La Samba Primadona (Repost) |...

By IndahHanaco

391K 53.9K 2.9K

Ranking : #1 dari 15,1K Chicklit (12-13 Okt 2020) Catatan : ini adalah kisah nyata, ditulis dengan izin si p... More

Saujana Cinta [1]
Saujana Cinta [2]
Saujana Cinta [3]
Black Angel [1]
Black Angel [2]
Les Masques [1]
Les Masques [2]
Les Masques [3]
The Curse of Beauty [1]
The Curse of Beauty [2]
The Curse of Beauty [3]
Fixing a Broken Heart [1]
Fixing a Broken Heart [2]
Run to You [1]
Run to You [2]
Run to You [3]
Everything for You [1]
Everything for You (2)
Everything for You (3)
Beautiful Temptation [1]
Out of The Blue [1]
Out of The Blue [2]
Rainbow of You [1]
Rainbow of You [2]
Rainbow of You [3]
Cinta Sehangat Pagi [1]
Cinta Sehangat Pagi [2]
Cinta Sehangat Pagi [3]
Cinta Sehangat Pagi [4]
My Better Half [1]
My Better Half [2]
My Better Half [3]
My Better Half [4]
Cinta Tanpa Jeda [1]
Cinta Tanpa Jeda [2]
Cinta Tanpa Jeda [3]
Cinta Empat Sisi [1]
Cinta Empat Sisi [2]
Cinta Empat Sisi [3]
Cinta Empat Sisi [4]
Love Me Again [1]
Love Me Again [2]
Love Me Again [3]
Crazy Little Thing Called Love [1]
Crazy Little Thing Called Love [2]
Crazy Little Thing Called Love [3]
Crazy Little Thing Called Love [4]
Perfect Romance [1]

Beautiful Temptation [2]

6.4K 1K 43
By IndahHanaco

"Maaf, aku nggak tertarik balikan sama kamu. Kita udah selesai," tegasku berkali-kali. Hingga aku hampir jatuh jenuh mengulang kalimat yang sama.

"Maafin aku, Lea. Aku bersumpah, nggak akan ngelakuin hal-hal yang kamu nggak suka. "

Saat itu kami sedang berada di sebuah kafe trendi di jantung kota Bogor. Suasana di sana cukup riuh karena dipenuhi pengunjung. Aku tidak tertarik untuk membahas masa laluku dan Reiner. Aku bukan orang yang gegabah mengambil keputusan. Ketika aku memutuskan untuk berpisah dari laki-laki ini, itu artinya tak ada lagi yang bisa menahanku.

"Lea, aku serius," kata Reiner lagi. "Aku bukannya nggak berusaha melupakanmu. Tapi aku gagal total. Tiap kali bersama seseorang, aku malah selalu ingat kamu. Nggak ada perempuan lain yang bikin aku tertarik lagi."

Tepat ketika bibirku akan terbuka untuk merespons rayuan Reiner, mataku tertumbuk pada sepasang manusia. Lelaki dan perempuan. Di sana, di salah satu meja kafe, Papa sedang memesrai seorang perempuan muda dengan dandanan seksi.

Tanpa pikir panjang, aku mengambil langkah menuju meja itu. Kutinggalkan Reiner dan menepis tangannya yang berusaha memegang lenganku. "Selamat malam," sapaku dengan suara seramah mungkin.

Sejoli itu mengalihkan tatapan padaku. Saat itu aku tahu, Papa tidak mengenaliku. Seolah aku cuma orang asing yang tidak pernah bersinggungan dengannya. Papa bersikap formal dan menyapaku dengan "Mbak". Seketika aku merasa hancur. Dadaku terasa dihantam oleh badai pahit yang mematikan. Kukira, tidak ada lagi yang bisa membuatku merasa seperti ini. Nyatanya, aku salah. Ikatan antara anak dan ayah itu tidak pernah benar-benar bisa kumusnahkan.

Aku berusaha mengimbangi apa yang dilakukan Papa dengan menawarkan rokok yang ada di tanganku. Saat itu aku sedang menjadi SPG untuk sebuah merek rokok top nasional. Sikapku ramah dan profesional. Akan tetapi, sepertinya aku tidak bisa menyembunyikan tatapan jijikku pada perempuan muda yang sudah pasti lebih pantas menjadi anak Papa.

