45. Mr. Rabbit & Mrs. Hedgehog

Mulai dari awal
                                    

"Om Danarnya lagi pergi. Temannya yang dari Jakarta mau ke sini, tapi agak kesusahan, sampe tersesat. Maka dari itu Om Danar pamit buat  jemput mereka, kebetulan tamu-tamu juga udah pada pulang, tinggal keluarga deket aja yang masih di sini."

Atilla langsung menyengir entah kenapa. "Jadi, Derrel sama aku nggak telat-telat banget, kan, Tan? Buktinya masih ada tamu lain lagi yang bahkan belum dateng."

Debora berkacak pinggang, berlagak menghardik. "Ah, kalian ini. Tadi Tante nawarin buat dijemput aja, sopirnya juga udah mengarah ke alamat yang kalian kirim, eh malah nggak mau. Kalo sopir taksi tuh ya, pasti udah ngamuk."

"Ya maaf Tante. Soalnya dari awal kita juga udah tau kalo aku sama Derrel bakalan telat." Atilla menjawab.

"Oh, jadi keterlambatan kalian ini adalah sesuatu yang sudah direncanakan? Benar-benar, ya."

Lalu tawa Debora dan Atilla berderai, sebelum setelahnya Derrel menempelkan telunjuknya di bibir, meminta mereka berdua agar tidak berisik.

"Bulannya tidur," desis cowok itu sambil tersenyum melihat Bulan. "Cantik banget, ya, dia," tambahnya tanpa sadar.

Entah dari mana,  ide yang mungkin dapat memudahkan dirinya langsung terbesit di kepala Debora. "Kalian buru-buru?"

"Nggak sama sekali kok, Tan. Tante mau kita bantuin apa?"

"Kalo nggak keberatan, mumpung Bulan juga udah tidur di gendongan kamu, Tante mau minta tolong nemenin Bulan tidur siang di kamarnya. Tante masih perlu nungguin beberapa tamu yang janji bakal datang setelah ini."

Atilla membalas perkataan Debora dengan anggukan yang penuh antusias. "Dengan senang hati, Tante."

Yang terjadi selanjutnya adalah Derrel kewalahan mengikuti Atilla dan asisten rumah tangga menuju kamar Bulan—yang tentu tak perlu memakan waktu terlalu banyak.

Perlahan, Atilla membantu Derrel membaringkan Bulan di kasur kamarnya. Mungkin Bulan memang terlanjur nyaman berada dalam gendongan Derrel. Buktinya saat tubuhnya menyentuh kasur, tiba-tiba saja kelopak matanya terbuka.

"Hei, kok bangun sih Bulan?" Derrel menunduk, menyejajarkan wajahnya dengan kepala Bulan yang sudah tersandar di bantal.

Bulan mengucek matanya, sambil sesekali menguap. "Kak Derrel wangi banget. Bulan jadi ngantuk. Eh, tiba-tiba wanginya nggak kecium lagi, makanya Bulan bangun. Tau-taunya aku mau ditinggalin." Bulan cemberut, membuat Derrel tak tahan untuk mencubit pipinya yang terlalu menggemaskan.

"Maaf, Bulan." Derrel terkekeh kecil. "Gini aja, deh. Sebagai gantinya, Kak Derrel dongengin Bulan sampe tidur lagi, gimana?"

Bulan hanya mengangguk, menatap lurus ke arah langit-langit kamar. "Dongengnya tentang apa Kak Derrel?"

Sekilas, cowok itu menatap Atilla yang mulai
mengambil tempat duduk di sisi kasur. Ia tersenyum penuh arti, sedangkan pacarnya itu menatapnya kebingungan.  "Dongengnya tentang... Tuan Kelinci dan Nona Landak."

"Kok rada kebalik, ya? Kenapa nggak Nona Kelinci dan Tuan Landak aja?" Atilla menyanggah, meskipun ia tak pernah tahu-menahu tentang dongeng tersebut.

"Ssst. Nggak boleh berisik kalo mau dengerin dongengnya."

Atilla terkikik geli melihat ekspresi Derrel. Dari cara cowok itu menatap dirinya dengan tatapan jahil, ia akhirnya bisa menebak bahwa dongeng yang dimaksudkannya sudah pasti dongeng asal-asalan yang Derrel buat sendiri.

CephalotusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang