La Samba Primadona (Repost) |...

By IndahHanaco

391K 53.9K 2.9K

Ranking : #1 dari 15,1K Chicklit (12-13 Okt 2020) Catatan : ini adalah kisah nyata, ditulis dengan izin si p... More

Saujana Cinta [1]
Saujana Cinta [2]
Saujana Cinta [3]
Black Angel [1]
Black Angel [2]
Les Masques [1]
Les Masques [2]
Les Masques [3]
The Curse of Beauty [1]
The Curse of Beauty [2]
The Curse of Beauty [3]
Fixing a Broken Heart [1]
Fixing a Broken Heart [2]
Run to You [1]
Run to You [2]
Run to You [3]
Everything for You [1]
Everything for You (2)
Everything for You (3)
Beautiful Temptation [1]
Beautiful Temptation [2]
Out of The Blue [1]
Out of The Blue [2]
Rainbow of You [1]
Rainbow of You [2]
Rainbow of You [3]
Cinta Sehangat Pagi [1]
Cinta Sehangat Pagi [2]
Cinta Sehangat Pagi [3]
Cinta Sehangat Pagi [4]
My Better Half [1]
My Better Half [3]
My Better Half [4]
Cinta Tanpa Jeda [1]
Cinta Tanpa Jeda [2]
Cinta Tanpa Jeda [3]
Cinta Empat Sisi [1]
Cinta Empat Sisi [2]
Cinta Empat Sisi [3]
Cinta Empat Sisi [4]
Love Me Again [1]
Love Me Again [2]
Love Me Again [3]
Crazy Little Thing Called Love [1]
Crazy Little Thing Called Love [2]
Crazy Little Thing Called Love [3]
Crazy Little Thing Called Love [4]
Perfect Romance [1]

My Better Half [2]

5.5K 913 22
By IndahHanaco

"Aku kan bilang, itu perumpamaan doang. Nggak harus diartikan secara harfiah juga, Lea." Edgar menempelkan dagunya di kepalaku. "Pokoknya, jangan menilai aku terlalu tinggi. Aku cuma laki-laki biasa yang punya banyak kekurangan."

"Omong-omong, aku ngerti soal rahasia yang kamu maksud tadi," kataku dengan suara lirih. "Kita berandai-andai, nih. Kalau kamu tau aku punya rahasia yang menjijikkan, apa kamu bakalan langsung ninggalin aku?"

"Nggak akan," balas Edgar yakin. "Cinta itu bikin kita bisa menerima dan memaklumi segala hal tentang seseorang," gumamnya lembut.

"Itu namanya cinta buta. Udah nggak objektif lagi."

"Tapi, bukankah cinta memang semestinya buta? Kita punya perasaan istimewa sama seseorang begitu aja. Bukan karena uang, latar belakang keluarga, atau pendidikan. Tapi karena hal-hal absurd yang nggak bisa dijelaskan."

Edgar benar, aku setuju dengannya. Namun aku memilih untuk tak menyuarakan pendapatku. Sebagai respons, aku cuma memeluknya kian erat. Bantingan pintu mobil terdengar, diikuti teguran bernada menggoda. "Hei, kalian jangan pacaran melulu. Udah malam nih, ntar masuk angin."

Aku buru-buru mencari sumber suara dan berhadapan dengan senyum lebar Kimi. Aku juga melambai kepada Ravel yang sempat membunyikan klakson sebelum berlalu. Kimi langsung menuju pintu pagar yang terbuka.

"Lihat siapa yang ngomong," sindirku. Kimi meninggalkan suara tawa di belakangnya.

"Udah waktunya kamu pulang, Ed." Aku akhirnya melepaskan pelukanku dengan enggan. Kulirik arlojiku sebentar.

"Kok aku jadi diusir gara-gara Kimi ngomong gitu, sih?" Edgar cemberut. Aku tertawa geli sambil menepuk pipi kanannya.

"Aku sih penginnya kamu ada di dekatku seharian. Nggak perlu pulang dan nyetir ke Jakarta. Tapi itu kan nggak mungkin." Aku membenahi posisi tasku yang melorot di bahu kanan. "Hati-hati nyetirnya ya, Ed. Jangan ngebut dan jangan ngantuk. Awas aja kalau kamu kenapa-napa."

Kekasihku akhirnya menyeringai. "Iya, aku janji nggak akan kenapa-napa." Edgar menangkup kedua pipiku, lalu agak menunduk untuk mengecup ujung hidungku. "Aku pulang dulu, ya. Kamu juga jangan malam-malam tidurnya."

"He-eh."

"Lusa aku ke sini."

