La Samba Primadona (Repost) |...

By IndahHanaco

391K 53.9K 2.9K

Ranking : #1 dari 15,1K Chicklit (12-13 Okt 2020) Catatan : ini adalah kisah nyata, ditulis dengan izin si p... More

Saujana Cinta [1]
Saujana Cinta [2]
Saujana Cinta [3]
Black Angel [1]
Black Angel [2]
Les Masques [1]
Les Masques [2]
Les Masques [3]
The Curse of Beauty [2]
The Curse of Beauty [3]
Fixing a Broken Heart [1]
Fixing a Broken Heart [2]
Run to You [1]
Run to You [2]
Run to You [3]
Everything for You [1]
Everything for You (2)
Everything for You (3)
Beautiful Temptation [1]
Beautiful Temptation [2]
Out of The Blue [1]
Out of The Blue [2]
Rainbow of You [1]
Rainbow of You [2]
Rainbow of You [3]
Cinta Sehangat Pagi [1]
Cinta Sehangat Pagi [2]
Cinta Sehangat Pagi [3]
Cinta Sehangat Pagi [4]
My Better Half [1]
My Better Half [2]
My Better Half [3]
My Better Half [4]
Cinta Tanpa Jeda [1]
Cinta Tanpa Jeda [2]
Cinta Tanpa Jeda [3]
Cinta Empat Sisi [1]
Cinta Empat Sisi [2]
Cinta Empat Sisi [3]
Cinta Empat Sisi [4]
Love Me Again [1]
Love Me Again [2]
Love Me Again [3]
Crazy Little Thing Called Love [1]
Crazy Little Thing Called Love [2]
Crazy Little Thing Called Love [3]
Crazy Little Thing Called Love [4]
Perfect Romance [1]

The Curse of Beauty [1]

8.1K 1.1K 24
By IndahHanaco

Akhirnya aku sadar, ada sesuatu yang berbau busuk di balik rencana perceraian kedua orangtuaku. Dengan insting dan naluriku yang belum sepenuhnya terasah, aku tahu ada perselingkuhan di sana. Mama yang mendadak genit di telepon, parfum yang diganti, hingga model rambut dan pakaian yang makin trendi.

Papa dan Mama tidak bisa dicegah. Aku dan kedua kakakku yang konon merupakan hal terpenting bagi mereka, menjadi semacam angin hampa yang bertiup tanpa guna sama sekali. Keduanya bersikukuh mengakhir jalinan rumah tangga puluhan tahun ini. Seakan senyawa di antara mereka selama ini tidak mempunyai makna.

Papa tetap membawa kopernya malam itu. Tidak pernah menoleh lagi ke belakang. Seakan semuanya sudah menjadi masa lalu yang harus atau sudah dilupakan. Aku masih menangis hingga menjelang pagi. Bantalku basah, kepalaku pusing dan berdenyut-denyut, mataku bengkak. Aku bahkan merasa sulit untuk menghirup udara bebas.

Mama? Diam dan dingin. Tidak membujuk atau berusaha menghapus kesedihanku. Mama memang bicara panjang lebar tentang "ketidakcocokan" di antara mereka. Namun bagiku itu lebih mirip pembelaan diri. Bahwa Mama sudah berusaha keras dan tidak berhasil. Bahwa Papa sulit untuk dimengerti dan tidak pernah hendak mengalah.

"Siapa laki-laki itu, Ma?" tanyaku akhirnya. Terlalu banyak alasan yang diajukan Mama hanya untuk menunjukkan bahwa Papa adalah orang yang berengsek. Lalu, mengapa mau menghabiskan waktu selama puluhan tahun untuk laki-laki seperti itu?

"Siapa?" Mama mendadak waspada.

Aku mendengus. Mataku terasa berkunang-kunang. "Orang yang selalu Mama telepon tiap kali Papa nggak ada di rumah? Yang dulu kukira Papa?" Sebagai respons, alis Mama naik dan hampir bertaut. "Jangan bilang kalau dia bukan siapa-siapa! Karena aku bukan orang bodoh. Aku dengar sendiri Mama manggil 'Sayang'."

Mama terpana dan kehilangan kata-kata entah berapa lama. Mungkin tidak pernah menyangka jika aku akan membuka topeng yang menempel di wajahnya. Mama selalu mengira jika aku hanyalah anak kecil yang lugu.

