"Meskipun begitu, kenyataan yang sekarang, gua dan dia saudara."

"Fuck! Biasanya gue dukung lo, tapi sekarang enggak dulu, kali ini lo emang keterlaluan." Anna melenggang pergi meninggalkan kerumunan yang mulai ramai.

"Kak, maaf ... karena aku kalian jadi bertengkar gini," cicit Veya takut. Kini dirinya dan Saga mulai menjadi pusat perhatian.

Saga tersenyum simpul. "Santai aja, Fika anaknya emang gitu. Palingan nanti bakalan kayak biasanya."

"Tapi tetap aja, Kak. Harga diri kak Fika pasti akan tergores kalo kak Saga yang biasanya menolak ajakan kak Fika pergi ke kantin, tapi malah menerima ajakan aku." Ada rasa bahagia dihati Veya ketika tahu Saga memenuhi keinginannya, dan menolak keinginan Nafika.

"Gua nerima ajakkan lo hanya menjalankan tugas gua sebagai ketua, dan gua nolak setiap permintaan Fika, itu pasti ada alasan."

Veya tersenyum miris, kebahagiaannya hanya sesaat. Memang benar, Saga menerima permintaannya karena penting. Dan jika menerima ajakan Nafika, Saga hanya akan terlihat memberikan harapan padanya, oleh karena itu Saga selalu menolak. "Emang, kak Saga ga ada rasa sama kak Fika?"

"Kenapa nanya gitu?"

Veya mengangkat tangannya panik. "Aku ga ada maksud apapun kok! Aku cuma penasaran kenapa kak Saga menolak kak Fika, padahal kalian sangat cocok."

"Dia adek gua, mustahil buat punya hubungan yang lebih dari batas saudara."

"Tapi, sebelumnya kata kak Anna, kak Fika sudah menyukai Kakak sejak lama, bahkan sebelum kalian menjadi saudara, kenapa kak Saga masih menolaknya?"

Saga mengangkat kedua bahunya acuh. "Gua masih belum tertarik tentang percintaan, dulu."

"Kalo sekarang? Kak Saga udah tertarik sama percintaan? Ada rasa sama kak Fika?"

Saga mendesis. "Jangan tanyakan itu, bukannya masih terlalu awal buat lo nanyain hal itu ke gua?"

Wajah Veya menjadi merah padam, menepuk bibirnya yang lancang bertanya. "Maaf! Maaf, aku lupa, Kak."

-dear nafika-

Nafika menghapus kasar air mata yang terus turun membasahi wajahnya. Seandainya Saga tidak menghampiri dia dan Anna, mungkin air matanya tidak akan sederas sekarang. Ia malu, malu karena ketahuan menangisi Saga, malu ketahuan cemburu.

Sepanjang koridor semua orang memandangi Nafika, gadis yang berpengaruh disekolah itu menangis berlari menuju parkiran.

Ketika tiba di parkiran, Nafika berjongkok dihadapan mobil miliknya yang berwarna biru. Nafika menyeka kasar air matanya, menyedot kembali ingusnya yang akan keluar, bahunya bergetar hebat.

"Sakit banget ... ini pertama kalinya, gue cemburu sama cewek lain yang deket sama Saga." Nafika terisak, tangisnya sedikit tersendat-sendat.

"Gue cuma mau lo, deket sama orang yang gue suka ... gue ga tau siapa itu Veya, apa alasan lo mau makan bareng sama dia ..."

"Lo selalu nolak gue, tapi gue tetap menjadi Fika yang sama seperti dulu, bahkan ketika gue sadar kalau harga diri gue seakan jatuh karena ngejar lo, gue tetap suka sama lo ..."

Rambutnya yang digerai sudah berantakan akibat air mata yang melebar membasahi rambutnya sehingga menjadi kacau.

Dari kejauhan, seorang lelaki melangkahkan kakinya menghampiri Nafika. Ditangannya ada sebuah sapu tangan berwarna biru gelap.

"Lah? Lu kenapa nangis?" Seseorang bertanya pertanyaan yang hampir sama dengan Saga saat dikantin.

