La Samba Primadona (Repost) |...

By IndahHanaco

391K 53.9K 2.9K

Ranking : #1 dari 15,1K Chicklit (12-13 Okt 2020) Catatan : ini adalah kisah nyata, ditulis dengan izin si p... More

Saujana Cinta [1]
Saujana Cinta [2]
Saujana Cinta [3]
Black Angel [1]
Black Angel [2]
Les Masques [1]
Les Masques [2]
Les Masques [3]
The Curse of Beauty [1]
The Curse of Beauty [2]
The Curse of Beauty [3]
Fixing a Broken Heart [1]
Fixing a Broken Heart [2]
Run to You [1]
Run to You [2]
Run to You [3]
Everything for You [1]
Everything for You (2)
Everything for You (3)
Beautiful Temptation [1]
Beautiful Temptation [2]
Out of The Blue [1]
Out of The Blue [2]
Rainbow of You [1]
Rainbow of You [2]
Rainbow of You [3]
Cinta Sehangat Pagi [1]
Cinta Sehangat Pagi [3]
Cinta Sehangat Pagi [4]
My Better Half [1]
My Better Half [2]
My Better Half [3]
My Better Half [4]
Cinta Tanpa Jeda [1]
Cinta Tanpa Jeda [2]
Cinta Tanpa Jeda [3]
Cinta Empat Sisi [1]
Cinta Empat Sisi [2]
Cinta Empat Sisi [3]
Cinta Empat Sisi [4]
Love Me Again [1]
Love Me Again [2]
Love Me Again [3]
Crazy Little Thing Called Love [1]
Crazy Little Thing Called Love [2]
Crazy Little Thing Called Love [3]
Crazy Little Thing Called Love [4]
Perfect Romance [1]

Cinta Sehangat Pagi [2]

6.3K 1K 42
By IndahHanaco

Bernapas adalah sesuatu yang alamiah. Namun saat itu mendadak aku merasa dadaku sesak. Aku lupa caranya menghimpun udara dan mengembuskannya lagi.

"Kim, bilang kalau aku nggak lagi mimpi. Betul itu Edgar, kan?" bisikku sambil meremas tangan Kimi dengan gugup. Kimi mengangguk sambil tertawa kecil. Dia memegangi lenganku, mengajakku kembali melangkah.

"Kim, kamu dengar suara itu, nggak?" tanyaku dengan suara lirih.

"Suara apa? Suara setan di kepalamu?" tanya Kimi usil.

"Bukan, suara jantungku. Aku takut dia bisa..."

Kimi terkekeh geli. "Astaga, nggak ada yang bisa dengar suara jantungmu itu. Udah ah, jangan norak gitu! Rileks, tarik napas."

Bicara tentu mudah. Namun melakoninya jauh lebih sulit. Aku mencoba tersenyum saat melihat Edgar mendekat. Wajah menawannya berbinar seperti matahari pagi di bulan Agustus. Raksasa ini begitu menyedot perhatian.

"Hai, Lea. Kakimu gimana? Udah mending?" tanya Edgar penuh perhatian. Tangan kanannya mengangsurkan sepatuku. Sebelum aku meraih benda itu, Kimi sudah lebih dulu menyambarnya.

"Udah," jawabku pelan. "Kamu datang jauh-jauh cuma untuk ngembaliin sepatuku?" tanyaku tak enak hati. "Makasih ya, aku ngerepotin kamu terus. Padahal kamu nggak perlu balik ke sini lagi gara-gara sepatuku. Kirim aja lewat pos atau jasa titipan kilat. Nanti kuganti semua biayanya," cerocosku.

"Trus jumlahnya ditotalin sama tagihan nasi goreng tadi malam," celetuk Kimi. Pipiku panas seketika.