"Itu... hmm... teman Mama."

Ada keganjilan saat Mama mengucapkan kata "teman". Wajah Mama tampak berubah. Bukan pucat, melainkan merona. Memerah jambu.

"Siapa? Namanya?"

"Ah... belum saatnya. Nanti kamu juga akan tau," Mama memalingkan wajahnya, menghindari tatapanku.

"Dia akan... ngegantiin Papa?" Aku merasa tercekik saat menuntaskan kalimatku.

Tanpa terduga, Mama malah tertawa. Padahal air mataku masih meruah tanpa henti. "Apanya yang lucu, Ma?" tegurku tajam.

Mama menutup mulutnya. Tidak ada kesedihan di wajahnya. "Kamu yang lucu. Mengajukan pertanyaan kayak gitu. Urusan sama Papa aja belum beres. Mama belum mikir sejauh itu."

"Lalu, kenapa Mama selingkuh?" tanyaku terus terang. Kali ini, kilatan kejut memenuhi wajah Mama. Hilang sudah merah jambu itu. Dan aku lebih suka melihatnya begini.

"Mama nggak selingkuh. Siapa yang bilang gitu?" balas Mama dengan ketus.

"Bukan selingkuh, ya? Lalu kenapa Mama punya hubungan sama orang lain selain Papa? Karena itu kan, Mama dan Papa mau bercerai? Iya, kan Ma?" desakku tak kalah keras.

Mama menarik napas panjang. Kekusutan terpeta jelas di wajahnya. Beginilah seharusnya wajah orang yang ingin bercerai.

"Bukan Mama yang mulai. Mama nggak akan berkhianat selama Papa setia. Ah, udahlah! Kamu akan sulit untuk mengerti. Masalah Mama dan Papa itu sangat kompleks. Nggak sesederhana yang terlihat. Nggak mudah untuk diuraikan."

"Apa Mama udah nggak cinta Papa lagi?" tanyaku perih.

Mama mengelus rambutku. "Ini bukan hanya masalah cinta, Sayang. Juga ada masalah tentang menghargai orang lain, komitmen. Tentu Mama masih cinta sama Papa. Kami udah berbagi hidup puluhan tahun. Ada kalian di antara kami. Tapi ternyata itu semua belum cukup untuk mempertahankan hubungan kami," urai Mama.

Sejujurnya, aku tidak mengerti betul apa yang sedang terjadi dengan kedua orangtuaku. Mama hanya memberiku kalimat diplomatis yang tidak menjelaskan apa-apa. Aku berakhir dengan tangis perih di kamarku. Berhari-hari, kedua kakakku menelepon untuk menghiburku. Kami bicara bergantian selama berjam-jam. Hasilnya tetap saja tidak membuat suasana hatiku membaik.

Aku tinggal bersama Mama, meski hatiku tidak ingin. Jika menurutkan perasaan, aku lebih suka menetap bersama salah satu kakakku. Apa artinya berada di rumah yang besar jika penghuninya hanya aku, Mama, dan Mbak Gina?

Papa sudah tidak ada di antara kami. Proses perceraian mereka sedang berlangsung. Dan sepertinya tidak akan butuh waktu lama untuk menunggu ketok palu dari hakim. Papa dan Mama sudah menyepakati banyak hal di luar pengadilan.

"Kamu punya masalah apa? Jangan bilang kalau sekarang kamu masih patah hati gara-gara Krishna!" tukas Kimi tak suka. Kami sedang duduk berdua menunggu kuliah yang akan dimulai seperempat jam lagi. Di dekat tempat parkir ada taman yang teduh dengan sejumlah bangku beton. Saat ini suasana taman agak sepi.

"Lea, kamu kenapa?" kata-kata Kimi memutus pikiranku yang melayang-layang tak karuan.

"Aku?" tanyaku heran.

Kimi menggeleng. Matanya tampak lelah karena baru pulang kerja lewat tengah malam. "Iya, kamu! Ada apa sih, sebenarnya? Apa yang sedang kamu tutupi dariku?" tembaknya.

Aku menengadah, menatap langit biru di kejauhan. Napasku terhela dengan berat. "Papa dan Mama mau bercerai..." suaraku nyaris tidak terdengar..

