Bagian 9

6 2 0
                                    

Genap sepuluh hari kepergian Ibnu dan penyelidikan masih berlanjut. Sedangkan dalam sepuluh hari itu juga Zafran tidak memasuki kelas atau sekadar menyapa para siswanya dengan nada ramahnya. Dia sibuk dengan segala kesedihannya, berulang kali Dilaraa, Kyai Abdullah, bahkan Guntur mencoba membujuknya untuk tidak bersikap seperti itu. Akhirnya Kyai Abdullah meminta tolong Aleta membujuk agar tidak terlalu larut dalam kesedihan. Setelah mencari ke mana-mana ternyata Zafran sedang duduk di taman dekat ponpes seorang diri sambil menatap langit luas, Aleta melihat moge merah itu terparkir di sana. Dia berjalan mendekat sambil membawa soft drink di tangan, lalu diletakkan kaleng satu di sampingnya dan satunya lagi masih dia pegang. Soft drinknya sudah diteguk setengah kemudian baru Aleta memasuki tujuannya berada di taman ini.

"Gue tahu lo sedih, tapi dengan cara seperti ini apa kesedihan itu akan hilang? Gak akan. Justru membuat lo semakin kacau."

Namun, orang di sampingnya sama sekali belum berkutik, diteguknya lagi soft drink, sambil memikirkan kalimat apa yang ampuh agar orang ini berkutik. "Eyang pernah bilang kalau kita tidak boleh zalim dengan orang lain, tapi lo lakaukan itu." Kali ini ucapannya berhasil memalingkan wajah Zafran menghadapnya dengan mengkerutkan dahi, Aleta bangkit dan membalikkan badan agar berhadapan dengan lawan bicaranya. "Pertama, lo menyusahkan eyang, bu Dilaraa, dan ustaz Guntur yang setiap hari berusaha menyemangati lo tapi lo sama sekali tidak menghargai mereka dengan mempertahankan sikap yang seperti ini. Kedua, lo membuat sedih para siswa yang setiap hari menunggu lo mengajar tapi malah gak muncul. Mereka bilang,"Ustaz Zafran ke mana sih? Udah lama gak masuk kelas." dan ada juga yang bilang,"Aku berharap Ustaz Zafran datang dengan ke tampanannya sambil mengajar. Gak tahunya malah gak masuk lagi." Tanpa sadar lo menghancurkan semangat belajar mereka, karena melihat guru yang mereka idolakan sibuk dengan kesedihannya."

Kali ini terjadi perubahan ekspresi pada pria itu, Aleta kembali duduk. "Zaf, lo punya para siswa, ponpes, keluarga, dan perusahaan yang semuanya itu harus lo urus. Dengan sikap yang seperti ini lo mengabaikan apa yang seharusnya. Lihat Syamaa, dia sedih sama kayak lo tapi dia ingat punya keluarga. Eyang pasti lebih sedih kehilangan anaknya, tapi eyang ingat kalau punya dua orang cucu dan jika cucunya itu melihat ia sedih pasti ikut sedih."

"Kamu benar, lalu apa yang harus aku lakukan?" akhirnya si menyebalkan angkat suara juga.

Dengan senyum kecil Aleta menghadap kearahnya lagi, "Jadilah ustaz menyebalkan yang dulu. Lakukan apa yang termasuk kewajiban lo, papa Ibnu menitipkan perusahaan itu karena dia tahu lo mampu menggantikannya."

"Ustaz menyebalkan yang dulu?"

"Ya, yang bawel, cerewet, dan suka ngagetin orang tiba-tiba. Kadang aneh juga lihat lo dingin kayak gini, serem tahu gak. Kemasukan maung awas lo."

Seketika tawa renyah terdengar, "Asalkan kamu bantu, gimana bu dokternya ustaz menyebalkan?"

Aleta mengangguk seraya menahan tawa karena perkataan Zafran barusan,tapi dia tidak sanggup menahannya lagi dan pecahlah tawanya. Setelah masalah clear mereka kembali ke ponpes, tiba di ponpes ternyata pengacara Ibnu sedang menunggu Zafran untuk menandatangi dokumen asli pemindahan kekuasaan perusahaan. Betapa terkejutnya Aleta melihat siapa pengacaranya, begitu pun dengan sang pengacra yang terkejut melihat Aleta. Proses tanda tangan selesai tapi masih ada hal yang ingin Aleta tanyakan, terlebih mengetahui siapa pengacara Ibnu, maka dari itu dia mengikutinya sampai parkiran.

"Saya benar-benar tidak menyangka, orang yang dimaksud mendiang Ibnu adalah kamu dan pilihannya sudah benar." Ujar pengacara itu.

Aleta mengkerutkan dahi mendengarnya, seketika dia teringat dengan hal yang ingin dia tanyakan. "Apa berhubungan dengan surat?"

ALETA {ON GOING}Where stories live. Discover now