"Nasi gorengnya gratis, kok," balas Edgar santai. Lelaki itu berjarak dua langkah di depanku. Dia hanya mengenakan celana jeans abu-abu dan kaus warna cokelat, tapi membetot fokusku. "Tapi kamu tetap punya utang sama aku meski nggak perlu bayar pakai uang," imbuhnya sembari membenahi kacamata dengan tangan kiri.

Aku yang seumur hidup tidak pernah merasa pendek, kini harus mendongak di depan Edgar. Aku teringat kata-katanya tadi malam. Aku dua kali menggendongmu. Kamu berutang sama aku. Nanti aku pikirin cara bayar yang paling tepat.

"Dia udah siap untuk bayar utang," kata Kimi sambil mendorong punggungku dengan gerakan lembut. Aku menangkap nada geli dalam suaranya. "Aku titip Leala, ya?"

Aku melotot ke arah Kimi, tapi cuma disambut dengan cengiran jail. Lalu, sahabatku malah sengaja meninggalkanku dan Edgar sambil membawa sepatuku. Dia juga mewanti-wanti agar aku berjalan dengan hati-hati. Aku akhirnya cuma bisa menatap Edgar dengan tak berdaya. Sungguh, ini kali pertama aku tak tahu bagaimana seharusnya bersikap di depan lawan jenis. Aku sangat ingin mengucapkan kalimat cerdas yang bisa mengamuflase kegugupanku. Sayang, otakku terasa kosong melompong.

"Aku harus bayar pakai apa?" tanyaku pelan. "Uang memang bukan segalanya. Tapi jauh lebih gampang kalau utang budi bisa ditebus dengan uang. Itung-itungannya jadi lebih simpel."

Edgar tertawa geli. "Jangan mikir yang aneh-aneh! Nanti otakmu kena virus." Dengan ringan dia mengetukkan jarinya di keningku. Aku tercekat sebagai efek dari gerakan sederhana itu. Aku tidak tahu seperti apa rasanya jika ada kupu-kupu memenuhi perutmu, seperti yang selalu tertulis di novel-novel roman. Yang pasti, aku merasakan perutku mulas, dengan kaki seolah tidak menjejak tanah.

"Kamu bisa bayar utang dengan cara sederhana. Cukup menemaniku seharian ini. Gimana? Mau?"

Aku mendesah, "Kakiku..."

"Mau apa nggak?" desaknya. "Aku cuma merasa, ada hal-hal tertentu yang sebaiknya nggak ditunda-tunda. Karena takutnya malah menyesal seumur hidup," imbuh Edgar mengejutkan.

Aku terpana sambil menatap wajah menawan di depanku itu dengan segenap keberanian yang kupunya. Kami terdiam dan hanya berpandangan. Baru kali ini aku merasakan sendiri bahwa tatapan bisa mewakili berjuta kata. Edgar maju dua langkah dan meraih lengan kiriku. Tanpa bicara, kami berdua berjalan pelan menuju mobilnya. Aku masih terpincang-pincang.

"Perlu kugendong?" tanyanya. Aku tahu tidak ada nada gurau di dalam suaranya.

"Nggak usah. Aku bisa, asal pelan-pelan."

"Masih sakit banget, ya?"

"Nggak terlalu."

Edgar tampak lega begitu aku duduk dan memasang sabuk pengaman. Kurang dari dua menit kemudian, mobilnya sudah melaju meninggalkan rumah indekosku.

"Aku udah sampai dari tadi, tapi nggak tega dengar kamu teriak-teriak pas dipijat. Makanya aku pilih nunggu di mobil. Untungnya nggak lama Kimi keluar."

Aku melongo. "Astaga! Jadi kamu tadi sempat dengar teriakan hororku?"

Lelaki itu menebar tawa renyah yang nyaman di telingaku. Andai bisa, aku ingin mendengar tawa itu dalam setiap kesempatan seumur hidupku. Jengah oleh pemikiran itu, aku mengalihkan pandangan ke luar jendela. Seperti hari Sabtu lainnya, Bogor pun dikepung kemacetan.