"Ber... cerai..." suaranya menggantung di udara. Kimi seperti terhipnotis.

"Iya. Mereka bercerai dengan alasan klise. Ketidakcocokan atau apalah..." aku tertawa sumbang. "Dan parahnya lagi, nggak ada yang bisa kulakukan," keluhku. Kimi memegang bahuku dengan gerakan lembut.

"Bukan salahmu."

"Apa?"

"Mereka bercerai. Itu keputusan mama dan papamu. Kamu nggak ada hubungannya sama masalah mereka. Kamu nggak boleh menyalahkan diri sendiri."

Aku membuang napas. "Aku harusnya bisa mencegah Mama dan Papa supaya nggak sampai bercerai," kataku keras kepala.

Kimi mengguncang bahuku. Seakan ingin mengembalikan kesadaran dan akal sehatku pada tempat yang seharusnya. Aku menatap sahabatku dengan malas. Aku tidak ingin mendengar kalimat penghiburan atau semacamnya. Bagiku, semua terdengar seperti omong kosong.

"Papa dan mamamu itu orang dewasa yang bisa mutusin sendiri apa yang mereka mau. Kamu kira mereka bisa bertahan hanya demi kamu? Cinta itu bisa kejam banget, Lea! Orang bisa mengabaikan segalanya demi mendapatkan atau melepaskan cinta."

Aku tahu Kimi benar. Hanya saja saat ini aku tidak bisa berpikir jernih.

"Berminggu-minggu ini kamu kelihatan berantakan gara-gara ini?" selidik Kimi.

"Ya," akuku pelan.

"Dan kamu merasa gagal jadi superhero yang bisa mengatasi semuanya sendiri? Nggak mau berbagi sama aku, sok main rahasia. Sampai aku curiga kalau ini semua gara-gara Krishna."

"Aku... entahlah. Aku kacau dan nggak bisa mikir. Soal Krishna, aku malah udah lupa. Nggak penting banget."

Kimi mengecek arloji dan bangkit dengan tergesa. "Udah waktunya masuk kelas. Ayo!"

Kimi menarik tanganku, turut membereskan tasku yang tergeletak begitu saja. "Pulang kuliah kita jalan, yuk! Kayaknya udah lama banget kita nggak pernah nonton atau makan berdua. Hari ini, kita harus bersenang-senang," katanya dengan nada suara bergairah.

Aku menggeleng. "Lagian kamu kan harus kerja," tolakku halus. Aku tidak ingin melakukan hal-hal yang ditawarkan Kimi. Aku tidak ingin melakukan apa pun sebenarnya.

"Kamu nggak ingat kalau aku libur sampai lusa? Pokoknya, kita akan bersenang-senang hari ini. Titik!"

Aku tidak tahu apa yang diterangkan oleh dosenku. Mataku memang menatap ke depan, tapi kepalaku kosong melompong. Itulah yang terjadi sekitar satu bulanan ini. Aku seperti tersesat di dunia yang ramai.

Meski menolak sebisaku, Kimi tetap memaksaku untuk ikut dengannya. Kali ini, Kimi dijemput seorang lelaki dewasa yang menawan. "Dia... Ravel," bisiknya sambil menggandeng lenganku.

Aku menelan ludah. Kilasan pengakuan Kimi berkelebat di kepalaku. Lelaki itu kutaksir berumur akhir duapuluhan. Dia menyalamiku dengan gerakan mantap sambil menyebut namanya. Tubuhnya atletis meski tidak terlalu tinggi. Matanya berwarna cokelat jernih yang kuyakin karena efek soft lens. Senyumnya menawan, sikapnya ramah. Rambutnya tebal berwarna hitam, rahangnya tegas. Serasi dengan Kimi. Kendaraannya pun sangat keren, sebuah BMW model mutakhir.

"Kita nggak mungkin nonton bertiga, kan?" aku membisiki sahabatku. Kimi tertawa geli.

"Ya nggaklah. Dia cuma nganterin kita aja. Tapi aku mau mampir ke butik dulu, ya? Ada baju yang mau kuambil." Kimi mengedipkan matanya dengan jenaka.