Entah apa yang salah dengan Papa, dia tidak tampak terkejut seperti kali pertama kupergoki. Tidak panik, begitu tenang dan tampak alami. Apakah karena sudah bercerai dari Mama dan tak perlu mencemaskan apa pun? Juga karena ketiga anaknya sudah tahu belang sesungguhnya yang disembunyikan kedua orangtuaku?

Mungkin, memang selalu ada sisi kekanakan dalam diri setiap orang dewasa. Karena setahuku Mama pun menjadikan perceraian dengan Papa sebagai tiket kebebasannya. Aku terlampau sering memergoki Mama bersama pacarnya. Yang membedakan mereka mungkin hanya satu : Mama selalu bersama orang yang sama sementara Papa sebaliknya.

Pulang ke tempat indekos, aku menumpahkan tangis. Semuanya mirip bah yang menerjang tiada ampun. Kimi yang hari itu sedang libur dan sempat pergi dengan Ravel, tentu terheran-heran mendapatiku sedang tengkurap di kasur dengan bahu berguncang dan suara isakan yang mengibakan.

"Kamu kenapa? Apa terjadi sesuatu?" sahabatku buru-buru memegang bahuku dan memintaku membalikkan tubuh. "Lea...."

"Aku ... aku ... ketemu Papa...." tangisku pecah lagi. Kimi meraihku ke dalam pelukannya. Tangannya menepuk punggungku dengan lembut. Perlakuannya itu justru membuat air mataku menderas.

"Papamu kenapa?" tanyanya hati-hati.

Aku mengeringkan wajahku yang basah dan terasa panas. Kepalaku sepertinya membengkak hingga dua kali dari ukuran normal. "Papa sama cewek, kayaknya lebih muda dariku. Aku ... sengaja nyapa. Penasaran pengin tahu reaksinya. Tapi ... Papa malah pura-pura ... nggak kenal aku. Aku sedih...." suaraku tersendat-sendat ditingkahi isak.

Kimi ternganga. Tentu dia pun shock mendengar kalimatku barusan. Sungguh sesuatu yang tidak masuk akal, karena Kimi sangat tahu jika dulu Papa begitu menyayangiku. "Serius?"

Aku mengangguk lemah. Kimi tidak bicara lagi. Mungkin dia pun tidak tahu harus berkomentar apa. "Papaku sama aja kayak lelaki hidung belang lainnya. Ngerayu cewek muda, nggak peduli meski ada aku di depannya. Menjijikkan dan bikin aku marah banget. Gila, pokoknya!"

Aku pun mulai mengoceh tak keruan, memuntahkan semua perasaan dan kecewaku. Seperti biasa, Kimi adalah pendengar terbaik di dunia. Dengan sabar dia menunggu hingga semua perasaanku tercurah. Kemudian memberikan penghiburan yang menenangkan.

"Kamu nggak bisa berbuat apa-apa. Sampai kapan mau marah terus? Udah deh Lea, ikhlasin aja semuanya. Biar hati kamu plong. Kamu pun pasti lebih bahagia. Apa yang dilakukan sama papa dan mamamu adalah tanggung jawab mereka. Kamu nggak bisa maksa mereka memilih langkah yang sebaliknya. Kamu nggak bisa mengontrol sikap siapa pun."

Aku merenungkan kata-kata Kimi. Hatiku tidak ingin menerimanya, tapi kepalaku memutuskan sebaliknya. Ada bara yang mendadak dingin. Wajah Mama dan Papa melintas di mata. Kimi memegang kedua tanganku, menggenggamnya dengan hati-hati seolah khawatir akan melukaiku.

"Papamu pasti punya alasan melakukan itu. Mungkin takut membuatmu malu, atau khawatir terjadi keributan. Pokoknya pasti ada alasannya. Jadi, udah saatnya kamu melepaskan semua. Kamu nggak bisa mengubah keadaan."

Uraian panjang lebar Kimi diucapkan dengan kalimat yang tertata dan hati-hati. Aku mendengar dan mencernanya dengan penuh perhatian. "Jadi, aku harus gimana?" tanyaku putus asa.

Kimi memegang kedua bahuku, memintaku menegakkan tubuh. Kami saling bertatapan.

