18. Pindahan

6K 518 0
                                    

Danu Aji Putrasena

Wajah Asti terlihat ditekuk begitu kami sampai di kantor baruku. Sebagai ganjaran karena kalah taruhan tadi pagi, dia harus mengabulkan permintaanku dengan menjadi pesuruh dan membantu pindahan serta beres-beres kantor baru. Aku sengaja tidak menyewa jasa pindahan karena belum banyak barang yang kubeli untuk melengkapi kantor baruku ini. Sementara lemari, meja, sofa dan beberapa furniture sudah aku tempatkan di sana satu hari yang lalu. Aku hanya menyewa satu mobil pick up yang aku kemudikan sendiri juga seorang asisten yang akan membantu pekerjaanku hari ini. Itu sudah cukup.

Kantor baru ini tidak besar, hanya bangunan ruko bekas kantor pemasaran yang dijual oleh pemilik lama. Memang tidak sebesar kantor lamaku di Jakarta, jauh jika harus dibandingkan, tapi aku bertekad akan memulai karirku dari nol di tempat ini. Aku yakin, jika aku bisa sukses di Jakarta mana mungkin aku tidak bisa sukses di kampung halamanku sendiri.

Lokasinya yang strategis karena dekat dengan perempatan jalan protokol membuatku tidak lama berpikir untuk membelinya. Beruntung aku bisa mendapatkan tempat ini atas rekomendasi dari Sigit. Dua hari lalu, dia meneleponku untuk mengabarkan kalau sebuah ruko bekas kantor yang berseberangan dengan kios bakso malang milik pakdenya sedang dijual dan berkat bantuan pakde Sigit pula yang sudah lama mengenal pemilik lama ruko ini, negosiasi harga bisa berjalan dengan lancar dan aku bisa membelinya dengan harga sedikit miring.

Begitu aku keluar dari dalam toilet, aku melihat Asti sedang mengangkat satu dus berisi ATK dari dalam mobil. Aku langsung berlari menghampirinya untuk membantu. Belum juga cengkeraman tanganku kokoh, Asti sudah melepaskannya yang membuat semua isi dalam dus itu jatuh berserakan di lantai.

Kami berdua segera memungutinya bersama sampai kedua tangan kami bersentuhan karena hendak mengambil satu penggaris besi yang sama. Lagi-lagi rasa itu muncul, reaksi yang sama saat jari kami bersentuhan tadi pagi. Dengan tergesa aku menarik sekaligus penggaris itu hingga membuat Asti mengaduh karena ternyata pinggiran penggaris itu melukai jarinya.

“Sori, sori, aku nggak sengaja,” terangku sambil terburu membereskan isi dus dan meletakkannya di atas meja.

Demi Tuhan, aku grogi parah saat ini. Apa yang terjadi? Apa sekarang aku sudah benar-benar memiliki perasaan lain pada Asti? Apa sekarang aku sudah menganggapnya sebagai calon istri dan bukan lagi saudara?

“Mas Danu kenapa, sih? kasar banget tadi!” protesnya sambil mengibas-ngibas tangan yang perih dan mulai mencari kotak obat-obatan. “Mas ke sini bawa obat-obataan nggak?” tanya Asti lagi sambil mengaduk-aduk isi setiap dus yang ada.

Untuk mengetahui jawaban atas pertanyaanku tadi, aku harus memastikannya sekali lagi. Dengan begitu aku tidak akan bingung lagi. Aku mengaduk salah satu dus yang memuat kotak P3K yang kubawa lalu mengambil plester. Aku mendekati Asti dan membantu memasangkan plester itu di jarinya. Seperti dugaan sebelumnya, jantungku berdebar-debar lagi begitu berdekatan dengan Asti dan aku kembali gugup saat menatap wajahnya.

“Mas, kok bengong?” tanya Asti yang melihatku hanya terpaku di tempat tanpa menyelesaikan misiku memasangkan plester padanya.

Tak kunjung mendapat jawaban dariku, Asti merebut plester dan memasangnya sendiri.

“Mas, Mas tahu nggak aku perhatikan Mas Danu banyak bengongnya hari ini. Mikirin apa, to?”

Tidak langsung kujawab, aku menjedanya sekitar enam detik. “Gimana kalau jawabannya kamu?” tanyaku balik.

“Maksudnya?” Asti memandangku tanpa berkedip.

