29. Keputusan atau Alasan?

165 23 1
                                    

"Jadi memang liburan semester kalian kesini?" Simpul Amaiya mendengarkan penjelasan Hulya yang sejak tadi bercerita, berbeda dengan Fazza yang mengunci mulutnya.

"Iya, aku juga tidak tahu. Dulu Asla menolak keras jika disuruh kembali kesini, tiba-tiba kemarin lusa dia mendesak agar aku menemaninya liburan ke Konya." Hulya kemudian menyeruput teh nya dengan penuh penghayatan.

Mereka bertiga sekarang ada di sebuah kedai teh kecil tak jauh dari pertemuan tadi.

Tatapan Amaiya sekarang tertuju pada Fazza yang terlihat santai.

"Kenapa?"

"Karena aku merindukanmu."

Brsshhhhpp, tiba-tiba Hulya menyemburkan teh yang baru saja dia minum setelah itu terbatuk-batuk. Sedangkan Amaiya hanya memandang Fazza dengan tatapan tertegun.

"Uhuk uhuk, oh, astaga apa pendengaranku ada yang salah? Tidak mungkin pria ini mengatakan hal semacam itu!" Hulya menggeleng-geleng.

"Kalian kenapa? Itu memang benar." Datar Fazza. Amaiya malah semakin tak percaya mendengarnya. Sementara Hulya sekarang tertawa renyah.

"Ternyata sepupuku ini sedang merindukan seseorang, ya, pantas saja kemarin terus saja murung.. belum lagi kau kebingungan mencari seseorang disini.." goda Hulya kemudian mendorong kecil bahu Fazza.

Sedangkan Amaiya sekarang mati kutu.

"Ya sudah, kelihatannya kalian harus ditinggal berdua disini, aku pergi dulu ya." Hulya melambaikan tangan lalu keluar kedai dengan cepat.

Suasana semakin dibuat kaku. Tidak ada pembeli selain Fazza dan Amaiya, belum lagi suara angin salju yang terdengar nyaring karena saking heningnya di dalam sini.

"Katakan dengar jujur, tuan." Tegas Amaiya tak mau hatinya naik turun seperti roaler coster karena ucapan Fazza.

Fazza diam, dia seperti memikirkan sesuatu. Tak lama setelah itu dia menghembuskan napas pelan dan matanya mengarah intens pada Amaiya.

"Aku akan menepati janjiku, keputusanku sudah bulat untuk mempertemukanmu dengan Baba."

Amaiya tersenyum senang mendengarnya. Fazza tetaplah Fazza yang tidak pernah main-main dengan ucapannya.

"Terimakasih!" Ucapnya dengan tulus, terlihat raut muka yang bahagia dalam sana. Amaiya yakin Fazza akan mempertemukannya dengan Musa Gazali suatu saat nanti akan terwujud.

"Kau dan aku akan mencarinya bersama, dalam waktu lima hari ini, segala rahasia harus terkuak. Aku ingin keluar dalam kegelapan ini."

Tangan Amaiya menggenggam erat tangan Fazza tanpa sadar. Mata Amaiya berbinar.
"Perlahan kau mendapatkan cahaya itu, Fazza." Amaiya mengangguk-angguk dengan yakin.

Perasaan Fazza pada Amaiya membuatnya tenggelam di dalamnya. Apakah cahaya itu adalah Amaiya?

Sesuatu membuatnya ingin terus melihat Amaiya, perkataannya adalah nyanyian, senyumnya adalah penyakit sekaligus obat atas rindunya ini. Kehangatan dan sikapnya seolah kenyamanan yang sering dia sebut sebagai rumah.

Fazza tidak suka rasa yang dominan, dia menyukai hambar. Tetapi karena gadis ini Fazza mulai menyukai manis. Bukan manis makanan, tetapi karena manis senyumnya.

Amaiya adalah alasan mengapa Fazza berada di Konya saat ini, entah mengapa dia tidak sanggup melihat Amaiya mengacuhkannya.

Amaiya adalah alasan mengapa Fazza kembali membuka masa lalu dan berusaha berdamai dengan segalanya.

Dan Fazza salah, bukan rumah pohon yang membuatnya tenang dalam segala badai dalam dirinya. Tetapi karena kehadiran Amaiya-lah segalanya menjadi baik-baik saja.

F A Z Z A (End)Where stories live. Discover now