33

330 66 6
                                    

Beberapa lama kemudian Emi muncul dari balik pintu dan terkejut penuh drama.

"Kenapa kau belum ganti baju!?"

"Hah? Aku tidak akan mau- AAAH!" aku berteriak histeris saat Emi memaksa untuk membuatku memakai pakaian itu.

Aku berusaha berontak tapi dia sangat bersikeras.

"Ini demi pacarmu, nona! Kau harus sering seperti ini, tidakkah kau lihat wajahnya sebelumnya?? Ia terlihat seperti tidak memiliki semangat hidup!"

"Itu karena wajahnya memang seperti itu! Dan biarkan aku mengatakannya kepadamu, bahwa dia itu bukan-"

"Nah! Ayo kita tunjukkan penampilanmu kepadanya!"

"Dengarkan aku, sialan!!"

Emi menarikku keluar dari ruang ganti dan membawaku ke hadapan Rin sekali lagi.

"Hahahahahaa" Rin tertawa puas, ia terus mengambil foto, atau bahkan mengambil video?

Aku berusaha mengatur napasku, dadaku terasa sangat panas. Ini semua akibat penyiksaan dari seorang pemilik toko baju. Siapa nama panjangnya tadi? Aku akan menuntutnya-

"Dari sekian banyaknya pelanggan yang pernah kumiliki, kau yang paling menarik!"

"Itu karena dia berusaha lari darimu sekuat tenaga, pfft."

"Rintaro!" aku berjongkok, memeluk kedua kakiku dengan kesal, "Pakaian ini tidak masuk akal...! Kakiku kedinginan, dan perutku- aku akan masuk angin!"

Untung saja aku selalu memakai celana sot, mau itu di sekolah, atau dimanapun, mau pakai rok atau celana, aku selalu memakainya.

"Ayolah, Rai" Rin ikut berjongkok, sebelum aku dapat menghajarnya ia kembali berbicara, "Kau hampir tidak pernah berpakaian seperti perempuan, kecuali seragam sekolah. Kau tidak pernah memikirkannya?"

"Persetan, kalau menjadi perempuan berarti harus berpakaian seperti ini maka aku tidak mau menjadi perempuan...!" gerutuku dengan berbisik.

"Hei," Rin menyisir poniku dengan jari-jarinya, ia masih memasang senyuman yang jarang itu sementara aku tetap memberikan tatapan kesal, "Kau tidak perlu pulang dengan pakaian itu. Aku hanya merasa, mungkin kau perlu untuk mencoba-coba hal seperti ini? Entahlah, aku tidak terlalu tahu soal perempuan. Aku hanya ingin membantumu."

Ekspresiku sedikit melunak. Sedikit, aku masih menunjukkan kekesalanku.

"Membantuku mati lebih cepat?"

Rin terkekeh, "Kalau itu mimpiku, jangan mengambilnya."

"Mana ada orang yang mimpinya mau mati."

"Ada."

Aku menatapnya dengan bingung. Rin berhenti menyisir poniku kemudian menyentuh dahiku dengan telunjuknya.

"Jangankan kau, aku juga tidak tahu bagaimana perempuan itu sebenarnya" ujarku terus terang.

Rin masih tersenyum, baiklah, ini memang pemandangan yang jarang, dan sialnya matanya itu selalu indah seperti biasanya.

"Kalau begitu bisa gawat" ucapnya dengan nada yang lebih ringan.

Aku berpikir sebentar, atau lama? Entahlah, aku tidak tahu seberapa lama waktu berjalan.

Dengan helaan napas yang berat, akhirnya aku mengatakannya.

"Baiklah..." tenggorokanku terasa kering, "hanya- sa-tu... kali... la-gi" ucapku dengan ngilu.

Rin terkekeh, "Kau dengar katanya?" ia berbicara pada Emi.

Memories | Haikyuu!! X Reader (Named)Where stories live. Discover now