Aku menahan diri agar tidak mengernyit. Sebenarnya, belakangan ini aku berusaha untuk tidak berkomentar. Namun kali ini aku tidak bisa terus menahan diri. "Bukan bermaksud mengeluh. Aku sih senang banget tiap kali kamu datang. Tapi, sejak aku masuk rumah sakit, kamu jadi makin sering ke sini. Masalahnya, Jakarta-Bogor itu jaraknya lumayan, Ed. Aku nggak mau malah bikin kamu repot."

"Kamu nggak akan bisa melarangku sering-sering datang ke sini," tukas Edgar. Tangan kanannya yang nyaris membuka pintu mobil, menggantung di udara. "Aku nggak pernah merasa repot, Lea. Aku ke sini karena pengin ketemu kamu. Sesering yang aku bisa. Aku pengin selalu manfaatin waktu yang ada. Karena...." Edgar tidak melanjutkan kalimatnya. Dia malah berdeham pelan.

Aku membuka mulut. "Karena kamu nggak mau ada penyesalan, kan?" tebakku. "Itu yang aku nggak suka. Kamu jadi merasa bersalah karena apa yang pernah kualami. Padahal itu bukan tanggung jawabmu."

Edgar menggeleng sebagai bantahan. "Aku nggak merasa bersalah. Tapi aku nggak mau kehilangan kesempatan untuk jagain kamu, Lea."

"Aku nggak mau jadi beban seseorang. Meski orang itu kamu."

"Kamu bukan beban siapa-siapa," tegas Edgar. "Gini ya, Lea. Aku ke sini sesering mungkin karena aku memang punya waktu. Kalau nggak, aku juga nggak mungkin maksain diri." Edgar meremas tangan kiriku. "Aku tau kamu bisa jaga diri."

Ketika aku tiba di kamar, Kimi sedang mandi. Aku bisa mendengar suaranya bersenandung. Diam-diam aku bahagia ketika mengingat kondisiku dengan Edgar. Kami beruntung karena tidak teradang masalah serius seperti halnya Kimi dan Ravel.

Setelah Kimi keluar dari kamar mandi, ganti aku yang membersihkan diri. Aku hanya mencuci muka dan menyikat gigi. Setelahnya, aku juga mengganti gaun selututku dengan baju tidur yang sering dihina Kimi karena sudah lusuh.

"Kamu keliatan banget bahagianya sejak sama Edgar," kata Kimi. Aku yang sedang menyisir rambut dan menghadap ke arah cermin, membalikkan tubuh. Sahabatku sudah berbaring di ranjang.

"Nyolok banget, ya?"

"Iya. Kamu sekarang beda, Lea. Selalu berseri-seri, lebih santai, nggak sinis lagi."

Aku membenarkan kata-kata sahabatku dalam hati. "Edgar itu ... entahlah. Aku ngerasa udah ketemu apa yang kucari. Sekarang aku berani bilang kalau dia itu belahan jiwaku." Aku tertawa sendiri dengan kalimat terakhirku. Kimi tersenyum memandangku.

"Aku juga ngerasa kayak gitu."

Kalimatnya membuatku buru-buru menyisir rambut dan bergabung di ranjang. "Kadang aku takut, ini cuma sementara. Gimana kalau nanti Edgar tau tentang apa yang pernah kulakukan sama Reiner? Kadang aku tersiksa mikirin itu, Kim. Aku berkali-kali hampir cerita sama dia."

"Hei, nggak perlu sejauh itu, Lea! Kita nggak tau gimana nantinya Edgar bereaksi. Sesuatu yang udah nggak bisa diubah, nggak perlu dingat terus. Lagian, nggak ada untungnya kalau Edgar tau, kan? Toh, nasi udah jadi bubur."

"Jadi, menurutmu, aku nggak perlu ngomong soal Reiner?" tanyaku ragu.

"Nggak perlu. Kecuali memang ada kondisi mendesak yang mengharuskan kamu ngelakuin itu," nasihat Kimi.

Aku akhirnya mengangguk. Kali ini, aku setuju dengan Kimi.

"Ravel mau cerai."

Kalimat berita yang diucapkan Kimi dengan suara rendah itu membuatku urung berbaring. Di sebelah kananku, Kimi menelentang dengan mata menatap langit-langit.

"Jujur Lea, aku jadi merasa jijik sama diri sendiri."

"Kenapa?" Aku menepuk bantalku sebelum berbaring menyamping menghadap ke arah Kimi.

"Karena aku senang mereka akan bercerai. Aku jahat, kan?"

