22. Tidak Dapat Dihindari

145 22 3
                                    

Hujan semakin lebat dan malam semakin larut, sudah tidak ada orang lagi selain Amaiya dan keempat pria pemabuk itu lagi. Baju Amaiya kini dikotori oleh lumpur karena dia tersungkur didorong oleh salah satu dari mereka.

Amaiya sempat menangis dan ketakutan, tapi sekarang dia berusaha untuk melawan mereka, bukan berarti dia lemah untuk urusan semacam ini. Meskipun dia tidak bisa bela diri setidaknya dia bisa melindungi dirinya dengan cara apapun sekarang.

Mereka hanya pemabuk yang kehilangan setengah akalnya. Pikir Amaiya menenangkan diri.

Dia menepis dengan kasar kala seorang dari mereka mencoba menyentuh lengannya yang sekarang terbuka, beberapa kali rambut Amaiya dijambak tetapi dia berhasil menariknya kembali.

Amaiya berlari.

Terus berlari di tengah kegelapan malam itu. Langkah-langlah kakinya menginjak genangan air dari hujan yang masih ada hingga kini.

Tubuhnya bergetar, dia mencoba bersembunyi pada salah satu gang komplek sana.

Lalu Amaiya merapikan baju, menghilangkan lumpur sebisa mungkin, mengusap air mata dan membenahi rambut. Dia menenangkan dirinya sendiri, mengetahui para pemabuk itu sudah jauh dari tempat Amaiya bersembunyi.

Saat ini, entah bagaimana dia pulang nanti.

"Neng?"

Amaiya terkejut, takut para pemabuk tadi sudah menemukannya di sini. Senter tampak menerangi wajah Amaiya.

"Neng ngapain malem-malem di sana?"

Ternyata itu Bapak pos ronda yang mendapat bagian keliling hari ini. Dia masuk di gang sempit itu, mendekati Amaiya dan cukup prihatin dengan keadaan Amaiya sekarang.

"Astaghfirullah, ini kenapa bajunya kotor begini?" Bapak itu memayungi Amaiya dengan payung yang dia bawa tadi.

"Di sana, ada orang mabuk mencoba menyakiti saya. Saya berhasil lari darinya!" Jawab Amaiya mencoba menahan isak.

"Mana?"

Telunjuk Amaiya mengarah kesebuah arah.

"Ya Allah, ya udah kamu dianter pulang dulu, ya .. nanti wong mendem-mendem tadi biar bapak-bapak pos ronda yang urus,"

Amaiya mengangguk.

"Sudah, neng jangan takut lagi, ayo tak anter ke rumah saya, nanti anak saya biar yang nganterin neng ya .."

•~•~•

Amaiya melirik jam dinding rumah Pak Pri, Bapak yang menolongnya tadi, dan jam sudah menunjukkan angkan 11 malam. Ia tahu pasti Kakek dan Neneknya khawatir dengan keadaannya sekarang.

Ini semua salahnya! Jika saja dia tidak menuruti permintaan bodoh Bhatara kemarin, jika saja dia mendengarkan teman-temannya, dia tidak akan seperti ini.

Amaiya tadi menolak tawaran Pak Pri untuk meminum teh dan memakai jaket putra-nya agar tidak kedinginan, alasannya hanya karena dia ingin cepat pulang dan merasakan pelukan kakek neneknya.

Sekarang Amaiya sedang menunggu anak Pak Pri untuk mengantarnya pulang.

"Amaiya?"

Amaiya mendongak saat mendengar namanya diketahui oleh putra Pak Pri.

"Lo, ya ampun! Jadi yang Bapak ceritain itu lo?"

Amaiya mengerutkan kening, lalu dia pun terkejut dengan siapa yang berbicara didepannya.

"Ali?"

F A Z Z A (End)Where stories live. Discover now