"Lanjutkan hidupmu, jangan mengingat-ingat soal keluargamu lagi. Selama ini kamu menyimpan kemarahan terus, padahal ini udah berlalu lebih dua tahun. Kamu terus terjerat di masa lalu. Makanya kamu berubah, karena hatimu nggak mau ninggalin masa lalu. Sekarang, fokuslah sama dirimu sendiri. Sama kebahagiaanmu. Cari cowok yang bikin kamu hepi, itu kurasa pantas diprioritaskan."

Aku tertawa pahit mendengar kalimat terakhirnya. "Kim, kayaknya aku nggak akan bisa jatuh cinta lagi," kataku datar. Kimi tersenyum.

"Hush! Nggak ada yang mustahil, Lea. Kamu pasti akan ketemu sama orang yang bisa ngertiin kamu."

Aku tidak punya optimisme itu. Lagi pula, aku tidak merasa bahwa memiliki pasangan adalah hal yang penting. Suatu ketika, aku bertemu Marcus yang sudah berubah lebih matang dan makin menawan. Ketika itu aku sedang makan siang di restoran yang hanya berjarak kurang dari seratus meter dari kantor Medalion.

"Leala? Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini." Marcus mendatangi mejaku sebelum menarik kursi di depanku. Aku terpana. Bukan karena cowok itu kian memesona, melainkan karena kepercayaan dirinya yang begitu jelas. Dulu, mana berani Marcus mendatangiku saat duduk sendirian? Paling hebat, cowok itu mengangguk sopan saat kami berpapasan.

"Marcus, apa kabar?" Aku mengulurkan tangan, bersalaman dengan cowok itu. Marcus tampak rapi dengan kemeja hijau muda dan celana bahan berwarna hitam. Dia mengenakan dasi berwarna gelap.

Kami hanya mengobrol singkat karena Marcus harus kembali ke kantornya. Cowok itu kini bergabung dengan sebuah kantor pengacara yang cukup kondang di Bogor. Kami juga bertukar nomor ponsel.

Setelah itu, Marcus cukup intens menghubungiku. Sikap malu-malunya saat kuliah dulu, sudah tidak tersisa lagi. Entah apa yang membuat Marcus menjadi lebih percaya diri mendekatiku. Dulu, aku tidak pernah percaya jika cowok ini menyukaiku. Sekarang, sebaliknya. Karena Marcus tidak lagi jengah menunjukkan perhatiannya.

Aku berusaha memberinya kesempatan. Aku menyatakan kesediaan ketika cowok itu mengajakku menghabiskan waktu dalam banyak kesempatan. Tanpa kesulitan berarti aku menyadari bahwa Marcus adalah cowok dengan banyak kelebihan. Dia baik dan penuh perhatian. Namun, hatiku tawar.

Suatu ketika, Marcus mengajakku makan malam di sebuah restoran romantis yang sudah pasti banyak dipilih oleh pasangan. Sebelum pulang, cowok itu mengaku jika dia sudah jatuh cinta padaku sejak kami menjadi teman kuliah. Untuk pertama kalinya pula cowok itu menegaskan tentang taruhannya dengan Jordy di masa lalu.

"Kenapa baru sekarang kamu berani bilang jatuh cinta sama aku?" tanyaku dengan serius. Kutatap pupil matanya yang berwarna gelap dengan serius.

"Aku nggak pede, Lea. Aku selalu takut kamu tolak. Waktu aku berusaha mengumpulkan keberanian, tau-tau kamu udah digaet Khrisna."

Ingatanku serta-merta kembali ke masa lalu. Saat-saat yang kukira paling membahagiakan dalam hidupku, bersama Khrisna.

"Itulah masalahnya kalau selalu menunda-nunda. Peluang bagus bisa terlewat gitu aja," balasku dengan suara pelan. "Nggak seharusnya kamu menyerah sebelum berusaha. Apa pun alasannya," imbuhku.

"Aku tau itu. Dulu aku nggak bisa mikir kayak gitu. Tapi sekarang situasinya udah beda. Aku bukan lagi Marcus yang dulu. Aku siap sama segala risiko yang ada."

