbeda dengan anak band itu yang malah terlihat ngotot dan berapi-api.

“As, kamu kok diam saja dari tadi? Apa semua yang dia bilang itu benar? Dia pasti bohong, kan?” desak Chandra lagi padaku.

“Kalau masih nggak percaya silakan tanya langsung sama orang tuanya Asti, itu juga kalau kamu berani,” sindir Mas Danu lagi yang membuat Chandra langsung terdiam.

“Chand, kamu sebaiknya pulang dulu nanti aku akan jelaskan semuanya. Mas Danu, aku mau bicara!” Aku berjalan cepat masuk ke dalam ruang kerja dengan diikuti oleh Mas Danu. Saat ini bukannya aku abai dengan Chandra, tapi aku merasa perlu untuk bicara empat mata dengan Mas Danu.

OOOO

Menikah Denganmu (Completed)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant