19. Berdebat

5.5K 485 9
                                    

Pinasti Rara Anjani

Ucapan Mas Danu tadi sungguh amat menggangguku. Sejak tadi pikiranku tidak bisa berhenti memikirkannya dan hatiku sangat cemas sekarang. Bagaimana jika ucapan Mas Danu tadi sungguh-sungguh? Bagaimana bisa dia secepat itu merubah perasaannya padaku? Lalu apa yang harus aku lakukan untuk mencegah perasaan Mas Danu semakin dalam padaku?

Entah sudah berapa kali aku membuang napas. Rasanya beban di dadaku tak kunjung berkurang juga. Permasalahanku dengan Chandra masih belum selesai, sudah muncul masalah baru. Kenapa hidupku yang semula tenteram dan damai kini penuh dengan badai?

Dari kejauhan aku melihat sosok Mas Danu datang, aku langsung terbangun dari dudukku dan mulai bepura-pura menyibukkan diri dengan memainkan kemoceng untuk membersihkan lemari kaca yang sebenarnya sudah aku bersihkan tadi. Mas Danu masuk dan langsung menyambar jaket serta kunci mobil.

“As, kita pulang sekarang,” titahnya dengan wajah seperti menahan amarah.

“Lho, tapi masih ada yang belum selesai, Mas.”

“Udah tinggalin aja.” Mas Danu langsung menarik tanganku pergi. “Aku udah nggak mood buat nerusin.” Mas Danu menutup ruko dan menguncinya lalu berjalan cepat menuju mobil.

“Ada masalah, Mas?” tanyaku hati-hati. Semakin diperhatikan semakin kusut tampangnya.

“Nggak ada,” jawabnya singkat, padat namun tidak jelas untukku.

Perjalanan kami lalui hanya dengan keheningan di sekitar mobil. Kulirik Mas Danu yang masih menatap jalan dengan tangan kanan menyentuh kening dan tangan kirinya memegang setir. Seperti ada yang dia pikirkan sejak tadi namun tidak juga kunjung bicara.

Mas Danu yang pamit pergi ke minimarket dengan wajah santai, begitu kembali langsung menampilkan wajah marah dan emosi yang tak terkontrol hingga menyeretku begitu saja. Jelas ada yang terjadi di luar sana yang membuat perubahan sikap Mas Danu menjadi sedrastis ini. Aku jadi penasaran kira-kira apa yang sudah terjadi pada Mas Danu di luar sana, tapi aku juga tidak berani untuk bertanya. Mobil tiba-tiba menepi dan berhenti di pinggir jalur pedestrian saat aku tenggelam dalam pikiranku sendiri.

“Aku nggak tahan lagi!” pekik Mas Danu seperti bicara pada dirinya sendiri. “Aku harus ngomong sama kamu sekarang juga.”

Tubuh Mas Danu berputar dan menghadap ke arahku. Tatapan wajahnya menunjukkan bahwa ada kemarahan yang coba dia tahan di sana.

“As, mungkin ini terdengar jahat tapi aku minta kamu untuk putus sama Chandra sekarang juga. Kamu telepon dia dan bilang kalau kamu mau putus sama dia dan nggak usah lagi kamu berhubungan sama orang yang namanya Chandra.”

Aku terbengong-bengong mendengar semua perkataan Mas Danu yang tidak ada angin, tidak ada hujan langsung menyuruhku untuk mengakhiri hubungan dengan Chandra. Aku tahu Mas Danu dan keluargaku amat tidak suka dengan Chandra, tapi waktu yang aku berikan untuk Chandra berpikir belum berakhir. Aku masih menaruh harapan bahwa Chandra akan menelepon dan menyujui permintaanku untuk menghadap Bapak dan Ibu.

“Mas kenapa tiba-tiba bahas soal Chandra, ya? Mas Danu kan tahu kalau Chandra masih punya waktu untuk berpikir. Semua ini bukan suatu hal yang mudah untuk dipikirkan dalam waktu singkat, Mas dan aku paham kalau Chandra juga pasti kesulitan untuk memilih.”

“Kamu masih memihak dia setelah apa yang udah dia lakukan sama kamu? Bodoh banget kamu!”

Aku terbelalak mendengar Mas Danu menyebutku bodoh. Sebuah kata yang belum pernah dan tidak pernah aku dengar keluar dari mulut masku itu selama ini, dan kali ini kata-kata itu amat menusuk bukan hanya di telinga tapi juga sampai hatiku.

“Mas kok tega bilang begitu sama aku?!” aku mulai terpancing amarah.

