🌼 Empat belas🌼

30K 4.1K 77
                                    


Langit mengamati Sekar dari kejauhan. Sejak tadi ia tertarik ingin mengetahui lebih jauh tentang Sekar. Ia memang belum pernah bertemu sebelumnya dengan gadis itu.

"Menarik sekali, aku bahkan sempat tersihir melihat bola matanya yang berbeda warna. Dia sepertinya penderita albino, makanya kulit beserta rambutnya berwarna putih" Langit mengetuk-ngetuk meja di depannya.

"Berapa umur anak itu?" Tanya dia pada pengawal yang selalu setia menemaninya.

"Kalau tidak salah dia baru berumur 9 tahun tuan" Langit menganggukkan kepala.

"Kau bilang dia anaknya tuan Biduar, bukankah setahuku tuan Biduar tidak memiliki seorang putri?"

"Betul tuan, nona Sekar memang baru dikenalkan tiga tahun yang lalu ketika ia berumur 6 tahun" Langit mengerutkan dahinya.

"Menurutmu mengapa ia baru dikenalkan saat itu?"

"Kalau menurut rumor yang beredar, tuan Biduar takut anaknya akan di ledek karena memiliki kelainan tuan. Tapi sepertinya sekarang ia bisa tenang karena hampir tidak ada yang menjelekkan nona Sekar, bahkan banyak yang memuji kecantikannya. Apalagi kedua iris matanya yang berbeda menambah kesan tersendiri".

Langit memang baru beberapa bulan ini kembali dari benua Barat, ia baru menyelesaikan pendidikannya disana.

Langit tak memutus pandangannya dari area tenda medis. Tak berapa lama Sekar keluar dengan wajah kusut bersama dengan Gardana.

"Siapa anak lelaki yang bersamanya itu?" Tanya Langit kembali.

"Ah itu kakaknya, anak kedua dari tuan Biduar. Sepertinya tuan Langit terlalu lama yah di benua Barat hingga lupa dengan anak-anak tuan Biduar" gurau sang pengawal.

"Sepertinya begitu. Kamu taulah lima tahun aku tidak kembali kesini, banyak perubahan yang aku lihat. Apalagi wajah, semakin bertambahnya usia seseorang maka garis wajahnya juga akan berubah" sang pengawal menganggukkan kepala setuju.

"Kak papah mana?" Tanya Sekar pada Gardana.

"Ayahanda sedang berada di istana presiden, ada beberapa hal yang mesti mereka bahas pasca bencana ini"

"Yasudah, kakak temani aku pulang yah. Badan Sekar lengket dan pengen mandi" rengeknya pada Gardana. Dan semua tingkah lakunya itu tak lepas dari perhatian Langit.

"Tidak usah Sekar, besok pagi saja. Kita tidak tau nanti pas masuk rumah malah ada gempa susulan" tolak Gardana tegas.

"Yah kalau ada gempa tinggal keluar saja dari rumah, repot amat" dumel Sekar.

"Kamu tuh yah, selalu aja bisa ngejawab. Pokoknya gak ada acara pulang ke rumah. Mending kamu istirahat sana, sedari siang kamu belum ada makan sama istirahat sama sekali"

"Tapi aku pengen mandi.. mandi.. mandi..."rengeknya seperti anak kecil.

Sudut bibir Langit terangkat kala melihat dan mendengar rengekan Sekar.

"Lucu sekali" gumamnya. Sang pengawal mengerutkan kening, tumben sekali tuannya ini tersenyum.

Pada akhirnya Gardana menyerah, lalu mencari adiknya yang satu lagi agar ikut pulang ke rumah.

"Yasudah kita cari Lingga terlebih dahulu. Kamu duduklah disini, biar aku mencarinya agar kita segera pulang ke rumah" Sekar akhirnya menurut. Ia mendudukkan diri diatas tanah tanpa ada alas sekalipun.

"Huaaaammm" Sekar menutup mulutnya kala menguap lebar. "Capek banget gue ya Tuhan. Tapi seneng juga akhirnya aku bisa membantu orang dengan kemampuan ku sendiri" senyumnya mengembang kala mengingat lagi perjuangannya barusan.

SEKAR Where stories live. Discover now