Aku tidak tahu harus mengucapkan apa. "Kurasa...."

"Aku udah bertahun-tahun pacaran sama suami orang. Seharusnya, aku berhenti sejak dulu. Tapi aku malah nggak bisa lepas dari Ravel. Sampai akhirnya, dia pengin cerai. Sadar atau nggak, aku pasti udah ngasih dorongan yang bikin dia nekat mengambil keputusan itu."

"Kim, apa...."

"Sori Lea, aku pasti bikin kamu jadi serba salah," tukas Kimi sungguh-sungguh. "Kita nggak usah bahas masalah rumah tangga Ravel lagi." Kimi menoleh ke arahku. "Aku iri sama kamu dan Edgar. Kalian nggak punya masalah pelik yang harus dipikirin. Makanya, kamu nggak boleh menyia-nyiakan Edgar."

Kalimat terakhir Kimi membuatku tertawa pelan. Namun ketika teringat rasa berdosa yang sedang menyandera sahabatku, kegiranganku meredup. "Kim, kurasa nggak ada gunanya kamu ngerasa bersalah karena Ravel mau cerai. Dia udah dewasa, tau apa yang dia mau. Ravel pasti udah mempertimbangkan semua risikonya."

Kimi hanya tersenyum tanpa mengatakan apa pun. Sahabatku malah memilih untuk membahas masalah rencana bisnis kami yang masih menggantung. Kali ini dia mengejutkanku saat bicara, "Aku udah mikir serius belakangan ini. Aku juga sempat minta pendapat Ravel. Kurasa, bikin lini busana kayak yang kamu mau itu memang pilihan cerdas."

Bibirku terbuka. "Kamu akhirnya setuju sama aku?"

"Iya. Karena sekarang aku bisa ngeliat dari sudut pandangmu, Lea. Kamu benar, seharusnya kita memang sejak awal bikin sesuatu yang istimewa, eksklusif. Kita cuma ngejual baju-baju dengan desain cantik dalam jumlah terbatas."

Semangatku pun berlimpah seketika. "Makanya kita harus mikirin segalanya sampai detail. Tapi memang kerjaan jadi lebih banyak. Kita harus milih tim desain, nyari penjahit yang bagus, milih lokasi yang strategis."

Kimi mengangguk setuju sambil tertawa. "Iya, pelan-pelan kita harus nyiapin semuanya. Mau nggak mau, betah nggak betah, udah saatnya kita ninggalin Medalion."

Hatiku mendadak terasa berat lagi. Meninggalkan Medalion adalah hal yang mengusikku belakangan ini. Menjadi SPG, tanpa benar-benar kusadari, sudah menyelamatkan hidupku yang mendadak kacau. Aku memiliki kesibukan yang menyita waktu dan konsentrasi di luar urusan kuliah. Sehingga aku tidak sempat berlama-lama larut dalam kesedihan karena gelombang demi gelombang yang menghantam.

"Gimana kalau nanti kita kangen Medalion, Kim?" kataku kekanakan. Aku akhirnya menelentang di sebelah Kimi. "Tiba-tiba kok rasanya berat, ya? Kita udah terbiasa sama kerjaan sebagai SPG, terbiasa diurusi Mbak Zoe. "

Kimi mendesah. "Wajarlah kalau kita punya rasa cemas, Lea. Karena kita bakal ninggalin zona nyaman. Semua orang pasti ngerasain hal yang sama. Tapi kalau kita nggak punya nyali untuk berubah, ya susah."

Kimi benar. Kami tidak mungkin selamanya jalan di tempat. Waktu terus melaju, melahap masa muda kami tanpa aba-aba. Jika tidak mulai fokus pada masa depan kami mulai sekarang, kapan lagi?

Lagu : Soulmate (Natasha Bedingfield)

Continue Reading

You'll Also Like

5.3M 123K 11
Salah satu alasan Swastika Nareswari resign adalah perbedaan cara pandangnya dalam urusan pekerjaan dengan Javas Maheswara, sang pimpinan. Serta sika...
271K 28.5K 23
Alya Pradipta, gadis keras kepala yang awam tentang urusan cinta. Kehidupannya seputar kampus dan dunia kerja, tidak ada bau-bau asmara. Hingga di s...
2.3M 183K 47
Maia Herra, Food blogger terkenal, terpaksa harus mengikuti keinginan Papinya untuk bekerja di Restoran terkenal milik teman ayahnya, Head Chef yang...
619K 7.3K 28
Warning konten 21+ yang masih dibawah umur menjauh. Sebuah short story yang menceritakan gairah panas antara seorang magang dan seorang wakil rakyat...