10. Nasi goreng ala Fika

Start from the beginning
                                    

"Terus apa lagi, Bi?" tanya Nafika dengan tangan memegang spatula.

Bibi Dera memberikan semangkok nasi. "Nah sekarang masukkan nasi."

Semangkok nasi itu diterima oleh Nafika. Memasukkannya ke dalam kuali dengan perlahan kemudian dioseng-oseng. Harum bau tumisan bawang mulai semerbak. Nafika mengendus masakkannya. Tersenyum sumringah.

"Bi Dera! Mau hujan Bi, jemuran diangkat dulu!" Tiba-tiba Aira berteriak berlari keluar karena hari mulai gerimis.

Bibi Dera langsung panik. "Aduh, Non, maaf. Bibi bantu Nyonya dulu. Ini tinggal dikasih bumbu saja, ada di toples putih bumbunya." Setelah mengatakan itu Bibi Dera langsung beralih pergi menemui Aira.

Nafika mengedikkan bahu. Toh ini hampir selesai, hanya bumbu. Tidak apa-apa jika Bibi Dera tidak mengawasinya.

"Tadi di toples putih 'kan, ya?" Tangan Nafika menelusuri bumbu-bumbu dapur. Berhenti di dua toples yang berwarna putih. Tanpa pikir panjang Nafika mengambil satu toples berwarna putih yang ada di dekat tangannya.

"Ini garam bukan sih?" Nafika mengamati toples di tangan. Jujur saja Nafika tidak sama sekali mengetahui bentuk barang-barang di dapur. Dia sangat jarang ada minat masak. Tugasnya hanya makan.

Jari telunjuk Nafika masuk ke dalam toples, mengambil butiran putih. Mencicipi. Asin. "Ah, benar ini garam." Nafika mengambil sendok teh, menyendok garam. "Ini tuh butuh berapa sendok?" Nafika bergumam. Tadi Bibi Dera tidak mengatakan berapa sendok.

Nafika mulai berpikir keras. Tadi di awal dia kebanyakan memakai minyak. Bagaimana jika dia kebanyakan memakai garam? Ah peduli amat. Tidak akan mempengaruhi rasa 'kan?

"Tiga sendok kali, ya?" Nafika memasukkan tiga sendok teh garam. Kembali mengongseng nasi goreng. Hingga lima menit kemudian Nafika mematikan kompor.

Bibi Dera sudah kembali dari mengambil jemuran. Menghampiri Nafika. "Sudah, Non?"

"Iya, Bi," jawab Nafika tersenyum sambil menunjukkan piring yang berisi nasi goreng buatannya.

Aira ikut melangkah di belakang Bibi Dera. Kembali duduk di kursi meja makan. Nafika juga ke sana, membawa nasi gorengnya untuk di nilai.

"Tadaaa! Nasi goreng buatan Chef Nafika!" kata Nafika bangga. Menyilangkan tangan di dada. Sangat yakin nasi yang dia buat hanya dengan garam akan enak.

"Ada apa ini?" Suara serak menyapa telinga mereka. Membuat mereka menoleh.

"Eh Saga. Kebetulan sekali, ini Mama dan Bibi mau menjadi juri masakan Fika. Kamu mau ikut menjadi juri?" Aira menawarkan pada Saga yang barusaja bangun. Wajahnya masih menunjukkan wajah bantal. Masih menggunakan baju kaos berwarna hitam.

Saga menautkan alis, menoleh ke arah Nafika yang memalingkan wajah darinya. "Boleh saja." Saga setuju. Duduk berhadapan dengan Aira.

Nafika meremas jari. Saga akan menjadi juri masakkannya? Astaga! Jantungnya jadi deg-deg'an. Nafika menyentuh dadanya. Berpikir, Saga akan dengar tidak, ya?

"Nah, kamu saja yang mencicipi masakan Fika lebih dulu." Aira menyodorkan piring berisi masakkan Nafika ke arah Saga.

