105. Akibat Dosa Membunuh Masa Lalu

1.6K 37 0
                                    

Tapi berulang kali ia berkaok-kaok tanpa mendapat penyahutan, hati mereka menjadi tegang dan bertanya-tanya. Dengan cepat mereka memburu ke dalam hutan, keadaan di situ sunyi dan kosong, agaknya Thian-hi sudah pergi lebih dulu.

Sekilas pandangan Ham Gwat menjelajah sekitarnya dilihatnya sebaris tulisan di dahan pohon yang berbunyi,

"Paman Pek sedang menghadapi bahaya, aku pergi menolong."

Mereka maklum setelah berhasil menolong Pek Si-kiat tentu Thian-hi langsung menyusul ke Jian-hud-tong, maka mereka pun tidak banyak kata lagi, buru-buru mereka melanjutkan perjalanan.

◄Y►

Melihat Ham Gwat berdua mau bicara segera Thian-hi menyingkir ke dalam hutan, tengah ia keisengan tiba-tiba dilihatnya tiga sosok bayangan orang berlari kencang saling kejar di kejauhan, jelas terlihat olehnya orang yang dikejar itu adalah Pek Si-kiat, sedang dua orang pengejarnya adalah Ciang-ho-it-koay dan Ce-han-it-ki.

Cepat ia menulis beberapa patah kata di atas pohon terus lari mengejar dengan kencang, Kira-kira sepuluh lie kemudian baru ia melihat tiga bayangan di depan, segera ia kerahkan tenaganya mengejar lebih pesat.

Untung tiba-tiba dilihatnya ketiga orang yang saling kejar itu mendadak sama berhenti, sementara laksana terbang Hun Thian-hi sudah menyandak dekat, cuma sebelum tahu duduk persoalannya ia tak mau muncul unjukkan diri, lekas ia melesat naik ke puncak sebuah pohon lebat dan sembunyi disitu.

Diam-diam heran dan bertanya-tanya benak Thian-hi, entah karena urusan apa ketiga tokoh kelas tinggi ini saling kejar. Tampak Pek Si-kiat membelakangi sebuah pohon besar menghadapi kedua pengejarnya, katanya, "Aku sudah bersabar, tapi kalian mendesak begini rupa, apa maksud kalian?"

"Pek Si-kiat jangan banyak bacot lagi, persoalan empatpuluh tahun yang lalu masa pura-pura kau lupakan?" demikian jengek Ce-han-it-ki'

"Benar, memang dulu tidak sedikit aku membunuh orang, tapi sekarang aku sudah sadar dan insaf, apa kalian masih mendesak sedemikian rupa?"

"Menyesal dan sadar apa?" demikian jengek Ciang-ho-it-koay, "Dengan menyesal dan sadar lantas cukup kau tebus jiwa orang-orang yang kau bunuh itu?"

"Jadi maksud kalian aku Pek Si-kiat harus menembus dengan jiwaku?"

"Dulu Pek-kut-sin-kangmu menggetarkan Bulim biar hari ini aku mencoba pukulan saktimu itu," demikian Ciang-ho-it-koay tampil ke depan terus menyerahg dengan kedua telapak tangannya.

Pek Si-kiat melejit mundur menghindar. Kalau dua lawan satu terang ia bukan tandingan, maka ia harus berusaha mencari kesempatan melarikan diri, segera ia kerahkan delapan kekuatan Pek-kut-sin-kang balas menggempur.

Begitu dua pukulan saling bentur, hawa bergolak debu dan pasir beterbangan memenuhi angkasa, kedua belah pihak sama tergetar mundur lima kaki.

Begitu tersentak mundur Ciang-ho-it-koay segesit kera sudah melompat maju pula seraya kirim lagi tamparan maut. Sementara itu Pek Si-kiat berdiri tegak, ia sudah siap menghadapi rangsakan musuh lebih lanjut, tapi ia cukup cerdik untuk memancing kelengahan musuh, tiba-tiba ia melejit mundur lagi, Ciang-ho-it-koay menjadi gemas tanpa menghiraukan seruan Ce-han-it-ki ia mengejar maju seraya menjengek, "Iblis tulang putih hayo jangan lari!"

Kini persiapan Pek Si-kiat sudah sempurna, tanpa berkelit lagi ia songsongkan pukulan telapak tangan dengan dilandasi kekuatan Pek-kut-sin-kang. Waktu mendengar peringatan Ce-han-it-ki, paling tidak Ciang-ho-it-koay sudah waspada, begitu melihat lawan menyongsong pukulannya ia berusaha menginjak.

Hakikatnya sikap Pek Si-kiat ini tidak pandang sebelah mata dirinya, berani dia menyongsong gempuran pukulannya cuma dengan sebelah tangannya saja. Seketika berkobar amarahnya sambil kerahkan seluruh tenaganya, kedua telapak tangan menggempur ke arah Pek Si-kiat.

Badik Buntung - Chin TungWhere stories live. Discover now