Dalam hati aku menyesali kepengecutannya di masa lalu. Andai dulu Marcus lebih berani, mungkin aku akan memilihnya dan tak pernah bersama Khrisna. Ya, siapa tahu? Jika itu yang terjadi, bisa saja masih tersisa sebagian Leala yang dulu, tak sepenuhnya sinis dan getir seperti sekarang.

Jawabanku pun sudah jelas, aku menolak Marcus tanpa berkedip. Aku tidak pernah memiliki perasaan khusus padanya. Namun mungkin dulu situasinya bisa berubah andai cowok ini lebih berusaha. Leala belia jauh lebih mudah untuk ditaklukkan. Di usia dewasaku, Marcus hanya serupa godaan indah yang tidak benar-benar kuinginkan.

"Aku udah nolak Marcus, Kim. Dia nggak cocok buatku. Nggak ada chemistry-nya."

Kimi memandangku. "Kamu yakin? Kenapa nggak ngasih kesempatan dulu sama Marcus untuk buktiin bahwa kamu salah?"

Aku menggeleng tegas. "Cuma buang-buang waktu. Aku nggak mau ngasih Marcus harapan palsu. Karena sejak awal aku udah tau gimana akhirnya kalau tetap maksain." Aku mencoba tersenyum.

"Lea...."

"Udah ah, nggak usah ngomongin soal cowok melulu," kataku dengan nada enggan dibantah. "Aku nggak pengin diribetin sama urusan laki-laki. Nanti-nanti aja."

Aku serius dengan kata-kataku. Saat ini aku cuma ingin menata hati dan hidupku. Dalam banyak hal, Kimi benar. Aku memang sudah seharusnya berubah. Aku tidak perlu lagi menyesali perceraian orangtuaku yang sudah lewat. Aku harus berhenti memelihara kebencian yang menakutkan dan mencengkeram hatiku selama ini. Atau menyalahkan Mama dan Papa untuk semua keruntuhan dalam hidupku sekaligus diam-diam menanggung beban dan merasa bersalah. Berpikir bahwa aku bisa memperbaiki semuanya andai berusaha lebih keras dari yang pernah kulakukan. Sudah saatnya aku menerima semuanya dengan lapang dada sebagai bagian dari proses kehidupan.

Berminggu-minggu berkutat dengan pemikiran itu, hatiku menjadi lebih ringan. Kini aku sudah lebih tahu apa yang ingin kulakukan. Aku harus mengikis lapis demi lapis kebencian yang sudah menghitamkan hatiku. Aku tidak mau lagi menjadi gadis sinis yang cuma bisa memikirkan hal-hal buruk belaka.

Aku juga mulai memikirkan rencana masa depan yang lebih masuk akal. Meski tidak langsung mengundurkan diri dari Medalion dan bekerja kantoran, misalnya. Namun aku sedang mempertimbangkan dengan serius untuk bekerja di bidang yang menarik minatku. Menjadi pengacara sudah pasti harus dicoret karena tak lagi membuatku bergairah. Membuka bisnis sendiri justru lebih menggiurkan.

Sumber dana? Pemberian Reiner yang selama ini kutabung jumlahnya cukup besar andai digunakan untuk memulai usaha. Belum lagi jika digabung dengan dana yang diberikan orangtuaku. Uang yang nyaris tidak kusentuh selama dua tahun ini. Ketika aku tidak sengaja mengecek jumlahnya, mataku nyaris melompat ke luar.

Lagu : Bring Me to Life (Evanescence)

Continue Reading

You'll Also Like

1M 48.1K 46
(BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Warning! Mengandung unsur kata kasar! Harap bijak dalam memilih bacaan! Suatu hal yang paling buruk bagi Atlantik...
10K 1.9K 23
Kebersamaan yang didamba Kenan ternyata tak bertahan lama. Karena urusan masing-masing, dia harus melepas satu per satu adiknya menjalani kehidupann...
622K 7.3K 28
Warning konten 21+ yang masih dibawah umur menjauh. Sebuah short story yang menceritakan gairah panas antara seorang magang dan seorang wakil rakyat...
271K 28.5K 23
Alya Pradipta, gadis keras kepala yang awam tentang urusan cinta. Kehidupannya seputar kampus dan dunia kerja, tidak ada bau-bau asmara. Hingga di s...