"Iya, Ma." Saga meraih sendok. Menatap sebentar nasi goreng yang cukup meyakinkan tampilannya.

Melihat itu Nafika semakin gugup. Aduh ... bagaimana jika itu tidak enak?

Satu suapan berhasil masuk ke dalam mulut Saga.

"Uhuk!!" Saga terbatuk. Buru-buru meraih gelas yang berisi air dan menenggaknya habis. Saga menyeka bibir. Menatap Nafika.

"Kenapa Saga? Enak?" Aira bertanya penasaran. Wajahnya sama seperti Nafika yang juga terlihat penasaran dengan pendapat Saga.

Saga menoleh, mengangguk. "Ini enak, Ma. Biar Saga aja yang makan ini."

"Eh? Benarkah?" Nafika berseru heboh. Hatinya menghangat. Ah, Saga memuji masakkannya. Ini menyenangkan sekali.

Aira tersenyum, juga Bibi Dera. Syukurlah, jika Saga yang berkata seperti itu, biasanya emang enak.

"Yasudah, sepertinya kamu akan sarapan dengan itu? Kalau begitu Mama akan membawa kembali sup ini." Aira dan Bibi Dera mulai membereskan sarapan.

"Papa emangnya engga sarapan, Ma?" tanya Nafika bingung. Yang baru sarapan 'kan hanya Saga.

"Papa sudah pergi lebih dulu ke kantor, ada rapat penting." Aira menjawab dari dapur.

Nafika menggumam mengerti. Kembali menatap Saga yang menikmati nasi goreng buatannya. Sudah berapa gelas Saga menghabiskan air minum? Sejak tadi Saga makan nasi goreng sambil minum. Perasaan Nafika tidak membuat nasi goreng yang pedas.

"Itu beneran enak?" Nafika bertanya ragu. Membuat Saga tersedak.

"Eh! Lo gapapa?" Nafika menuangkan air putih, memberikan ke Saga.

Saga menerimanya, meminumnya hingga tandas. "Ini enak, biar gua aja yang makan."

"Beneran? Bagi dong, kalo enak." Nafika meminta manja. Dia juga ingin mencicipi masakkan pertamanya.

Saga menggeleng. "Sori. Gua lapar, lo kalau lapar juga minta sup dari Mama."

"Ah, pelit banget. Satu suap aja!"

"Engga."

"Ayolah Saga." Nafika menggoyangkan bahu Saga. Emang seenak itu hingga Saga menjadi pelit?

Saga menghela napas. Menatap nasi goreng yang tinggal satu sendok. "Lo beneran mau?"

"Iya!"

"Yaudah, jangan menyesal." Saga menyendok nasi goreng itu. Mengarahkannya pada Nafika. Dengan senang hati Nafika membuka mulut. Mengunyah nasi goreng buatannya.

Ekspresi wajah Nafika berubah. Bibir, dahi, dan alisnya mengerut. Nasi goreng buatan Nafika asinnya luar biasa. Dan hanya ada rasa asin. Nafika memicingkan mata keasinan, meraih gelas yang berisi air putih. Menenggaknya habis.

"Ini asin banget!" serunya meringis. Membuat Saga tertawa kecil. Memang asin dan sangat asin. Tidak ada rasa lain selain asin.

Saga berdiri di sebelah Nafika. Mengulurkan tangan mengelus kepala cewek itu. "Kerja bagus. Lain kali hasilnya akan lebih baik."

Nafika mematung. Membiarkan Saga melenggang pergi.

"Ahh! Gagal!" Nafika merengek. Menatap piring yang tidak menyisakan satu pun butir nasi. Saga benar-benar terlalu memanjakannya. Kenapa tidak jujur saja? Dia jadi tidak sarapan. Ah tidak, dia sarapan tapi tidak dengan sarapan yang enak.

-TO BE CONTINUE-

Dear Nafika badbaby sist!Where stories live. Discover now