Mata Nafika yang sembab menatap tajam laki-laki yang ada di depannya. Dia mengenali laki-laki itu. "Diem lo! Lo, Reo musuh Saga, 'kan? Jauhin gue, jangan ganggu gue!"

Seorang laki-laki bernama Reo Gautama itu tersentak ketika diusir dengan kasar oleh Nafika. Reo sedikit berjongkok agar bisa melihat wajah Nafika lebih dekat. "Ooh, lu cewek yang katanya ditolak mentah-mentah oleh Saga, tapi masih kagak sadar juga?"

Nafika mendelik tak terima. "Gue Nafika! Gue sahabat sekaligus calon tunangannya!"

Tawa Reo pecah, dia telah mendengar banyak gosip tentang Nafika dan Saga. Seorang adik yang menyukai saudara angkatnya. "Miris amat lo, sini gua pungut."

Nafika berdiri berdecak pinggang. "Enak aja! Lo pikir gue sampah yang harus dipungut?"

"Ya seperti itulah," jawab Reo santai. Satu tangannya dimasukkan kedalam saku, dan satunya lagi masih menggenggam sapu tangan.

"Gue ga butuh dipungut! Gue ga dicampakkan!" sergah Nafika. Ingusnya ingin keluar, buru-buru dia menyambar sapu tangan yang ada ditangan Reo, sudah lama ia melirik benda itu-sejak dia melihat Reo datang.

"Lah? Gua belum nawarin woi!" protes Reo tak terima. Aksinya menjadi pahlawan kesiangan gagal, berganti menjadi pahlawan kebobolan.

Nafika mengeluarkan ingusnya, mengembalikan sapu tangan itu kepada Reo. "Makasih!"

Reo memegang sapu tangan itu jijik. "Emang gesrek lo jadi cewek, pantes ditolak mulu oleh Saga."

"Enak banget tu mulut ngatain gue!"

Reo terkekeh kecil, menyandarkan tubuhnya pada mobil biru Nafika. "Gua tadi liat lo keluar dari kantin setelah Saga datang ke meja lo, gua juga liat lo nangis, makanya gua datang kesini bawah sapu tangan."

Tak ada jawaban dari Nafika, gadis itu masih dalam badmood level akhir.

"Kalau gua boleh tau, lo sering dibikin nangis oleh tu cowok?" tambah Reo.

"Maksudnya Saga?" Reo mengangguk, mengiyakan. "Ini yang pertama kalinya gue dibikin nangis karena cemburu."

Reo mengangguk paham. "Jadi, kesimpulannya Saga udah bosan sama lo."

"Bosen? Bosen gimana?"

"Ya bosan, dia ketemu Veya, yang kemungkinan lebih menarik dari lo dimata Saga," kelakar Reo mengompori.

Nafika mengibaskan tangannya jengah. "Udahlah, gue tau lo itu cuma mau bikin gue ngebenci Saga. Gue juga tau sejak dulu lo ga suka sama Saga karena dia sering menghukum berandal kayak lo, kan?" sinis Nafika.

"Lah, lah! Kagak gitu, gua cuma mengeluarkan opini. Gua emang ga suka ama Saga, karena tu ketos tengil bener, tapi buat alasan ini, ya gua cuma merasa Saga memang bosan sama lo. Dulu itu ketos kagak pernah dekat sama cewek lain selain lo, tapi sekarang? Ada Veya, anak kelas sepuluh yang cukup populer," sanggah Reo menjelaskan.

Mendengar itu hati Nafika kembali mencelos, sakit sekali jika itu memang benar. Saga bosan dengannya? Apakah dia akan sanggup melihat Saga bersama orang lain?

"Udah ga usah sedih, waktunya move on!" seru Reo gemas karena wajah Nafika yang menjadi masam.

Nafika menundukkan kepalanya, meremas seragam yang ia kenakan. "Emangnya, semua cowok itu bosenan, ya? Terus kalo mereka bosan, mereka langsung berpaling?"

"Kasarnya emang begitu. Layaknya barang, kalo udah bosan ya buang, cari barang lain," jawab Reo simpel.

"Tapi gue bukan barang."

"Itu hanya kutipan, Nona Nafika. Jangan dibawa serius."

-TO BE CONTINUE-

Dear Nafika badbaby sist!Where stories live. Discover now