Bagian Dua Puluh Sembilan

58.7K 4.7K 65
                                    

Saat ini inti Erector tengah berkumpul di roftoop sekolah, setelah sebelumnya mendapat pesan dari Keana untuk bertemu. Meski Keana meminta kelimanya untuk cepat, namun gadis itu sengaja mengulur waktu dengan mencari keberadaan Evron yang mendadak lenyap. Alaric dan Theodore yang masih berada di kantin pun menggeleng ketika ditanya perihal Evron.

Pada akhirnya Keana hanya bisa menghela nafas, seraya mengayunkan kakinya menuju lift yang akan mengantarnya menuju lantai empat. Setibanya di lantai empat, Keana masih harus berjalan kaki menaiki anak tangga yang akan mengantarnya ke roftoop. Begitu pintu roftoop terbuka, Keana langsung disambut oleh inti Erector yang sibuk mengepulkan asap rokok dari mulut mereka.

"Akhirnya dateng juga," ucap Kael, yang lebih dulu menyadari keberadaan Keana.

Saat Keana mulai memangkas jarak, Kael lebih dulu melempar dan menginjak puntung rokoknya ke lantai. Hal serupa juga dilakukan oleh keempat rekannya.

Salah satu alis Keana menukik. Ternyata lo masih pada peduli sama jantung gue. Batinnya sembari berdecih kasar.

"Ngapain lo ngajak kita ketemu?" Arden berucap sinis.

Keana melirik kelimanya bergilir. "Tuh jalang ngomong apa aja sampe kalian nggak berani buat ngelawan dia?"

Kelimanya dibuat membulatkan mata, bersama hembusan nafasnya yang tercekat. Sementara Keana sendiri sibuk memindai reaksi dari masing-masing lelaki di depannya. Sepertinya apa yang keempat sekawan itu katakan benar, dan dugaannya juga benar. Erector dikendalikan oleh seseorang hingga membuat mereka tak bisa berkutik. Namun anehnya kenapa mereka yang kuat justru dengan mudah diancam oleh gadis beasiswa, yang keberadaannya sendiri karena mendapat bantuan dana dari ayah Keana.

Mendesah panjang, Keana memijat pangkal hidungnya yang tiba-tiba saja terasa berdenyut. "Gue emang tau lo semua tuh goblok, tapi masa iya lo bisa dengan mudah diancam sama cewek miskin itu?"

"Paling nggak kalian tuh tunduk sama yang lebih tinggi, bukan sebaliknya. Lo berlima malu-maluin tau nggak?!" Hardik Keana.

Sebastian berdecih kesal. "Lo ngomong apa sih? Kalo nggak tau apa-apa mending diem!" Bentaknya.

"Lo yang nggak tau apa-apa, bego!"

Keana kembali mengambil nafas panjang, lalu membuangnya perlahan. Rupanya selama ini ekspektasi Keana terlalu tinggi.

"Bukti apa yang dia punya, sampe bisa bikin lo pada bungkam?" Tanya Keana akhirnya.

Meski dongkol namun Keana coba untuk tetap tenang, toh jawaban akhirnya ada di mulut kelima laki-laki dihadapannya. Gambaran kasarnya sendiri sudah Keana kantongi, jadi dia hanya perlu memperhalus informasi yang ada.

"Lo ngomong apa sih, anjir?!" Kini giliran Morgan yang menaikkan nada bicaranya.

Keana meraup wajahnya frustrasi. Rupanya kelima laki-laki didepannya masih enggan mengaku, dan mungkin alasannya sama seperti yang dibeberkan oleh si empat sekawan. Tapi tetap saja Keana tak bisa memaklumi kebodohan mereka untuk waktu yang lama. Ingatkan Keana jika dia bukan sosok penyabar.

"Gue emang tau otak lo semua tuh cetek, bahkan lebih cetek dari selokan. Tapi gue nggak nyangka lo juga ikut-ikutan bego, Sebastian Maximilian!"

"Apa?"

"Lo tuh pemenang olimpiade fisika, dan masalah ini ada sangkut pautnya sama keluarga lo. Masa iya lo nggak bisa mikir rasional dan main percaya sama bukti itu?!"

"Otak lo udah tumpul gara-gara fisika apa gimana sih?!" Hardik Keana lagi, sembari berkacak pinggang.

Rahang Sebastian mengetat dengan tangan terkepal erat. "Jaga mulut lo ya!"

SECOND CHANCE (END)Where stories live. Discover now