17. Erga dan Ayahnya

353 42 2
                                    

-oOo-

Tring!

Ameeza diam-diam mengeluarkan HP dari saku roknya, ia membuka HP-nya di bawah meja agar Agas dan Ily yang sedang menjelaskan sesuatu di depan tidak mengetahui tindakannya. Yang jelas jika ketahuan Ameeza bisa di keluarkan dari ruang eskul.

Erga
Mari bertemu di Cafe ElBa

Dahi Ameeza mengernyit. Merasa heran dengan isi pesannya dan siapa pengirimnya. Namun, selanjutnya senyuman Ameeza terbit. Sebelum sebuah teriakan yang menyerukan namanya membuat Ameeza mengulum senyum dan beralih pura-pura fokus ke depan.

"Main HP?!" tanya Ily sarkas.

"Gak."

Setelah mendengar jawaban singkat itu, Agas melanjutkan penjelasannya tanpa peduli Ily yang sepertinya masih belum puas mendengar jawaban dari Ameeza.

Setelah penjelasan panjang Agas yang amat membosankan, Ameeza buru-buru keluar kelas, menyerobot sekumpulan anak-anak yang menghalangi pintu keluar dan dia sama sekali tidak berpamitan pada Agas dan Ily.

Sekarang setelah keluar dari ruang Club Buku, Ameeza berlari menuju parkiran. Ia segera masuk ke dalam mobil, lantas menyandarkan punggungnya, mengatur deru napas yang masih tak beraturan.

Ameeza merogoh saku rok, membuka room chatnya dengan Erga, tadi ia hanya membaca saja pesan dari Erga tanpa membalasnya. Jarinya sudah mengetik beberapa kata, namun pada akhirnya Ameeza kembali menghapusnya dan berpikir tidak usah membalas saja.

Perjalanan dari sekolah ke Cafe ElBa hanya membutuhkan waktu 15 menit, jika saja tidak macet di jalan. Dan yah tadi macet di jalan sehingga Ameeza  sampai di Cafe ElBa 30 menit kemudian.

Sejujurnya ketika kaki Ameeza melangkah mendekati pintu kaca Cafe ElBa dan hendak mendorong pintu kaca itu, Ameeza merasa senang sebab Erga mengajak bertemu. Ameeza berpikir mungkin saja Erga akan mempertimbangkan keputusannya beberapa hari lalu.

Senyum Ameeza langsung luntur ketika pandangannya berhenti pada tiga sosok orang yang berhadapan dengan Erga, entah siapa. Ameeza ingin menghampiri Erga dan mengajaknya pergi. Namun, kakinya tertahan dan entah mengapa tubuhnya mendadak kaku. Entah apa, ia merasa ada sesuatu hal yang sedang Erga urus dengan ketiga orang asing itu dan Ameeza seakan tak boleh ikut campur sebab ia hanyalah orang luar. Alhasil Ameeza hanya diam memperhatikan.

Disisi lain Erga hanya diam di depan ketiga orang itu, lebih tepatnya pada sosok laki-laki berkemeja biru. Laki-laki yang sejak lama amat dibenci, orang yang selama ini sangat ia hindari sekaligus orang yang selama ini sangat dirindukannya. Lagi, pikirannya tercampur aduk jadi satu, rasa benci dan rindu seolah tak dapat dipisahkan. Erga bimbang dengan perasaannya. Tapi, sekarang ketika tanpa sengaja bertemu dengan orang itu, Erga merasa perasaan bencinya lebih dominan ketimbang perasaan rindu.

Mata teduh dan tegas itu menatap Erga. Tangan kiri laki-laki itu menggenggam seorang anak perempuan yang masih kecil dan tangan kanannya dipeluk oleh seorang wanita. "Erga."

"Ya," balas Erga singkat dan dingin.

Sembari menunggu kelanjutan ucapan dari laki-laki di hadapannya, Erga mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru Cafe yang hari ini entah mengapa cukup sepi. Dan Erga tahu Ameeza sudah sampai di sini, perempuan itu hanya memperhatikannya saja dari kejauhan tanpa berminat untuk menghampirinya. Padahal Erga sangat berharap Ameeza datang menghampiri lantas membawanya pergi menjauh dari tiga orang di depannya ini. Erga tersenyum kecil, senyum yang menggambarkan kepahitan. Harapan Erga lagi-lagi terpatahkan, perempuan berambut cepol itu lagi-lagi hanya memperhatikan atau justru menghindarinya? Ah, Erga jadi tidak mau berharap lagi.

Sebelum pikiran Erga terlalu jauh memikirkan Ameeza, Erga lebih dulu tersadar sebab laki-laki di depannya berbicara.

"Bagaimana kabarmu dan  ibumu?"

