Jelas Atilla terhenyak mendengar itu. Ia tak pernah tahu tentang hal itu. Sekali lagi, sebagian dirinya merasa bersalah meskipun sebagiannya lagi meminta dirinya untuk mempertahankan ego.

Melihat adiknya berubah ekspresi, Aletta menyeka air matanya. "Maaf. Gue jadi lupa alasan gue ke sini buat apa. Gue kebawa emosi. Oke. Jadi, lo mau tetap pertahanin sifat egois lo itu, atau mau ikut gue pulang buat perbaiki semuanya?"

Atilla terdiam cukup lama sampai akhirnya ia tetap kekeuh dengan pendiriannya. "Gue nggak mau pulang. Gue mau nunggu Derrel di sini. Sesuai rencana gue sama dia."

"Kayaknya lo bakal milih pulang setelah denger kabar ini. Tapi, gue nggak mau. Ini terlalu nyakitin buat lo."

Mendengar itu, Atilla hanya terkekeh meremehkan. "Gue nggak bakal kepancing sama omong kosong lo lagi, Aletta. Apapun itu... Gue. Nggak. Mau. Pulang! Gue bakal nunggu Derrel sampe dia balik lagi."

"Balik lagi? Lo mau nunggu dia balik? Lo nunggu apa, Tilla? Lo nunggu Derrel yang bentar lagi udah mau dijodohin sama cewek lain?"

Mata Atilla membulat. Ia menatap Aletta penuh ancaman. "Jaga omongan lo!"

Aletta mengangkat kedua tangannya. "Lo yang desak gue buat ngasih tau. Dan... ya. Itu kenyataannya. Derrel dipaksa tunangan sama anak temen papanya. Dan lo tau? Sepertinya, dia nggak bakal kuliah setelah lulus nanti. Ide untuk menggendong cucu sesegera mungkin lebih menarik bagi tante Meira dan om Rendy."

"Lo bohong. LO BOHONG!" Atilla berteriak sambil menunjuk-nunjuk kakaknya.

Aletta mengangkat bahunya. "Terserah lo aja mau percaya apa nggak." Lalu, gadis itu sengaja keluar dari sana sebelum melihat adiknya menangis penuh luka.

Untuk pertama kalinya, Atilla sangat ingin membungkam mulut Aletta dengan satu tamparan kuat. Namun, untuk bergerak saja ia tak bisa. Lidahnya kelu, tangannya kaku, dunianya serasa berhenti berputar.

Atilla akan pulang. Dengan satu alasan dan pertanyaan. Jika kenyataan itu memang benar adanya, untuk apa ia menunggu di sini?"

• • •

Sepanjang di bandara—bahkan ketika sudah duduk di bangku pesawat, Atilla hanya diam seribu bahasa. Ia hanya mengangguk dan menggeleng seadanya jika ditanya atau ditawari apapun oleh Aletta.

Pertama, karena ia malu telah gagal mempertahankan egonya.

Kedua, ia kembali tersakiti oleh rasa kecewa yang lahir dari kepercayaannya sendiri. Rasanya seperti tidak mungkin. Ia muak dengan semua drama yang terjadi dalam kehidupannya. Derrel... secepat itukah dia menyerah?

Hanya itu pertanyaan yang terbesit dalam sanubari Atilla. Dan ia pun tahu, bahwa tanyanya itu tak akan pernah lagi terjawabkan. Cukup sudah. Mungkin memang seharusnya ia mengakhiri drama menyulitkan yang ada dalam hidupnya.

Di setiap langkah kakinya keluar dari pesawat yang sudah landing, pikiran Atilla masih terjebak di kamar itu. Pikirannya masih menetap pada waktu di mana Aletta menyampaikan kabar itu.

Jika benar Derrel akan menikah... bagaimana dengan anak ini? Sial. Atilla benar-benar hampir kehabisan energi, separuh dari napasnya seperti akan terenggut karena pertanyaan-pertanyaan sulit yang berenang di kepalanya.

CephalotusWhere stories live. Discover now