Rahasia [Terbit]

By shofariaaljauzy

288K 25.8K 3.4K

Rasa yang dimiliki Hasna Mutia untuk Kakak Sepupunya Yusuf Muhammad, ternyata tak mendapat balasan seperti ya... More

01 - Indahnya Rasa
02 - Memalukan 😁
03 - Batu
04 - Sebel
05 - Kesempatan 1
06 - Kesel
07 - Aditya
08 - POV Yusuf 1
09 - POV Yusuf 2
10 - Perjodohan
11 - Kenangan
12 - Tantangan
13 - Ketahuan
14 - Kita Harus Menikah
15 - Keputusan
16 - Balasan Hasna
17 - Persiapan
18 - Pilihan Yusuf
19 - Hasna
20 - Alasan
21 - Aneh
22 - Cemburu Tersembunyi
23 - Ayo Mondok
24 - Yusuf Muhammad
25 - Jika
❤❤❤
26 - Perasaan Syahida
29 - Surat Yusuf
27 - Tidak Peka
28 - Tanya
30 - Pepatah
31 - Rahasia Yusuf
33 - Pertanyaan Eyang
34 - Pilihan Sulit
35 - Perasaan Aditya
36 - Pagi
37 - Pisah
38 - Langkah Aditya
39 - Ucapan Amar
40 - Hal Tak Terduga
41 - Surat Aditya
42 - Salah Paham
43 - Kacau
44 - Surat Hasna
45 - Ilmu
46 - Permintaan maaf Amar
47 - Orion
48 - Orang yg berhak atas Yusuf
49 - Hati yang dijaga
50 - Gosip

32 - Tamu Tak Diundang

2.5K 379 28
By shofariaaljauzy

Mohon maaf bagi yang sudah menunggu dari kemarin. Sungguh, manusia hanya bisa berencana, sementara Allah yang menentukan segalanya. 🥺🥺

-------------------------------------------------

Hasna buru-buru keluar dari mobil sesampainya ia di rumah eyangnya. Baru saja Yusuf mau mengingatkan untuk berhati-hati, Hasna sudah lebih dulu jatuh di teras rumah. Lututnya membentur sudut tangga teras yang tak dilapisi kuku macan.

"Ssh ...." Ia mengaduh kesakitan.

"Loh, Hasna!" Amar yang baru saja keluar terkejut melihat Hasna yang tengah duduk memegangi lututnya.

Yusuf sendiri langsung meraih lengan Hasna dan membantunya berdiri sebelum Amar mengambil alih tugasnya. "Makanya hati-hati!"

Hasna mengibas lengannya. Enggan dibantu Yusuf. Sementara kakinya mulai terasa perih. Sedikit meringis ia menaiki beberapa tangga teras di depannya.

"Kak Amar gak mau bantu Hasna?" tanya Hasna sedikit meninggikan suaranya.

Amar melirik ke arah Yusuf yang mulai membuang muka karena kesal. Ia langsung meninggalkan Hasna tanpa menoleh lagi. Masuk ke dalam rumah tanpa memberi persetujuan pada Amar.

Sedikit kikuk, Amar pun melangkah mendekati Hasna. Dia bukan tidak tahu kalau Yusuf tidak setuju. Namun, meninggalkan Hasna dalam keadaan begini juga rasanya tidak baik.

"Hasna kebiasaan, deh. Serampangan!" ujar Amar sambil memapahnya masuk.

"Yee, serampangan tuh penampilan tau," sahut Hasna.

"Idih, itu mah slebor."

Keduanya tertawa lirih saat masuk ke dalam rumah. Yusuf sendiri belum masuk ke dalam kamar eyangnya. Ia masih berdiri di depan kamar sambil menunggu Hasna.

Amar melepaskan tangannya dari lengan Hasna. Lalu menunjuk Yusuf yang berdiri menatap pintu kamar eyang kakung.

"Hasna bisa jalan sendiri, 'kan? Kak Amar harus beli obat eyang."

Hasna mengangguk sambil lalu mengucapkan terima kasih pada Amar. Ia lalu melangkah mendekati Yusuf. Seseorang membuka pintu kamar eyang. Sedikit mengagetkan mereka.

"Ayah," ujar Hasna.