"Apa memang sakit banget, ya?" tanyanya kemudian.

"Buatku sih iya. Daya tahanku terhadap rasa sakit memang payah." Aku melirik arlojiku. "Kita mau ke mana?"

"Kamu pengin ke suatu tempat?" Edgar malah bertanya.

Aku menggeleng. "Nggak ada. Kamu aja yang putusin mau ke mana."

"Nggak akan jadi masalah? Kamu nggak bakalan menganggapku egois atau semacamnya, kan?"

Aku menoleh ke kanan dengan bibir merekahkan senyum. "Nggak akan sedramatis itu."

"Oke, kali ini aku yang pilih tempatnya. Lain kali, kamu yang putusin mau ke mana. Setuju?"

Aku nyaris sesak napas lagi hanya karena mendengar kalimatnya. Berarti, setelah ini kami akan bertemu lagi? "Hmmm, setuju," jawabku dengan suara tak jelas. Aku nyaris menelan pertanyaan yang mengusikku tapi akhirnya memilih untuk memuaskan rasa penasaranku. Menurutku, aku dan Edgar sudah melewati fase jaim yang tak perlu. "Memangnya kita bakalan ketemu lagi setelah ini?" tanyaku sebelum hilang keberanian.

"Aku sih maunya gitu. Kalau kamu?" tanyanya lugas.

Aku kehabisan stok kata-kata. Mengenang pertemuan kami yang baru berlalu dalam hitungan jam. Teringat teleponnya tadi malam hanya untuk mendengar suaraku dan menyuruhku segera istirahat. Semuanya meretakkan hati bekuku.

"Lea, kamu belum jawab," Edgar mengingatkan. "Aku lebih senang kalau kamu jujur. Kalau kamu nggak nyaman ketemu aku, ngomong aja. Kayak yang tadi kubilang, ada hal-hal tertentu yang sebaiknya nggak ditunda-tunda. Karena aku nggak mau menyesal." Lelaki itu menatapku sekilas. "Kita udah sama-sama dewasa. Kenapa harus buang-buang waktu cuma supaya nggak dicap agresif, misalnya?"

Edgar membuatku mati kutu. Bahkan Reiner pun tidak seterus terang Edgar di pertemuan kedua kami. Reiner menghujaniku dengan hadiah, pujian, dan rayuan. Meski sejak awal sudah menunjukkan ketertarikan padaku. Namun Edgar sebaliknya. Dia menerjemahkan apa yang dirasakan dengan kata-kata sejelas kristal.

"Kamu serius?" tanyaku dengan pipi panas dingin. Cuma kalimat yang itu yang terpikirkan olehku.

Edgar tidak segera menjawab. Dia terdiam selama beberapa detik. "Kita cari tempat untuk ngobrol, ya? Aku tau satu tempat yang nyaman. Mudah-mudahan aja kamu pun sependapat."

"Oke," balasku tanpa pikir panjang.

Tempat yang dimaksud Edgar adalah sebuah restoran air di kawasan Lido. Disebut demikian karena air mengalir di mana-mana. Kemudian dibangun gubuk-gubuk bergaya lesehan dengan dinding bambu setinggi setengah meter. Pihak restoran membuat jalan berbatu yang rapi dan digenangi air hingga mata kaki orang dewasa. Jadi, sebelum memilih tempat yang diinginkan, pengunjung harus menitipkan alas kaki dulu.

Edgar memilih gubuk kosong yang terdekat. Dari tempat kami duduk, terlihat hamparan padi di kejauhan. Menu yang disajikan adalah makanan khas Jawa Barat. Aku memesan sate maranggi sementara Edgar memilih nasi tutug oncom.

"Kamu suka tempat ini?"

"Iya." Aku tersenyum tipis. Kami duduk berhadapan, terpisah oleh meja persegi yang terbuat dari bambu. "Tapi aku belum pernah ke sini."

