68. Akupun Punya Seorang Puteri!

2.2K 46 1
                                    

Demi gengsi dan harga dirinya, ia tidak rela bila Hun Thian-hi berkasihan pada dirinya dan menyerahkan cinta orang lain kepada dirinya. Setelah Po-ci dan Hun Thian-hi menyingkir jauh pelan-pelan iapun meninggalkan hutan bambu itu, langsung menuju ke arah hutan yang lebih lebat jauh lebih belukar dan menanjak tinggi.

Setelah berada di atas, Ma Gwat-sian berpaling, tampak gereja Siau-lim jauh di belakang bawah sana, dengan ringan ia menghela napas panjang. Hampir tanpa tujuan kaki melangkah menuju ke arah yang tidak menentu, bagaimana selanjutnya aku harus menempatkan diriku? Hal ini tidak pernah terpikir olehnya!

Beberapa kejap kemudian tiba-tiba ia menghentikan langkahnya, sepasang matanya yang jeli berkedip mengawasi ke depan dengan terbelalak. Dihadapannya berdiri seorang gadis rupawan mengenakan pakaian serba hitam, di sampingnya berdiri pula seekor rajawali, orang pun sedang mengawasi dirinya dengan sikap dingin dan kaku. Tahu Ma Gwat-sian bahwa inilah orang yang terbang melampaui di atas kepalanya tadi, inilah murid Bu Bing Loni yang bernama Ham Gwat.

Begitulah untuk sekian lamanya kedua belah pihak saling pandang tanpa berkesip. Gwat-sian tidak tahu bagaimana perasaan hatinya saat itu, hampir ia merasakan akan kerendahan dirinya. Bukankah dia dihinggapi penyakit yang tidak dapat ditolong lagi!

Sebetulnya ia sangat bangga, akan dirinya, akan kepintaran dan bentuk wajahnya sendiri. Kalau dulu ia merasa bahwa kecantikan dirinya adalah yang nomor satu di seluruh kolong langit ini, tapi Ham Gwat yang berdiri dihadapannya sekarang kiranya juga mempunyai bentuk wajah yang tidak kalah agung dan cantiknya.

Dia bangga bahwa Tay-seng-ci-lou atau ilmu yang dipelajarinya itu tiada tandingan di seluruh jagat, tapi jelas bahwa Ham Gwat yang berdiri dihadapannya ini justru adalah ahli waris Hui-sim-kiam-hoat, itu ilmu pedang nomor wahid tanpa tandingan di seluruh dunia persilatan adalah aku sendiri sedikitpun tidak pandai bermain silat.

Akhirnya Ma Gwat-sian tertunduk dengan sedih, tapi dilain saat ia angkat kepala pula tidak mau tunduk begitu saja, begitulah ia adu pandang pula dengan Ham Gwat.

Entah berapa lama mereka beradu pandang tanpa berkesip, dalam hati kecil Ma Gwat-sian mengharap Ham Gwat suka mengalah setindak padanya, tapi kenyataan tidak, dari sorot pandangan Ham Gwat ia merasakan, bahwa sedikitpun Ham Gwat tidak akan mengalah pada dirinya.

Serta merta terasa oleh Ma Gwat-sian air mata telah mengembeng memenuhi kelopak matanya, lekas-lekas ia menunduk dan memejamkan mata, sambil mengemban harpanya ia berlari kencang ke depan lewat samping Ham Gwat.

Tanpa bergeming Ham Gwat tetap berdiri, biji matanya memancarkan sorot cahaya yang sangat aneh, kelihatannya seperti senang, tapi seperti sedih dan menyesal pula, akhirnya ia pelan-pelan membalik tubuh, dipandangnya punggung Ma Gwat-sian yang menghilang di kejauhan.

Sambil tertunduk ia berpikir, kakinya melangkah pelan, sekonyong-konyong terasa angin berkesiur sesosok bayangan orang melayang hinggap di depannya. Itulah Po-ci yang mendatangi pelan-pelan. Dengan pandangan penuh selidik ia pandang Po-ci yang semakin dekat.

Untuk sesaat lama Po-ci harus mengendalikan perasaan sebelum bicara, akhirnya ia membuka suara dengan suara tertekan, "Nona Ham Gwat, ada beberapa patah kata yang perlu kusampaikan kepada kau, apakah kau sudi mendengar?"

Sebetulnya Ham Gwat rada heran pada sepak terjang Po-ci dan tingkah laku Ma Gwat-sian, mungkinkah mereka tadi sudah bertengkar dengan Hun Thian-hi? Karena rekaan hatinya ini, ia manggut-manggut.

Setelah menghela napas Po-ci berkata, "Betapa dalam dan suci cinta Hun Thian-hi terhadap kau, hal ini aku tahu dengan jelas," demikian ia mulai dengan uraiannya. Sampai disini ia berhenti. Ia pandang air muka Ham Gwat, melihat orang tidak mengunjuk perubahan pada mimik mukanya, lalu ia melanjutkan, "Tapi haruslah kau ketahui bahwa Ma Gwat-sian juga kepincut terhadap Hun Thian-hi, begitu besar rasa cintanya terhadap Hun Thian-hi seperti cinta Hun Thian-hi terhadap kau. Tapi dia......"

Badik Buntung - Chin TungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang