"Lo nggak bisa anggep Mama sebagai korban di sini, Kak. GUE KORBAN YANG SEBENERNYA! BUKAN CUMA GUE. TAPI DERREL, DANEEN, TANTE MEIRA, BAHKAN LO PUN JADI KORBAN KARENA PERBUATAN BUSUK MAMA!"  Sayangnya, bukan hal yang mudah bagi Atilla untuk tidak menangis sekarang. Rupanya bukan hanya parasnya saja yang berubah cantik nan lembut. Jika sebelumnya Atilla merasa bahwa hatinya kehilangan fungsi, justru organ yang satu itu terlalu banyak mengambil peran akhir-akhir ini—membuatnya lebih banyak menangis dari pada melawan.

Aletta semakin dalam menatap Atilla. Sepertinya ia sangat menyukai ide memancing amarah adiknya ini.

"Lo boleh nyalahin Mama. Lo boleh ungkit semua dosa-dosa Mama. Tapi lo nggak boleh lupa kalo dia wanita yang ngelahirin lo, Atilla!" Gadis itu ikut terbawa suasana. Suaranya bergetar di akhir, berimbas pada pelupuk matanya yang juga ikut berair.

"Lo terlalu fokus sama satu dosa Mama sampe lupa kalo sebelum ini semua terjadi, setelah gue sama
papa ninggalin kamu, cuma Mama satu-satunya yang kamu punya! Cuma dia yang ada di samping kamu! Bahkan, di saat lo cecar dia dengan kata-kata yang nggak pantas kemaren-kemaren, apa dia pernah berhenti buat berjuang untuk lo?" Gadis itu menggeleng pelan, bersamaan dengan air matanya yang semakin deras mengalir.

"Lo terlalu sibuk nyalahin Mama karena dia selingkuh, sampe lo lupa kalo dia juga korban di sini. Kita semua korban, Til. Kita korban dari semesta. Lo nggak pantes nyalahin Mama atas semua kesalahan lo cuma gara-gara dia selingkuh sama papanya pacarmu. Dia yang selalu ada buat lo, Atilla. Dia kerja, banting tulang selama aku dan Papa nggak ada, mutar otak, kerja sana-sini cuma buat lo. Biar lo masih tetap sekolah, masih bisa bertahan hidup. Dan sekarang... ini balasan lo?"

Dan benar, bukan cara seperti ini yang tepat untuk membujuk Atilla. Mengusik egonya, menyalahkan dirinya yang akan selalu merasa benar—tentu kesalahan yang fatal. Tangan cewek itu mengepal kuat, menatap Aletta tak kalah dalam dengan tatapan tajam.

"Aletta, lo jangan ngomong seakan-akan gue adalah anak yang paling nyakitin Mama. Jangan pura-pura lupa sama kesalahan lo. Sebelum ini, lo ke mana, hah? Lo pergi. Lo ninggalin gue sama Mama. Dan bodohnya, gue udah terlanjur percaya sama janji busuk lo itu."

"Lo nyalahin gue? Aletta maju selangkah. Tatapannya  berubah nyalang. "LO NYALAHIN GUE, HAH? EMANG LO TAU KENYATAAN YANG SEBENARNYA? GUE YANG MAU ADA DI POSISI LO WAKTU ITU TIL. TAPI MAMA LEBIH MILIH LO KETIMBANG GUE!" Aletta menangis meraung-raung, sampai penjaga yang ada di lantai bawah naik untuk mengawasi dari depan pintu.

Apa mereka berdua peduli? Tentu tidak. Aksi 'meluapkan seusatu yang patut diluapkan' oleh dua bersaudara itu masih akan berlanjut.

"Maaf, gue agak kebawa." Aletta menjambak rambutnya, menarik napas, lalu membuang muka. Lagi, ia merutuki dirinya yang tidak bisa menahan emosi. "Gue nggak pernah ada niatan buat mengingkari janji gue ke lo, Til. Gue nggak pernah mau ninggalin lo sama Mama. Gue mau tetep bareng kalian, tapi kali itu Mama yang disuruh milih sama Papa, bukan gue...."

Sayangnya, Atilla tetap teguh untuk mempertahankan gengsinya saat melihat Aletta menjelaskan semuanya dengan keadaan yang terlihat terlalu rapuh.

"Waktu itu mereka sepakat pisah, asalkan Mama mau milih satu di antara kita. Nggak bisa dua-duanya. Dan lo tau? Gue bodoh banget. Waktu itu gue udah pede banget bakal dipilih Mama. Gue sampe bujuk-bujuk Mama buat milih lo juga bareng gue, tapi nyatanya... dari awal Mama emang bakal milih  lo buat tetep sama dia. Dia nggak pernah berpikir buat milih gue. Dia nyerahin gue ke Papa."

CephalotusΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα