Bagian Tiga Puluh Tujuh

58.6K 4.2K 81
                                    

Lavina berdiri di ujung pembatas roftoop rumah sakit. Selagi matanya menatap kosong hamparan langit jingga, tangannya tampak menggenggam ponsel yang sedari tadi coba ia hubungkan pada ponsel Morgan. Entah sudah berapa banyak panggilan yang ia buang, namun Morgan tak memiliki itikad baik untuk menerima teleponnya.

"Pasti kamu masih sama Keana kan?"

Lavina tertawa kecil selama beberapa saat, sebelum akhirnya beralih menjadi rintihan tangis menyayat hati.

"Kenapa harus kaya gini?"

Lavina memukul dadanya yang kian sesak. Padahal sebelum ini Morgan selalu menerima telepon darinya, meski laki-laki itu tengah bersama Keana. Namun mengapa kali ini situasinya berbeda? Apakah posisi Lavina sudah tergantikan oleh Keana, yang tak lebih dari mantan tunangan Morgan?.

Meski sakit, Lavina tetap menjaga secuil harapan dalam dadanya agar tak serta merta padam. Tanpa menurunkan tatapan sayunya, Lavina kembali menghubungi nomor Morgan. Selama beberapa detik Morgan hanya membiarkan panggilan Lavina.

"Morgan," Lavina bergumam parau.

Di detik-detik terakhir sebelum panggilannya terputus oleh operator, Lavina dipaksa melebarkan kelopak matanya kala dering ponsel berganti suara berat Morgan. Sayangnya sambutan laki-laki dari seberang sana tak sehangat yang Lavina bayangkan, bahkan Morgan tak segan menaikkan intonasi suaranya. Sangat berbeda jauh dari awal-awal kedekatan mereka.

"Morgan,"

"Kenapa lo telepon gue? Mau ganggu gue lagi?!" Morgan bertanya sinis, dan Lavina pun langsung menyambutnya dengan gelengan kepala.

"Bisu lo ya?!"

Lavina dipaksa menelan bulat-bulat salivanya sendiri. Ia memang bodoh karena membalas ucapan Morgan dengan gesture tubuh, yang jelas-jelas tak akan terlihat di mata laki-laki itu. Tak heran jika Morgan marah. Atau mungkin amarah Morgan bukan karena gesture Lavina, melainkan karena Morgan tengah menghabiskan waktunya dengan Keana.

"Kalo lo nggak mau ngomong juga, gue bakal tutup ... ,"

"Aku sayang kamu, Morgan."

Senyap, Morgan tak langsung menyambut pernyataan Lavina. Keheningan yang Morgan ciptakan membuat dada Lavina kian sesak, bahkan ia sampai harus memainkan kuku jemarinya sendiri karena rasa takut yang mengakar kuat dalam dadanya.

"Terus?" Morgan berucap dingin.

"Morgan,"

Susah payah Lavina berupaya menyingkirkan tangisnya. Tapi apakah daya, sifat dingin Morgan yang baru kali ini ditemuinya berhasil membuat dadanya dikoyak secara paksa. Meski begitu Lavina tetap berusaha untuk bicara, walau beberapa katanya terdengar tidak jelas dan hanya diisi rintihan tangis.

"Elysa bilang aku ... aku yang bikin dia masuk penjara,"

Lavina terisak sesaat. "Aku yang bikin Erector kaya gini, aku yang bikin sekolah kita bangkrut, aku ... ,"

"Ibu ... Ibu bilang aku udah rebut kamu dari Keana, dan gara-gara aku Ibu harus kerja keras."

Sejenak, Lavina meremas dadanya yang terasa sangat sakit. Namun tak peduli seberapa keras usahanya, Lavina tetap merasakan sakit. Terlebih karena Morgan enggan menanggapi perkataannya.

"Kata Evron, aku nggak bakal bisa gantiin posisi Keana." Papar Lavina, kian terisak.

"Emang nggak kan?" Morgan menyahuti malas.

Mulut Lavina dipaksa merapat, meski begitu air matanya senantiasa turun. Bahkan beberapa memilih terbawa angin, mengikuti pergerakan anak rambutnya yang tersapu hembusan angin.

SECOND CHANCE (END)Where stories live. Discover now