"Kamu sudah datang?"

Hasna dan Yusuf mencium tangan Ahmad bergantian.

"Eyang gimana?" tanya Hasna.

"Sudah enakan. Masuklah ...!"

Ayah Hasna membuka pintu sedikit lebih lebar untuk mereka. Tampak semua keluarga sudah berkumpul di sana. Sedangkan Eyang tengah terlelap di tempat tidur dengan selang infus yang juga tertanam di tangan kanannya.

Hasna mencium tangan keluarganya satu persatu. Begitu juga dengan Yusuf. Bunda Hasna meminta Hasna untuk ikut duduk di sampingnya. Padahal Hasna sangat ingin mendekat pada eyangnya.

Mereka tidak memperbolehkan untuk mendekat karena eyangnya baru tertidur. Dokter pun baru saja pulang sebelum mereka datang.

"Kalau mau di sini, jangan rame. Jaga eyang kalian. Kalau eyang bangun, kasih tahu kami," ujar Nur Sari.

"Eyang kenapa bisa sampai jatuh, Bunda?" Hasna memperlirih suaranya.

"Bunda juga tidak tahu. Bibi Mira juga belum cerita apa-apa." Nur Sari menoleh pada Ibu Yusuf yang juga masih terlihat shock.

***

Yusuf menoleh pada Hasna yang mencoba meluruskan kakinya di sofa. Semua keluarganya sudah sejak tadi meninggalkan kamar eyangnya. Sementara mereka berdua masih di sana.

Dari raut wajah Hasna terlihat jelas bahwa dia juga sedang tidak baik-baik saja. Pasti karena ia sempat jatuh tadi. Yusuf masih berpikir berulang kali untuk mendekat pada Hasna. Khawatir Hasna akan memperlakukannya seperti tadi.

Akhirnya, akal Yusuf kalah juga sama hati. Ia beranjak mendekati Hasna dan langsung menyentuh kaki Hasna.

"Mau apa?" sedikit kaget, Hasna menjauhkan kakinya dari tangan Yusuf. Beruntung Hasna masih bisa mengontrol suaranya.

Yusuf menatapnya dengan tajam sambil lalu menghela nafas. "Diam, kalau sampai rame, eyang bisa bangun."

Hasna menyerah. Ia membiarkan Yusuf menyentuh kakinya.

Ish, bodoh. Bagaimana caranya aku untuk menyuruh dia menyingkap sedikit gamisnya? Bukankah lukanya pasti berada di lutut? rutuk Yusuf dalam hati.

Ia yang semula menunduk, akhirnya mengangkat tubuhnya kembali.

"Mananya yang sakit?" tanya Yusuf.

Hasna menyentuh lututnya. Yusuf menelan salifanya.

"Kalau begitu, bisa angkat gamis kamu?"

Hasna menatap Yusuf tak percaya.

"Jangan salah paham, bagaimana aku bisa tahu kondisi kaki kamu kalau masih tertutup gamis seperti itu," tandas Yusuf.

"Tapi ..."

"Ah, lama."

Yusuf mengangkat kaki Hasna tanpa ijin. Meletakkan kaki itu di atas pangkuannya. Hasna menutup mulutnya yang hampir saja berteriak karena ulah Yusuf.

Ada sedikit noda di bagian lututnya. Yusuf menunjuk noda itu sambil menoleh ke arah Hasna yang sudah menautkan alis, kesal.

"Pasti lutut kamu luka," ujarnya kemudian.

Hasna meringis. Pantas saja, rasanya perih.

"Boleh aku lihat?" tanya Yusuf sedikit ragu.

"Tapi kan nanti aurat Hasna kelihatan."

Yusuf menghela nafas pelan. Dirinya juga tak bisa se leluasa itu untuk melihat anggota tubuh Hasna, meski mereka sudah sah di mata agama. Walau bagaimanapun, ini masih belum saatnya untuk mereka bisa melihat sejauh itu.

"Aku ambilin obat dulu."

Akhirnya Yusuf menurunkan kaki Hasna pelan-pelan. Ia harus mencari cara lain agar lutut Hasna segera diobati sebelum infeksi.

****

"Ismi, 'kan?"

