26. Awal Baru

5.9K 502 4
                                    

Danu Aji Putrasena

Pagi-pagi aku sudah disuguhi pemandangan Asti yang ribut di dapur dengan segala macam peralatan dan berbagai bahan untuk membuat kue. Aku melangkah menuju dapur sambil tak melepaskan mataku dari aksi Asti membanting-banting adonan.

“Ngapain, As?” tanyaku sambil mencopot airpods dan membuka kulkas untuk mendapatkan air dingin. Lumayan kering tenggorokan setelah cukup lama joging keliling kompleks.

“Bikin donat,” balasnya yang masih fokus membanting dan mengaduk adonan serta beberapa kali menaburkan tepung di atasnya.

“Tumben, emang bisa?” sindirku ringan setelah meloloskan beberapa teguk air segar nan dingin itu ke tenggorokan.

“Itu bikin adonan apa nyiksa adonan? Dibanting keras gitu apa jadi nanti?” sambungku yang masih mengejeknya.

“Ini bentuk penyaluran amarah namanya. Semua emosiku buat Chandra aku salurkan di sini biar nggak bersisa perasaanku nanti buat dia.” Asti kembali membanting adonan dengan keras tanpa menatap lawan bicara sama sekali.

Aku terdiam beberapa detik mendengar jawabannya. Ada rasa bersalah kenapa tadi aku mengejeknya. Dasar bodoh. Asti masih sangat rapuh dan dengan sengaja aku seperti membuatnya harus menyebut nama Chandra lagi. Aku mengembalikan botol air ke dalam kulkas dengan tenang. Begitu aku berbalik, Asti ternyata sudah berhenti dengan atraksinya itu lalu memasukkan adonan ke dalam wadah dan menutupinya dengan plastik wrap.

“Nanti donatnya mau aku bagi ke karyawan butik sama beberapa pelanggan. Kalau donatnya habis, itu juga pertanda kalau semua perasaanku untuk Chandra juga habis. Aku nggak mau ingat-ingat dia lagi pokoknya.” Tangan Asti terkepal dan napasnya mulai memburu.

Tanpa pikir panjang, aku langsung menghampiri dan membawanya ke dekapanku. Memeluknya erat sebagai pertanda aku mendukung langkahnya untuk maju terus tanpa menengok lagi ke belakang. Aku paham betul apa yang sedang Asti rasakan sekarang. Kesakitan yang diberikan oleh orang yang kita cintai sepenuh hati tidaklah semudah itu menyembuhkannya karena pisau yang tertancap amat sangat dalam menyayat.

“Bantu aku ya, Mas,” desis Asti lemah.

Aku mengangguk mantap. “Pasti. Kamu nggak sendirian kok. Ada aku.”

“Mulai hari ini juga aku akan melihat Mas Danu sebagai calon suamiku. Aku menerima dan menyetujui perjodohan ini.”

Mendengarnya membuatku semakin mengeratkan pelukanku padanya. Aku pun mengelus rambutnya sebagai tanda kalau aku sudah percaya dengan semua ucapannya kemarin bahwa dia juga akan berusaha untuk bisa mencintai dan menerimaku sebagai calon pendampingnya. Aku terharu sekaligus terenyuh dalam satu waktu.

“Nanti antarin aku ke butik, ya.”

Aku melepas pelukanku dan memandangnya. “Siap laksanakan!” tanggapku semangat berikut mengangkat tangan berlagak menghormat.

Asti seketika langsung tertawa melihat aksiku yang lebay dan norak itu. Melihatnya bisa kembali tertawa membuat perasaanku ikut lega.

“Ya udah, mandi sana.”

“Siap GERAK!” sebelum balik kanan aku terlebih dahulu mencubit pipinya yang membuatku gemas itu dan aku berjalan menuju kamar dengan senyum yang sulit untuk dikendalikan.

OOOO

“Kita kepagian ya datangnya? Kok masih sepi?” tanyaku yang sudah meletakkan dua kotak donat hasil karya calon istriku di atas meja.

“Nggak apa-apa, aku sengaja datangnya pagi-pagi biar nanti Mas nggak telat ke kantornya.”