Kepala Erga tertunduk dalam. Mendengar pertanyaan dari laki-laki di depannya, perasaan benci dan amarah yang berusaha ia kubur dalam kembali mencuat, dan sungguh rasanya sesak dan sakit. Sebelum Erga menjawab, laki-laki di depannya memerintahkan wanita itu untuk pergi.

"Kita bicarakan sambil duduk," kata laki-laki itu, Erga menurut.

"Bagaimana kabarmu dan ibumu?" ulang laki-laki itu lagi dengan sorot mata yang 'seakan benar-benar peduli' padahal kenyataannya tidak.

"Ibu saya sudah meninggal dan saya merasa sangat kehilangan. Ketika saya hanya ingin usapan lembut dari ayah  untuk menenangkan saya waktu itu. Namun, saya tidak mendapatkannya. Selanjutnya Anda bisa menyimpulkan sendiri bagaimana kabar saya setelah ditinggalkan orang yang sangat saya sayangi dan ditinggalkan oleh ayah saya sendiri. Meskipun saat itu ayah dan ibu sudah bercerai," jelas Erga sangat pelan bahkan diakhir kata suaranya nyaris tak terdengar. Yah, mengulang kembali ingatan yang 'menyakitkan' itu tidaklah mudah. Iyah, jika kita sudah bisa menerima dan menyikapinya dengan baik. Jika tidak? Maka kita akan kembali terhanyut dalam kesedihan itu. Dan Erga saat ini berada di opsi ke dua.

Laki-laki di depan Erga terdiam. Yah, laki-laki yang hari ini bertemu tanpa sengaja di Cafe ElBa dan menanyakan kabar adalah Genta—Ayah Erga.

Bibir Pak Genta masih terkatup rapat. Pertanyaan yang begitu banyak di kepala tiba-tiba hilang entah kemana. Secara tiba-tiba pula Pak Genta tidak tahu mau menanggapi jawaban dari Erga seperti apa. Sebab ia mengerti, salah ucap sedikit saja Erga akan benar-benar membencinya atau memang Erga sudah membencinya?

"Sudahkah? Sudah cukupkah rasa penasaran Anda?" tanya Erga menyorot Pak  Genta dengan tatapan dingin, ia beranjak dari tempat duduk. Namun, sebelum melangkah pergi, Pak Genta lebih dulu menahan lengan Erga.

"Ada yang ingin saya tanyakan lagi," ujar Pak Genta membuat Erga segera melepaskan cekalan itu pelan. Erga kembali duduk.

"Apakah kamu membenci saya?" tanya Pak Genta dengan perasaan cemas.

Tatapan Erga kosong. Ia mengembuskan napasnya pelan membuat Pak Genta ikutan tegang. Mata Erga enggan untuk bertumbuk dengan Pak Genta, jadi Erga memilih menatap pada meja. "Anda sudah bisa menyimpulkan bukan dari cerita saya tadi? Kurang jelaskah?" Erga menghela napas pelan. "Baiklah kalau masih kurang jelas, saya akan jelaskan. Saya membenci Anda bahkan sekadar nama Anda disebut pun saya sudah muak. Dan sekarang entah kenapa kita bisa tanpa sengaja bertemu. Anda bisa menyimpulkan dari sikap saya ketika bertemu dengan Anda saat ini. Apa saya terlihat mengharapkan kedatangan Anda atau justru tidak ingin bertemu dengan Anda?"

Jawaban dari Erga menikam tepat di dada Pak Genta. "Maafkan saya, bisakah saya mendapatkan maaf itu? Bisakah saya menjelaskannya sekarang. Saat itu saya khilaf. Say—"

Erga lebih dulu beranjak dari kursi yang menimbulkan suara deritan cukup keras dan tindakan Erga itu sukses menghentikan ucapan Pak Genta.

"Untuk saat ini saya sedang tidak ingin membahas masa lalu. Saya sedang tidak ingin berhadapan dengan orang yang menyakiti saya sedalam ini." Kepala Erga menoleh, menatap Pak Genta dengan seulas senyuman tipis, senyuman yang mengandung makna kepedihan dan sakit yang ditahan selama satu tahun. Rasa sakit dan pedih yang tidak bisa Erga luapkan dalam bentuk amarah pada Pak Genta, sebab ia masih ingat bagaimana pun Pak Genta tetaplah ayahnya. Tentu saja ia harus menjaga sikap dan tetap sopan. "Lain kali jika kita ditakdirkan bertemu mungkin saya sudah bisa memaafkan Anda."

Selepas kepergian Erga Pak Genta tertunduk dalam meratapi kesalahannya beberapa tahun lalu. Ia saat itu khilaf dan tidak memikirkan apapun lagi selain menikah dengan selingkuhannya. Saat itu ia bahkan tidak mau tahu keadaan Lisa—istrinya sekaligus Ibu Erga.  Pak Genta memaklumi jika Erga membencinya, itu wajar sebab tindakannya saat itu memang sangat menyakiti.

-oOo-

AMEEZA (New Version)Where stories live. Discover now