Aditya tiba-tiba berdiri di depan Ismi dan Debi setelah mereka keluar dari perpus. Ismi menoleh ke sekitar, khawatir akan ada keamanan pesantren yang memperhatikan mereka.

"Hasna mana?" tanyanya lagi setelah Ismi menjawab pertanyaan Aditya dengan anggukan.

"Hasna pulang, Kak."

"Pulang? Kapan?"

"Tadi pagi."

"Dadakan?"

"Iya, eyangnya jatuh katanya."

"Astaghfirullah."

"Ada apa ya, Kak?"

"Mau ngasih ini."

Aditnya mengulurkan beberapa buku tentang fotografi.

"Oya, sebenernya, aku juga mau titip surat sama Hasna. Tapi karena dia gak ada, jadi nanti aku samperin ke rumahnya aja."

"Kak Adit tau rumahnya?"

"Ha ha, tau lah. Ya udah, aku pergi dulu. Makasih, ya! Jangan lupa, besok sudah mulai kelas fotografinya. Kamu juga ikut, 'kan?"

Ismi menarik senyumnya perlahan, lebih masuk pada ringisan. Ia mengangguk sambil menyembunyikan wajahnya yang mulai bersemu merah. Aditya sudah pergi, tapi Ismi masih mematung menatap punggungnya yang menjauh.

"Is, Ismi! Dih, ngelamun!" Debi menggoncang tubuh Ismi.

"Aku bingung, Deb."

"Bingung kenapa?"

"Aku tuh, ikut kelas fotografi karena ajakan Hasna. Lah Hasnanya gak ada sekarang. Besok pasti masih belum balik. Gimana aku yang mau masuk."

"Masuk, ya tinggal masuk aja. Apanya yang repot?"

"Ya 'kan malu, Deb. Gak ada yang aku kenal pasti."

"Tuh, papan informasi. Kita lihat, yuk!"

Debi sedikit menarik lengan Ismi menuju papan informasi. Mengecek deretan nama dari berbagai macam kegiatan ekstrakurikuler. Debi sendiri tidak bisa ikut kegiatan ekstra karena tugasnya sebagai khadamah yang mengharuskan ia untuk selalu ada di dhalem setelah jam kuliahnya selesai.

***

Eyang Wiji sudah bangun. Betapa bahagianya Hasna melihat eyangnya yang langsung mengurai senyum ke arahnya. Luka Hasna juga sudah diobati oleh Mira. Yusuf sendiri yang meminta tolong pada ibunya untuk mengobati Hasna.

"Eyang, kenapa bisa sampai jatuh?" tanya Hasna yang langsung mendekat ke arah eyangnya. Tangannya menggenggam tangan Eyang Wiji lembut.

"Ndak pa-pa. Sudah takdirnya." Eyang Wiji menjawab lirih pertanyaan Hasna.

Hasna menatap eyangnya, sedih dan khawatir. Ketukan di pintu kamar eyang Wiji sedikit menyita perhatian mereka. Disambung dengan ucapan salam dari suara seseorang yang tampak tak asing bagi Hasna.

Benar saja, Ning Syahida datang bersama dengan Kyai Zainal dan Nyai Masruroh. Cepat Hasna bangkit dari duduknya. Berdiri tak percaya melihat rombongan itu datang tanpa pemberitahuan. Yusuf yang berdiri tepat di samping Ning Syahida, makin membuat Hasna tak percaya.

Apa mereka sudah janjian? Makanya kenapa tadi Kak Yusuf tidak memperbolehkan aku untuk meminjam hapenya? Wah, parah bener! Batin Hasna.

***

Continue Reading

You'll Also Like

24.5K 1.8K 25
based on true story Pernah terbayang tidak? Kau habiskan waktu indahmu di suatu tempat bernama Jogjakarta bersama seseorang hanya dalam seminggu, tap...
3.5M 27.2K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
23.7K 4.5K 30
Ini hanya cerita tentang perjalanan Hafsah setelah kepindahannya ke Jakarta. Di sekolahnya yang baru, Hafsah juga bertemu dengan orang-orang baru. ...
67.2K 16.6K 19
📌 Lapaknya Alif "Harta, tahta, tampan gak burik seujung kuku pun, kemewahan, gak pernah kekurangan, lahir dari keluarga baik-baik, satu iman," jeda...