Aku menjedanya lagi, dan kali ini lebih lama untuk menimbang-nimbang apa aku akan berani mengatakannya sekarang. “As, kayaknya aku mulai suka sama kamu. Gimana menurutmu?”

Bola mata Asti membulat begitu aku berkata demikian. Dia pasti kaget dengan pernyataanku yang tiba-tiba ini. Jangankan Asti, aku sendiri juga kaget dengan pernyataan yang kubuat sendiri tadi. Dari mana aku bisa seyakin itu untuk mengatakan dengan begitu lugas kalau aku sudah mulai menyukainya?

“Nggak lucu, Mas!” semburnya sambil tertawa garing.

Selanjutnya, Asti tampak menyibukkan diri dengan membereskan semua barang-barang dan sama sekali tidak melihat ke arahku.

OOOO

Kami bekerja sampai menjelang malam, setelah menata semua barang di tempatnya maka pekerjaan kami akan selesai dan kantor bisa buka besok. Sejak percakapan terakhir kami, Asti hanya mau bicara seperlunya denganku. Hanya bertanya tentang tata letak barang, selebihnya dia memilih diam. Aku berinisiatif pergi ke minimarket untuk membelikan beberapa cemilan yang letaknya tidak jauh dari kantorku.

Begitu selesai berbelanja dan membayar, kedua mataku tertumbuk pada dua orang yang baru memasuki minimarket. Mereka berangkulan satu sama lain, yang perempuan terus bergelayut manja pada si pria yang sedang memilih-milih snack.

Dan aku tidak mungkin salah mengenali orang walaupun baru sekali dua kali bertemu orang itu. Itu si Chandra dan perempuan yang kemarin aku lihat bersama Chandra saat aku menyusul Asti ke basecamp laki-laki itu.

“Enaknya beliin apa ya buat anak-anak, Sayang?”

Pendengaranku ini masih bagus, jadi aku tidak akan salah dengar jika barusan si Chandra memang menyebut kata ‘sayang’ pada perempuan di sebelahnya. Sialan! si Chandra selingkuh dan menduakan Asti.

“Halah, yang biasa aja,” jawab si wanita, “habis latihan kita jadi nonton, kan?”

Chandra mengelus rambut selingkuhannya. “Jadi dong, aku janji latihannya akan aku percepat demi kamu.” Diakhiri dengan mencolek dagu perempuan itu.

Aku yang sudah muak dan geram melihat adegan bak telenovela itu langsung keluar dari sana dan sengaja merekam aksi mesra mereka begitu keduanya selesai belanja dan keluar dari minimarket. Kedua manusia itu tidak langsung pulang, melainkan duduk di teras dan nampak menikmati camilan serta merokok dengan santainya.

Keduanya mengobrol sambil berpegangan tangan, tertawa bersama dan sesekali Chandra menciumi punggung tangan si perempuan. Aku yang tadinya ingin langsung mengabari Asti soal hasil temuanku ini menjadi lebih geram setelah mendengar percakapan mereka berdua yang membahas soal Asti.

“Terus gimana soal Asti? Katanya dia minta kamu buat datang secepatnya ke rumah?”

“Udah, dia nggak usah kamu pikirin. Cewek manja kayak gitu memang bisanya cuma menuntut! Cuekin aja, nanti juga dia balik sendiri,” jawab Chandra santai.

“Itulah makanya dari awal aku nggak setuju kalau kamu pacaran sama dia, Chand. Kamunya kesusahan sendiri menghadapi dia. Terus kapan kamu mau putusin dia? Aku udah capek lihat selingkuhan kamu itu. Cemburu aku lama-lama!”

“Tapi kalau nggak ada dia, kita nggak punya modal buat bikin album, kan? sabar dulu, Yang. Begitu album kita selesai, aku akan langsung putusin dia. Janji.”

Tanganku sudah terkepal dengan keras mendengar semua percakapan mereka. Kenyataan bahwa ternyata selama ini Asti hanya dimanfaatkan untuk kepentingan mereka sungguh membuatku lepas kendali.

Dengan sekali hentakan aku menarik kerah jaketnya dan menghadiahi bogem mentah yang tepat menyasar di rahang. Chandra tersungkur dengan teriakan pacarnya itu membuat beberapa orang berlari ke arah kami.

“Jangan pernah muncul lagi di depan Asti!” hardikku berlalu pergi sebelum orang-orang itu menangkapku.

OOOO

Menikah Denganmu (Completed)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