○ 14

6.6K 723 27
                                    

Hari ini, tepat dua minggu Arsya berada dirumah sakit jiwa. Setelah kejadian dirinya mengamuk dirumah sakit tempat ia dirawat kemarin, dokter dan psikiater Arsya telah berunding untuk mengirim Arsya ke rumah sakit jiwa, agar gadis itu bisa mendapatkan perawatan yang sesuai terkait kejiwaannya yang sedang terganggu.

Sempat ada perdebatan alot antar tenaga medis dengan keluarga Arsya. Surya tidak mengizinkan dokter dan psikiater Arsya untuk mengirim putrinya itu ke rumah sakit jiwa, karna putrinya itu tidaklah gila. Ratih juga meyakini bahwa Arsya hanya sedikit terguncang akan keadaan yang baru saja ia alami. Dokter dan psikiater terus memberikan pengertian, sampai pada akhirnya mereka hanya bisa pasrah demi kebaikan putri mereka.

Sejak Arsya melangkahkan kakinya ke dalam rumah sakit jiwa, saat itu juga ia berubah menjadi seorang gadis yang pendiam. Amat sangat pendiam. Ia tidak mengamuk, berbicara sendiri, bertingkah aneh, dan juga tidak pernah membalas ucapan-ucapan yang dilayangkan kepada dirinya. Ia lebih banyak melamun, dan mematung. Tubuhnya kurus, juga lingkaran hitam yang ada dibawah matanya sangat menunjukkan bahwa dirinya kesulitan untuk tidur dan beristirahat dengan nyaman dan tenang.

"Kakak..."

Surya melangkah mendekati Arsya yang duduk di atas ranjang dengan memeluk kakinya erat. Pria paruh baya itu duduk di depan putrinya, dan menatap Arsya dengan sendu. Ini kali pertama Surya, mendatangi putrinya secara langsung. Selama dua pekan ini, ia hanya melihat Arsya dari jendela. Ia tidak tega menatap putrinya dengan kondisi seperti ini. Setelah semua keluarga menyerah untuk menarik perhatian gadis itu dan mengajaknya bicara, barulah Surya bertekad untuk menemui putrinya meskipun hatinya sangat hancur. Ia merasa gagal menjadi seorang papa yang baik untuk Arsya. Tidak ada orang tua yang tidak sedih, saat melihat anaknya menderita.

Surya mengusap rambut panjang milik Arsya dan mencium kening gadis itu. "Maaf, papa baru temuin kakak sekarang. Papa gak tega melihat putri kesayangan papa seperti ini." ucapnya dengan nada bergetar.

Sila yang melihat mereka dari jendela, mengusap air matanya yang menetes. Dibelakangnya ada Nana dan Bela yang mengusap punggung Sila. Ini adalah masa-masa terberat bagi mereka yang menyayangi Arsya. Mereka dihadapkan pilihan untuk pura-pura kuat didepan gadis itu, atau menjauh karna rasa tidak tega.

Surya menundukkan kepalanya dalam. Punggung lebarnya bergetar, diiringi isakkan yang sangat pilu. Di dunia ini, tidak ada yang pernah membuat Surya menangis dan merasakan kesedihan yang amat sangat dalam kecuali Arsya. Arsya adalah segalanya bagi Surya. Surya yang menunggu kelahiran Arsya dengan semangat. Hidupnya lebih berarti kala suara tangis Arsya menggema, yang menandakan bahwa gadis itu telah lahir didunia ini. Gadis yang selalu membawa kebahagiaan untuk hidupnya, mengobati rasa lelah, sakit, dan kecewa akan kondisi mereka dulu. Arsya yang membuat Surya bertahan didunia ini. Arsya selalu ada disamping Surya, saat dirinya terpuruk dan sedih akan perceraiannya dulu. Arsya juga yang menyemangati Surya untuk mencari kebahagiannya. 

"Papa ... papa gak tau mau bicara apa sama kamu. Hati papa sakit, kak. Dada papa juga sesak melihat putri kesayangan papa harus berada ditempat ini."

Arsya mengalihkan pandangannya ke arah Surya yang semakin larut dalam tangisnya. Tangan pria paruh baya itu juga sudah turun, dan menggenggam tangan Arsya dengan erat.

"Kenapa kamu memendam semuanya sendiri? papa selalu ada untuk kamu. Papa selalu mengusahakan kebahagiaan kamu. Tapi, saat papa tau kalau selama ini kamu tidak pernah bahagia, papa sedih. Papa gagal menjadi seorang papa yang baik buat kamu."

Arsya menatap kedua mata Surya yang merah. Sedangkan Surya, ia menatap putrinya dengan tatapan terluka dan penuh penyesalan.

"Kenapa kamu tidak pernah sedikit pun bilang sama papa, kalau hidup kamu semenderita ini?" Surya masih menatap Arsya yang terdiam.

REGRET [END]Where stories live. Discover now