"Aku baru tiga kali. Awalnya nggak sengaja mampir. Keluargaku punya vila nggak jauh dari sini. Suatu hari, kami semua singgah ke sini untuk makan malam," urainya.

"Keluargamu cukup dekat, ya? Karena masih menginap bareng."

"Lumayan, meski sesekali tetap ada ribut-ributnya." Edgar tersenyum sembari melepas kacamatanya. "Kamu kenapa ngekos, Lea? Keluargamu tinggal di mana?"

Itu pertanyaan yang ingin kuhindari. Namun bibirku malah menjawab begitu saja. "Keluargaku tinggal di Bogor juga. Aku ngekos karena lebih nyaman kayak gitu."

"Oh." Hanya itu komentarnya. Aku lega karena dia tidak mengajukan pertanyaan baru tentang keluargaku. Kedatangan pramusaji yang membawakan semua pesanan, menginterupsi obrolan ringan kami. Edgar ternyata tipe orang yang berkonsentrasi pada makanannya. Hampir tidak ada obrolan sama sekali saat kami makan.

"Kamu nggak capek bolak-balik Jakarta-Bogor dalam waktu beberapa jam aja?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibirku setelah kami selesai makan. Edgar duduk bersandar di dinding. Kakinya yang panjang diselonjorkan.

"Aku nggak jadi pulang ke Jakarta, tapi langsung ke vila yang kuceritain tadi. Di sana ada baju ganti dan segala keperluan kalau harus menginap mendadak."

Aku diterpa rasa bersalah. "Maaf ya, aku udah ngerepotin."

"Aku nggak merasa repot. Sungguh!" Edgar menatapku serius. "Udah ah, kita nggak usah buang waktu untuk ngomongin hal-hal yang nggak penting. Setelah ini, aku pengin ketemu kamu lagi. Nggak cuma sekali atau dua kali. Tapi berkali-kali," akunya terus terang. "Kamu tadi belum jawab pertanyaanku. Kamu sendiri maunya gimana, Lea?"

Aku berusaha memilih kata-kata yang cerdas sebagai jawaban. Namun pada akhirnya aku cuma mampu bergumam, "Oke."

Edgar mengerjap. Perlahan senyumnya mengembang. "Apanya yang oke? Kamu jawabnya nggak jelas."

"Oke, kita bakalan ketemu lagi. Nggak cuma sekali atau dua kali, tapi berkali-kali," aku mengulangi kalimatnya. "Aku juga maunya gitu," imbuhku jujur dengan suara lirih. Pipiku memanas. Aku tak berani menatap Edgar.

"Berarti kita udah sepakat, ya? Kamu nggak boleh berubah pikiran di tengah jalan."

Aku lupa pada niatku untuk tidak menatap Edgar. "Aku nggak akan berubah pikiran," kataku bersikeras. Edgar tertawa pelan sambil mengangguk. Seketika, perutku terasa mulas lagi. Laki-laki ini sungguh berbahaya. Dia hanya perlu tersenyum atau tertawa untuk membuatku kalang kabut.

Lagu : Goin' Where The Wind Blows (Mr. Big)

Continue Reading

You'll Also Like

10K 1.9K 23
Kebersamaan yang didamba Kenan ternyata tak bertahan lama. Karena urusan masing-masing, dia harus melepas satu per satu adiknya menjalani kehidupann...
362K 5.7K 6
[Private - hanya dapat dibaca oleh followers] Axela Devaza, gadis penuh rahasia yang kembali datang dengan wujud dan pribadi yang berbeda untuk seb...
370K 17.9K 33
[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Tarima Sarasvati kira akan mudah baginya menjadi istri bayaran Sadha Putra Panca. Hanya perlu mela...
1M 47.8K 46
(BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Warning! Mengandung unsur kata kasar! Harap bijak dalam memilih bacaan! Suatu hal yang paling buruk bagi Atlantik...