45. Pencurinya Bukan Manusia!

1.6K 44 0
                                    

Thian-hi menjadi bimbang, katanya, "Tiupan serulingku tidak begitu mahir, semoga tidak menjadi buah tertawaan tuan putri."

Tuan putri manggut-manggut, dengan mendelong ia perhatikan Thian-hi serta menanti.

Pelan-pelan Thian-hi angkat seruling kedekat mulutnya, sejenak ia berpikir lalu mulai meniup seruling melagukan sebuah irama yang halus mengalun pelan, itulah lagu 'indahnya alam', nada lagunya rendah dan datar mengembang laksana mega berlalu seumpama air mengalir terus mengalun tak putus-putus. Sedemikian merdu dan mempesonakan irama seruling lagu Indahnya alam ini sehingga Tuan putri dan kedua dayangnya terlongong kesima, sekian lama setelah lagu selesai ditiup baru Tuan putri menghirup hawa segar, katanya, "Selamanya belum pernah kudengar irama seruling sedemikian bagus, sungguh enak dan menyegarkan badan, seharusnya kau menjadi guru musik saja."

Thian-hi tertawa-tawa, ujarnya, "Tiupan serulingku masih kurang sempurna, tak perlu dibanggakan.

"Sebetulnya Ma-ciangkun......" sebetulnya ia hendak menyinggung soal Ma Gwat-sian, tapi serta dipikir menjadi kurang enak rasanya, maka segera ia urungkan.

"Kau cukup pintar dalam ilmu silat dan sastra, aku menjadi kurang paham dari mana Ma-ciangkun dapat mencari orang sepandai kau ini."

"Tuan putri terlalu memuji, sebenar-benarnya bisaku juga sangat terbatas!"

"Apakah kau mau sering kemari menemani aku?"

"Apa?" tanya Thian-hi melongo.

"Maksudku, tiupan serulingmu begitu bagus, selanjutnya seringlah datang mengajarkan kepada aku!"

Hun Thian-hi tersenyum getir, sahutnya, "Aku kuatir tidak mungkin!"

"Apa kau tidak sudi?"

Thian-hi serba sulit tak tahu cara bagaimana harus menjawab, terpaksa ia mengada-ada saja katanya, "Tuan putri juga tahu, tadi aku sudah gagal dalam tugas pertama, kehilangan Ce-kim-cu merupakan kelalaianku, sehingga Ma-ciangkunlah yang ketimpa akibatnya, hatiku......"

"Tak perlu kau takut menghadapi urusan itu, biar aku yang mintakan ampun kepada ayah baginda bagi kau dan Ma-ciangkun, ayah baginda tentu melulusi!"

"Sekali-kali tuan putri tidak boleh berbuat demikian. Hatiku akan lebih menyesal lagi, kebaikan tuan putri sungguh Hun Thian-hi menyatakan banyak terima kasih."

Dengan tajam tuan putri pandang Hun Thian-hi, katanya, "Kau ini sungguh sombong, kebaikan lain orang sedikit pun kau tidak mau terima, untung aku ini seorang tuan putri, kalau tidak betapa kau akan lebih sombong lagi."

Thian-hi menjadi tergagap dan tak kuasa menjawab lagi, diam-diam ia membatin dalam hati, apakah begitu watakku, demikian ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah sikapku ini betul?

Tuan putri tertawa, ujarnya, "Bila Giok-hud sampai hilang pula nanti malam, apakah kau hendak berpeluk tangan saja melihat seluruh keluarga Ma-ciangkun dipenggal kepalanya?"

Thian-hi terlongong diam, sesaat kemudian baru menjawab, "Terima kasih tuan putri!"

"Hari ini cukup sekian saja, mungkin ayah baginda mencari aku, aku harus segera pulang, kau sendiri juga lekas keluar dari tempat ini!" — habis berkata lalu balik masuk ke dalam sebentar saja bayangan punggungnya menghilang di balik rumpun kembang.

Diam-diam bergejolak perasaan Thian-hi, sungguh ia merasa sangat terima kasih dan haru, tuan putri ternyata seorang budiman yang baik hati, tapi sayangnya ia dilahirkan dalam kalangan bangsawan, mungkin dia tidak menyadari betapa culas hati manusia yang sedang saling berebutan kekuasaan harta dan kedudukan.

Tanpa merasa ia menghela napas rawan, sekonyong-konyong ia merasa tangannya masih memegang sebuah benda apa, waktu menunduk kiranya seruling itu masih belum sempat ia kembalikan kepada tuan putri. Keruan ia menjadi bingung dan menjublek sekian lama, tak mungkin ia mengejar ke dalam terpaksa dalam kesempatan lain saja baru bisa dikembalikan.

Badik Buntung - Chin TungWhere stories live. Discover now