104. Hidup Manusia Itu Ada Batasnya

2K 41 2
                                    

Tergetar hati Thian-hi, sekarang baru ia sadar, "Ternyata kedua orang ini adalah Hwesio Jenaka dan Siau-bin-mo-in, mengapa nada ucapan mereka begitu ketus dan begitu serius. Apakah terjadi sesuatu peristiwa yang luar biasa? Kalau tidak masa begitu tegang."

Karena pikirannya ini tanpa ayal cepat ia tarik Ham Gwat, laksana meteor jatuh ia berlari terbang mundur ke mulut gua.

Hwesio Jenaka seorang saja yang mengejar sampai di luar gua, mukanya sudah kehilangan senyum tawanya yang selalu berseri lucu itu, dengan nada sedih ia bertanya, "Untuk apa kau datang kemari?"

Melihat sikap Hwesio Jenaka ini heran Thian-hi dibuatnya, katanya tertawa, "Siau-suhu, apakah Hwe-tok-kun benar ada di dalam gua!"

Hwesio Jenaka tersentak, matanya menatap tajam, sahutnya, "Benar, darimana kau bisa tahu!"

"Wanpwe ada urusan yang mendesak mohon petunjuknya."

"Kau ada urusan apa?" tanya Hwesio Jenaka penuh tanda tanya.

Terpaksa Hun Thian-hi menceritakan kejadian belakangan ini, ia jelaskan pula maksud kedatangannya, iapun jelaskan sudah bertemu dan mendapat petunjuk dari Go-cu Taysu.

"Sudah tidak mungkin!" sahut Hwesio Jenaka sesaat kemudian. "Kalian terlambat tiba."

Thian-hi terkejut, teriaknya, "Apa! Datang terlambat? Maksudmu beliau sudah meninggal?"

Hwesio Jenaka menepekur, ia geleng-geleng kepala tanpa bicara.

Thian-hi girang timbul setitik harapan, "Asal orang belum ajal saja," demikian batinnya.

Setelah menghela napas Hwesio Jenaka berkata, "Keadaannya seperti orang sudah mati, sekarang dia sudah gila, betapapun panjang usianya, takkan kuasa hidup beberapa hari lagi."

Hun Thian-hi tertegun, katanya, "Siau suhu......"

"Aku tahu maksudmu," demikian tukas Hwesio Jenaka, "Kau masih ingin bertemu dengan beliau?"

Thian-hi manggut-manggut, tambahnya, "Urusan ini sangat penting, betapa pun aku harus bertemu dengan beliau."

"Bukan aku tidak mengijinkan, yang benar dia sudah tidak bisa membedakan orang, kami bersaudara pun dilarang mendekat, apalagi kalian."

"Bagaimana juga aku mengharap bisa menemui beliau sebentar saja."

"Baiklah. Tapi harapannya terlalu kecil, mengandal kalian tentu, tidak mudah terluka di tangannya, tapi harus berhati-hati." ~ kembali ia bawa Hun Thian-hi berdua masuk ke dalam gua. Tak berapa lama mereka sudah tiba di ujung gua. Dimana Siau-bin-mo-in sedang berjaga di ambang pintu sebuah kamar batu, melihat Hwesio Jenaka membawa Hun Thian-hi dan Ham Gwat ia mengerutkan alis, tapi tidak bicara.

Hwesio Jenaka berbisik-bisik dengan Siau-bin-mo-in, lalu Hwesio Jenaka berbisik pula di pinggir telinga Thian-hi, "Tok-kun sedang tidur, mari kuajak masuk, kalian harus hati-hati." ~ Hun Thian-hi berdua dibawa masuk ke dalam kamar batu itu, lalu ia mengundurkan diri keluar.

Begitu berada di dalam kamar batu Hun Thian-hi merasa hawanya sangat lembab, dinding sekelilingnya ada mengalir air, dari celah-celah sebelah depan sana ada lobang kecil selarik sinar menyorot masuk sehingga keadaan kamar batu rada terang.

Di tengah membelakangi dinding sana terdapat sebuah dipan batu, dimana duduk bersila seorang tua kurus kering, kedua matanya terpejam, suara napasnya terlalu berat.

Hun Thian-hi membatin orang inikah Hwe-tok-kun, sekian saat ia amat-amati orang tua di hadapannya ini. Kedua biji matanya sudah cekung, mukanya pucat berpenyakitan, tak serupa sabagai seorang gembong iblis yang sangat ditakuti, yang terang tak lain sebagai kakek tua renta yang sudah loyo, berpenyakitan lagi, serta merta ia menghela napas. Bersama Ham Gwat, Thian-hi berdiri diam di tengah-tengah kamar.

Badik Buntung - Chin TungWhere stories live. Discover now