“Ya kamu memang bodoh! Kamu nggak sadar apa kalau selama ini Chandra cuma manfaatin kamu aja? dia nggak pernah cinta sama kamu, As. Dia nggak pernah tulus sayang sama kamu.”

“Cukup, Mas!” aku semakin tidak tahan mendengar semua omongan yang menurutku sampah itu keluar dari mulut Mas Danu. Memangnya tahu apa dia soal Chandra? Berani betul berbicara yang tidak-tidak tentang pacarku itu.

“Nggak, aku belum selesai. Kamu yang bayarin pembuatan albumnya Chandra, kan?”

Dari mana Mas Danu tahu soal itu? seingatku, aku tidak pernah cerita kepadanya maupun siapa pun soal itu. Aku memang ikut mendanai pembuatan album bandnya Chandra karena saat itu mereka tidak punya cukup modal. Band indie seperti band milik Chandra tidak bisa mewujudkan mimpi dengan sokongan label musik ternama dan sebagai bentuk dukunganku untuk karir dan mimpinya, aku membantu sebisa dan semampuku.

“Jawab, As!”

“Dari mana Mas tahu?” tanyaku balik.

Mas Danu memukul setir dengan cukup kencang. Pertanyaanku tadi juga menyiratkan jawaban bahwa semua yang ditanyakan adalah benar. Mas Danu terlihat semakin gusar.

“Apa jangan-jangan biaya hidupnya Chandra kamu juga yang tanggung? Asti ... Asti ... bisa-bisanya kamu nggak sadar kalau selama ini Chandra cuma parasitin kamu aja.”

“Parasit? Mas bilang kalau Chandra itu parasit?”

“Terus apa namanya kalau bukan parasit?”

“Asal Mas Danu tahu, ya. Chandra nggak pernah minta apa pun dari aku. Soal dana album itu, itu aku yang mau. Aku yang inisiatif untuk bantu. Cukup Mas salahin Chandra, aku nggak terima kalau Mas terus mojokin Chandra.”

“Kenapa sih, Bapak, Ibu dan Mas Danu nggak suka banget sama Chandra sampai harus mencari-cari kesalahan dia buat jadi alasan aku harus putus sama dia? Aku cinta sama dia, Mas dan kenapa kalian nggak pernah ngerti?”

Lagi dan lagi air mataku mengalir. Rasa sakit karena tidak mendapat restu dan dukungan dari keluarga sendiri atas hubunganku dengan Chandra menjadi fakta yang amat melukaiku begitu dalam. Bapak dan Ibu memang sudah berada di sisi yang berlainan sejak awal hubunganku dengan Chandra tapi aku tidak pernah gentar karena Mas Danu ada dipihakku dan selalu mendukung langkahku.

Tapi kali ini, pendukung satu-satunya itu malah ikut melawanku sekarang. Berdiri bersama Bapak dan Ibu dan mendukung semua keputusan mereka berdua untuk membuatku berpisah dengan Chandra. Aku sendirian sekarang melawan tiga orang yang paling aku kasihi, dan ketiganya dengan kompak melukai hatiku hingga sedalam ini.

“As, kalau dia laki-laki baik kami sebagai keluarga pasti akan mendukung kamu. Tapi coba kamu pikir baik-baik, kalau memang dia cinta sama kamu, detik pertama kamu pergi meninggalkan dia kemarin itu dia pasti akan langsung mengejar kamu dan meyakinkan kamu kalau dia akan lebih memilih kamu dibanding bandnya.”

“Kalau dia laki-laki baik, dia pasti akan segera menelepon kamu kalau perlu langsung datang ke rumah untuk ketemu Bapak dan Ibu. Tapi lihat sekarang? Belum ada kabar sama sekali, kan? kalau kamu prioritas dalam hidupnya, dia nggak akan membiarkan kamu menangis dan sedih seperti ini terus.”

“Aku pulang naik taksi aja.”

Saat ini aku sudah tidak mau mendengar semua ocehan Mas Danu. Hatiku sudah terlalu sakit sekarang. Mas Danu sudah menyatakan diri berada di sisi berseberangan denganku dan aku sangat amat kecewa dengan sikapnya tadi. Amat kecewa.

Mendapat kepercayaan sebagai calon suami yang didambakan kedua orang tuaku membuatnya jumawa dan lupa bagaimana seharusnya bersikap sebagai kakakku. Mas Danu yang dulu hangat sangat amat jauh berbeda dengan Mas Danu yang sekarang. Dia tampak asing di mataku.

OOOO

Menikah Denganmu (Completed)Where stories live. Discover now