Saat sekali lagi hendak mengetuk pintu, Rendy mendapati dirinya dilanda rasa gugup kala telinganya mendengar suara decitan pintu yang ditarik terbuka.

Bukan Adrian, Rendy mengernyitkan dahi kala yang dilihatnya adalah perempuan dengan kisaran usia kepala dua. Melihat itu, Aline maju selangkah.

"A-Aletta, Papa ada di dalam?"

Aletta mengedarkan pandangannya. Pertama kepada Aline, berpindah kepada Meira, lalu berakhir menatap datar ke arah Rendy.

"Om Rendy? Mau apa ke sini?" tanya gadis itu.

"Halo. Aletta. Maksud saya ke sini—"

"Apa om? Mau apa?" Dari nada bicaranya, orang-orang akan tahu bahwa Aletta tak menyukai keberadaan Rendy di sini. "Om mau apa? Mau ketemu Papa saya? Mau bikin dia sakit hati lagi? Setelah merebut istrinya, Om mau apa lagi?"

"Jaga mulutmu, perempuan sialan! Berani sekali kamu menghina suamiku!" cecar Meira menyela. "Justru ibumu ini yang harus kamu tanya! Kenapa dia meninggalkan Papamu, lalu berselingkuh den—"

"CUKUP!" Aline memekik. "Saya ke sini untuk meminta bantuan mencari putriku, Meira! Berhenti menyudutkanku! Jangan libatkan keluargaku dalam masalah itu!"

"KALAU BEGITU MENJAUHLAH DARI KELUARGAKU!" bentak Meira tak kalah berapi-api.

Aletta menelan ludah. Apa ini? Drama apa yang tengah ia tonton? Haruskah ia membela ibunya?

Napas Meira tersengal, dadanya naik turun karena mengatur napas. Tanpa ia sadari, matanya sejak tadi sudah meluruhkan air mata amarahnya. Sebagai suami, Rendy menenangkan sang istri dengan sebuah rangkulan hangat, meski tetap saja pria sialan itu masih sempat-sempatnya melemparkan tatapan tidak biasa untuk Aline.

"Ini tentang adikmu, Aletta. Mama yakin kamu udah tau kalo dia kabur dari rumah bersama Derrel. Mama ke sini untuk bicara langsung sama Papamu. Kita akan cari Atilla dan Derrel."

Lagi, Aletta menatap mereka dengan datar. Seandainya ia bisa, gadis itu ingin berteriak sekencang mungkin, demi membuktikan betapa dirinya sangat membenci mereka bertiga.

"Silahkan masuk. Papaku sedang di kantor. Sebentar lagi pasti pulang. Akan kutelpon."

Sayangnya, hanya itu yang bisa keluar dari mulut Aletta. Bahkan hingga suara mobil ayahnya sudah terdengar dari depan rumah, batinnya masih berkecamuk. Dadanya terasa panas karena raganya yang berkhianat. Bisa-bisanya ia menjamu orang-orang yang ia benci dengan segelas teh hangat, tanpa mencampurkan racun terlebih dulu.

Tubuh Rendy terlihat menegang saat telinganya mendengar suara pintu mobil yang ditutup. Mulutnya dengan samar kembali berlatih mengucapkan kalimat-kalimat yang sudah ia rangkai di kepala.

"Aletta, tamunya siapa? Kok mendesak banget?" Adrian meletakkan sepatunya di rak samping pintu saat bertanya. Ketika pandangannya mengedar, ia mematung di tempat demi melihat seorang pria yang duduk di sofa ruang tamunya. Tangannya mengepal kuat, urat-urat tangannya menonjol—menjelaskan betapa amarahnya betul-betul tersulut saat matanya menangkap keberadaan Rendy di sana.

Adrian berjalan lebih cepat, hingga akhirnya duduk di samping Aline. "Mau apa kamu ke sini?" tanyanya dengan datar. Jika Aletta bisa sebenci itu dengan Rendy, jangan tanyakan lagi tentang Adrian. Jika bisa, ia ingin mencekik pria di hadapannya ini hingga meregang nyawa.

CephalotusWhere stories live. Discover now