Aku mengangguk. Kimi pasti tidak tahu tusukan yang mengganggu dadaku karena kalimatnya. Kimi memang sudah berubah. Dia sekarang berbelanja di butik!

Aku juga menyaksikan kemesraan Kimi dan kekasihnya. Kini, apa yang kulihat benar-benar menunjukkan Kimi versi terkini, berbeda dengan sahabat yang kukenal sejak bertahun silam. Kimi menggandengku memasuki sebuah butik eksklusif yang berada di kawasan Sentul.

"Kamu belanja di sini? Kapan kamu mau beliin aku?" gurauku.

Kimi menoleh dan tersenyum lembut. "Baru kali ini, kok. Ravel mau ngajak aku ke Italia, dia ada urusan bisnis. Dia minta aku nyiapin gaun yang istimewa. Aku udah pesan sejak dua minggu lalu. Hari ini tinggal diambil aja." Gadis itu berbicara dengan suara rendah. "Pertama kali datang ke sini, aku kayak orang kesasar, Lea. Norak banget pokoknya." Kimi tertawa geli. Aku menyembunyikan kekagetan karena berita itu.

"Italia, ya? Ckckckck.... aku boleh ikut?"

Kimi menatapku sungguh-sungguh. "Hei, kenapa nggak terpikir, ya? Tentu aja kamu boleh ikut! Kita bersenang-senang di sana, biar kamu lupa sama semua kejadian di sini," katanya bersemangat.

Aku menggeleng buru-buru. "Gila! Kamu kan pergi sama Ravel. Aku nggak mau jadi kambing congek."

Kimi tertawa lagi. Matanya sempat memandang Ravel yang sedang bertransaksi dengan salah satu pekerja di butik. "Nggak apa-apa, kok! Ini pengalaman pertamaku ke luar negeri. Pengalaman pertama naik pesawat. Duh, aku nggak mau bertingkah norak. Kamu ikut, ya?" bujuknya.

Aku meninju bahu sahabatku. Melihat keceriaannya, bebanku sedikit terangkat. "Nanti aja, kita pergi berdua," kataku.

Butik itu memang mewah, bahkan bangunannya sudah cukup mencolok. Aku bahkan merasa takut untuk berada di sana. Seakan-akan ada sesuatu yang mengancam. Aku merasa tidak aman. Keglamoran yang seperti ini tidak cocok untukku. Entahlah, meski berasal dari keluarga yang berkecukupan, aku dan kedua saudaraku tidak bergelimang kemewahan.

Sejak kecil, Papa dan terutama Mama, mengajari untuk membeli sesuatu yang memang dibutuhkan, bukan diinginkan. Aku dan kakak-kakakku tidak pernah membawa mobil ke sekolah atau kampus, terbiasa menyamankan diri dengan angkutan umum. Mobil hanya digunakan oleh Mama dan Papa untuk bekerja dan beraktivitas.

Kimi masih menggenggam tanganku ketika mataku menangkap pemandangan yang membuatku berdiri dengan tubuh membeku. Satu kejutan lagi yang mencuri napas dan mungkin setengah umurku.

Di sana, di salah satu sudut butik mewah ini, aku melihat seseorang berdiri sambil merangkul gadis cantik yang sedang melihat-lihat deretan gaun yang dipajang. Orang itu, papaku. Dan gadis itu, sepertinya tidak lebih tua dariku!

Lagu : Hurt (Lady Antebellum)

Continue Reading

You'll Also Like

271K 28.5K 23
Alya Pradipta, gadis keras kepala yang awam tentang urusan cinta. Kehidupannya seputar kampus dan dunia kerja, tidak ada bau-bau asmara. Hingga di s...
207K 9.5K 8
Dulu Daya berpikir, mencintai Boy berarti menuruti semua kehendaknya dan menjauhi apa yang dilarangnya. Namun, seiring waktu, Daya menyadari bahwa Bo...
2.3M 183K 47
Maia Herra, Food blogger terkenal, terpaksa harus mengikuti keinginan Papinya untuk bekerja di Restoran terkenal milik teman ayahnya, Head Chef yang...
621K 7.3K 28
Warning konten 21+ yang masih dibawah umur menjauh. Sebuah short story yang menceritakan gairah panas antara seorang magang dan seorang wakil rakyat...