“Idih, perhatiannya calon istriku ini.” Kucubit lagi pipinya itu. “Kalau begini kok aku jadi malas pergi, ya? Maunya di sini aja sama kamu.”

Kulihat pipi Asti memerah dengan rayuanku itu. “Apaan sih, Mas. Udah sana pergi kantor kamu kan baru buka, jadi nggak boleh kesiangan dong.”

Sungguh aku tidak bisa lagi mengendalikan ekpresi wajahku. Senyumku terus naik tanpa bisa dicegah. Rasa bahagia menyebar dalam hatiku seketika, layaknya orang yang baru jatuh cinta dan jadian saja kami berdua ini.

“Lagian motor Mas Sigit masih harus dikembaliin, kan,” lanjut Asti yang melihatku masih belum beranjak juga.

Kakiku mendadak enggan melangkah jauh darinya. Edan! sepertinya aku sudah benar-benar jatuh cinta pada Asti. Bukannya menuruti perintahnya, aku malah merangkul bahunya dan menempelkan kepala kami berdua.

“Si Sigit nggak usah kamu pikirin, udah biarin aja.”

“Nggak boleh gitu, Mas. Itu motor punya orang, harus dikembalikan.”

“Boleh di sini aja nggak, sih?” tanyaku berlagak manja dan semakin menyandarkan tubuhku padanya.

“Manja banget, sih,” protes Asti, “udah sana berangkat sekarang, nanti kalau Yuli atau karyawan yang lain datang terus lihat kita begini, bisa kacau, Mas.” Asti berusaha melepaskan diri dan mendorongku untuk pergi secepatnya.

Dan benar saja, sayup-sayup aku mendengar suara tawa Yuli sedang bercakap dengan seseorang di telepon. Begitu dia masuk dan melihat kami berdua, dia langsung menutup sambungan teleponnya.

“Eh, ada Mas Danu. Selamat Pagi, Mas,” sapanya ramah.

“Pagi, Yul.”

“Wah, siapa yang bawa donat nih?” perhatian Yuli langsung terpusat pada kotak donat yang tadi kami bawa.

“Aku,” timpal Asti, “nanti bagiin ke anak-anak sama pelanggan, ya.”

“Tumben dalam rangka apa, nih? Mas Danu ulang tahun, ya? Wah, selamat ulang tahun ya Mas semoga makin ganteng, makin ganteng dan makin ganteng.” Yuli meraih tanganku untuk bersalaman.

“Bukan, nggak ulang tahun,” ralatku cepat. Terkadang aku takut berdekatan dengan Yuli, anak itu terlalu agresif sebagai perempuan di mataku.

“Terus dalam rangka apa, nih?”

“Dalam rangka aku putus sama Chandra,” sergah Asti.

Yuli membelalakkan matanya juga mulutnya. Seolah hal yang didengar itu sebuah berita yang amat mengagetkan untuknya.

“Putus? Yang benar kamu, As? kamu putus sama Chandra? Kok bisa? Bukannya kamu itu cinta mati banget sama dia, ya?”

Asti terlihat melirikku sekilas. “Ya pokoknya putus. Udah itu nanti dibagiin, ya.” Asti lalu menarik tanganku dan membawaku menuju ke tempat motor terparkir.

“Aku cemburu lho dengar Yuli bilang kalau kamu cinta banget sama Chandra pake kata mati segala lagi.” Aku merajuk bak anak kecil di depan ibunya.

“Mas, kan aku udah bilang kalau mulai hari ini aku udah nggak mau punya perasaan apa-apa lagi sama Chandra. Kan rasa cinta aku udah jadi donat. Sekarang aku cuma mau fokus sama kamu aja karena aku percaya kalau kamu nggak akan sama kayak Chandra.”

Hatiku langsung melambung tinggi rasanya mendengar Asti berkata begitu. Aku sangat ingin mendekapnya saat itu juga tapi Asti melarang dengan memelototiku jika sampai aku berani memeluknya di saat para karyawan butik yang lain mulai berdatangan.

OOOO

Menikah Denganmu (Completed)Where stories live. Discover now