11. Kiriman Spesial

5.9K 500 0
                                    

Pinasti Rara Anjani

“Nanti makan siang bareng, ya.”

“Nggak usah, aku makan siang sama Chandra.”

“Bagus dong. Nanti mas sekalian bisa kenalan sama dia.”

“Buat apa?”

“Lho, ya memperkenalkan diri sebagai calon suami kamu dong.”

Jawaban yang membuatku jengah, ini sudah ketiga kalinya Mas Danu membicarakan hal yang sama. Tadinya aku pikir dia hanya bercanda tapi lama-lama aku jadi takut juga dengan keseriusan ucapannya itu. Apalagi saat kemarin malam di depan warung kopi, untuk pertama kalinya dia berucap bahwa dia akan menikahiku, dari sorot matanya aku tahu bahwa Mas Danu tidak sedang bercanda.

“Mas, bisa berhenti ngomongin itu nggak? Bercandanya nggak asik banget, sih.”

Saat itu mobil sudah sampai ke halaman depan butik.

“Siapa yang bercanda? Kamu pikir mas main-main waktu bilang kalau mas mau nikahin kamu? Itu serius lagi, As.”

“Udah Mas, setop! Nggak lucu tahu nggak. Kalau karyawan aku ada yang dengar gimana?”

Terlebih jika sampai Gita mendengarnya. Alamat aku tidak akan selamat dari kebarbaran mulutnya,walaupun aku bosnya sendiri tapi yang namanya gosip tidak akan pandang bulu.

“Asti, kalau kamu menganggap apa yang aku sampaikan ini cuma main-main kamu salah. Aku benar-benar serius mau menikahi kamu. Jadi untuk kebaikan kamu, sebaiknya kamu putusin Chandra.”

“Mas aku nggak mau berantem lagi sama Mas Danu, ya. Sekarang mendingan Mas Danu ngomong ada apa sebenarnya, kenapa sampai kamu berubah banyak kayak gini? Ngomong ngelantur nggak jelas, ada apa? kalau Mas butuh teman curhat aku selalu siap kok, aku nggak mau lihat Mas putus asa begini.”

Mas Danu tampak diam dan hanya menatap roda kemudi dengan kedua tangannya mencengkeram dengan kuat.

“Apa nggak bisa kamu terima aja mas sebagai calon suami kamu?”

“Mas, aku ini adiknya Mas Danu. Mana mung—”

“Tapi kita nggak sekandung. Nurut aja kenapa, sih?” pekiknya.

“Nggak mau! Apalagi untuk sesuatu yang belum jelas alasannya.”

“Nggak semua hal ada alasannya, As. Semua ini mas lakukan juga demi kebaikan kamu.”

“Kebaikan apa?” sergahku kesal, “aku sama sekali nggak lihat semua ini ada kebaikan untuk aku! Mas juga tahu aku cinta sama Chandra, aku mau minta dukungan Mas. Bukannya malah nyuruh aku putus terus nikah sama kamu!” aku membentaknya seperti sudah hilang akal.

Aku keluar secepatnya dari sana dan membanting pintu mobil cukup keras lalu berjalan masuk ke butik tanpa menoleh lagi padanya. Tak terasa air mataku mulai berproduksi, aku tidak mau dilihat para karyawan dalam kondisi begini. Segera aku masuk ke ruanganku dan mengunci pintunya dari dalam. Samar terdengar suara Yuli memanggil-manggil namaku namun tak kugubris.

Aku kesal setengah mati pada Mas Danu. Semakin lama omongannya semakin ngawur. Aku tidak tahu harus menghadapinya dengan cara apalagi. Seakan kakak yang dulu selalu berada di pihakku dan membelaku di depan Bapak dan Ibu hilang tiba-tiba.

Setelah menenangkan diri dan mencuci muka, aku sudah mengembalikan fokusku untuk bekerja. Tak lama setelah aku duduk sambil mengelap wajah dengan tisu, pintu diketuk dan terdengar suara Yuli memanggil dari luar.

“Kok pake dikunci segala sih, tumben banget.”

“Kenapa, Yul?” tanyaku mengalihkan pokok bahasan dari kunci dan pintu.

“Nih pesanan kamu udah datang.” Yuli menyodorkan satu plastik putih di tangannya padaku.

“Pesanan apa? aku nggak pesan apa-apa.”

“Masa? Wong tadi ojolnya bilang buat Mbak Pinasti ya pasti kamu.”

Aku menerima bungkusan plastik itu dan membawanya ke meja lalu memeriksa isinya yang ternyata satu porsi bubur ayam lengkap. Perutku langsung tak terkendali saat itu juga.

“Berarti ada yang kirim buat kamu, As.”

“Aku memang belum sarapan, sih.”

“Chandra yang kirim?” tanya Yuli penasaran.

Aku menggeleng. “Bukan. Pasti Mas Danu,” jawabku.

Bersamaan dengan itu pintu diketuk dan masuklah Tini dengan membawa seikat bunga mawar pink yang sudah terbungkus plastik bening.

“Permisi Mbak Asti, ini ada kiriman buat Mbak. Tadi ojol yang antar,” ucapnya.

“Makasih ya, Tin.” Aku menerimanya sambil masih terbengong-bengong. Usai Tini pamit, aku membawa note yang tersemat di rangkaian bunga itu.

Semoga kamu udah nggak ngambek lagi. Maafin mas, ya.

Ponselku ikut bergetar dan muncul pesan dari Mas Danu.

Buburnya jangan lupa dimakan, sorry nggak pake note soalnya bakulnya nggak punya pulpen sama kertas, ojolnya juga.

Aku mau tak mau tersenyum juga membacanya. Melihat tingkahku yang senyum-senyum sendiri, Yuli hanya bisa memandangiku dengan tatapan kepo.

“Dari Mas Danu juga,” jelasku menerangkan perihal siapa pengirim bunga itu.

“Kok perhatian banget masmu itu, pagi-pagi dah ngirim sarapan sama kirim kembang. Kelihatan banget dia itu tipe cowok romantis. Jadi mau pacaran sama Mas Danu.”

Mendengar kata romantis yang Yuli sebutkan membuat kegiatanku yang hendak mulai menyantap bubur ayam spesial itu jadi terhenti. Ada rasa ragu yang tiba-tiba membuatku urung untuk menyantapnya.

“Yul, emang kamu pikir ini romantis? Ini masku sendiri lho yang ngirim, bukan pacarku.”

“Yang namanya laki-laki ngasih sesuatu sama perempuan mau itu Mas, Adik, Mbah Buyut sekalipun tetap romantis di mataku. Itu bentuk perhatian dan kasih sayang yang kaum laki-laki tunjukkan buat kita kaum perempuan. Itu romantis lho, As. Romantis itu nggak hanya antar pasangan aja menurutku.”

Penjelasan yang Yuli berikan tadi membuatku termenung, memang benar romantis itu tidak hanya bisa didapatkan lewat pasangan saja. Bahkan mungkin, pasangan kita sendiri tidak bisa bersikap romantis.

Seperti halnya Chandra, seingatku dia bukan tipe romantis yang sering memberikan hadiah atau kejutan. Chandra adalah tipe orang yang cuek dan kadang tidak peka, tapi sejauh ini aku bisa menerima dia apa adanya. Jadi tidak mungkin hanya dengan kiriman bubur ayam dan seikat bunga bisa menggoyahkan hatiku dari Chandra.

“Kok bengong? Cepat dimakan, keburu dingin lho. Tak tinggal ya, selamat sarapan.”

“Makasih ya, Yul.”

“Oke.”

OOOO

Menikah Denganmu (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang