Why Don't We? [alternative ve...

By protagonistark

2.5K 128 170

Devonna Lawrance, perempuan cerdas yang sangat-sangat malas untuk bersekolah, dipaksa ayahnya untuk memasuki... More

Halo semua kembali lagi
Babak Satu: Devonna Irvine Lawrance dan Kemalangannya
Babak Dua: Nama dia Joey Alexander
Babak Dua: Devonna dan Joey
Babak Dua: Pekerjaan Pertama
Babak Dua: Hampir saja
Babak Dua: Kau Berhak Dicintai
Babak Dua: Rasa Sakit
Babak Dua: Lagi
Babak Dua: Dua Dunia Berbeda
Babak Dua: Sakit
Babak Dua: Pintu masuk ke masa lalu
Babak Dua: Tak Terduga
Babak Dua: Amarah
Babak Dua: Sebuah Permintaan
Babak Dua: Freedy dan permohonannya
Babak Dua: Langkah mundur yang berarti banyak
Babak Dua: Kamping
Babak Dua: Joey Alexander dan Devonna Lawrance
Babak Dua: Permintaan Maaf
Babak Dua: Prasangka
Babak Dua: Perasaan
Babak Dua: Perlombaan.
Babak Dua: Semua orang takut akan hal yang tak mereka tahu.
Babak Dua: Sebuah undangan
Babak Dua: Jamuan Makan Malam
Babak Dua: Mimpi buruk yang menyelinap kembali
Babak Dua: Perjanjian
Babak Dua: Menjauh untuk mendekatkan suatu hal
Babak Dua: Montana
Babak Dua: Motel
Babak Dua: Put A Little Love On Devonna. (1)
Babak Dua: Put A Little Love On Devonna (2)
Babak Dua: Kembali
Babak Dua: Khawatir
Babak Dua: Tak terduga
Babak Dua: Apa yang kau lihat?
Babak Dua: Guardian Shoes
Babak Dua: Keluarga baru
Babak Dua: Bond
Babak Dua: Bertambah
Babak Dua: Sebuah rencana
Babak Dua: Bantuan
Babak Dua: Untuk terakhir kalinya
Babak Dua: Sebuah Kunjungan
Babak Dua: Kabar di tengah malam
Babak Dua: Pada akhirnya
Babak Tiga: For better, {not} for worse

Babak Dua: Rahasia yang terkuak

41 3 1
By protagonistark

Aku mengetuk pintu rumah, sebelum ketukan ketiga, ayahku sudah membukakan pintu untukku. Matanya sangat merah, wajahnya terlihat begitu panik dan penuh dengan kebingungan. Aku mengeritkan dahiku sambil menatapnya.

"Ayah, ada apa?" tanyaku.

"Syukurlah kau datang." jelas ayahku dan dia mengajakku unutk masuk ke dalam. Ayah menutup pintu. Aku berdiri di tempatku sekarang sembari melihatnya. Dia kini menatapku dan memegang kedua tangaku. "Devonna, ayah ingin meminta tolong padamu—"

Aku menghembuskan nafas lega sembari menelan air ludahku. Ayahku belum mengetahui apa yang terjadi padaku ternyata. "Apa yang bisa aku bantu?" tanyaku.

"Spance... . Ayah tidak tahu harus berbuat apa lagi." ucap dia dengan nada menyerah. "Spance mengunci kamarnya setelah dirinya tak sengaja mendengar kami membicarakan tentang donor jantung ini. Dia sudah tidak keluar dari tadi dan ini sudah saatnya dia harus meminum obatnya." ucap ayaku dan dia menggenggam tangaku lebih erat lagi. Ayah mendekatkan sedikit tubuhnya kepadaku, aku bisa melihat matanya seakan memohon kepadaku. "Devonna, kau sudah melewati masa seperti ini dan ayah berpikir bahwa kau bisa membujuknya untuk membuka pintu kamarnya." lirihnya

Aku terdiam sambil menatapnya, "Ayah ingin aku memberi tahu tentang penyakitku kepada Spance?" tanyaku dengan nada lirih.

"No... tolong kami untuk membujuknya keluar saja dan meminum obatnya." jelas ayahku.

Aku menarik nafasku. "Baiklah, di mana kamar Spance?"

Ayahku tersenyum dengan bangga, dia kemudian mengarahkanku kepada kamar Spance. Di sana sudah ada Justine yang memegang nampan berisi makanan dan obat-obatan yang harus Spance minum. Justine terus membujuk Spance agar dia membukakan pintu untuknya.

"Mengapa kau membawa dia ke sini, Evenmore?" tanya suara seseorang yang tidak asing di telingaku.

Aku menoleh mengikuti suara itu. Di sana, berdiri seorang wanita tua dnegan pakian yang sederhana tetapi aku yakin harganya akan membuat mataku terbuka lebar setelah mendengarnya. Dia menatapku dengan tatapan jijik dan rendah. Nafasku terhenti untuk beberapa saat, itu nenekku, orang yang paling tidak merestui keberadaanku di muka bumi ini. Dia menyipitkan kedua matanya, melihatku yang berdiri tak berkutik di depannya. Ayahku langsung berdiri di sebelahku dan merangkul pundakku.

"Mother, dia di sini untuk membantu kita." jelas ayahku.

"Kau tak perlu bantuannya, kita bisa melakukan ini sendiri." jelas nenekku dengan nada kesal. "Dia hanya menambah suasana semakin penat saja." lanjutnya dan setelah itu ia pergi melalui diriku.

Aku menghembuskan nafasku, rasanya begitu menyakitkan mendengar dia mengatakan kalimat itu. Kebenciannya masih saja sama seperti terakhir kali kami bertemu bahkan mungkin akan semakin meningkat setiap harinya. Tapi, apa yang aku harapkan? kebencian dirinya kepadaku juga merupakan kesalahanku sendiri dan aku berhak menerima rasa benci darinya dan memakannya seperti makanan sehari-hariku.

"Kau tidak apa-apa, Devonna?" tanya ayahku.

"Ya... ." jawabku lirih. Aku berjalan mendekati Justine. "Let me help... ." pintaku dan Justine sedikit menyingkir dari depan pintu.

Aku menarik nafas panjang dan memejamkan mataku. Tanganku terangkat ke atas, bersiap untuk mengetuk permukaan pintu yang terkunci rapat di depanku. Aku menghembuskan nafas perlahan dari mulutku dan bersamaan dengan itu aku membuka kedua mataku. Aku mendaratkan ketukan pelan di permukaan pintu beberapa kali, sebelum memanggil nama Spance.

"Spance, bisa kau buka pintunya???" tanyaku dan tak ada jawaban apapun dari dalam sana. "Ini aku, Devonna."

"Mengapa kau di sini?!" tanya Spance dengan nada kesal—no, mungkin lebih tepat keputusasaan—dalam kalimatnya.

Aku mendengar nenekku mendengus sambil tertawa pelan. Aku menarik nafas panjang. "Karena ini rumahku???" jawabku perlahan. "Spance, bukalah sebentar. Aku ingin berbicara padamu."

"Apa yang ingin dibicarakan?! biarkan saja aku di sini, mengakhiri hidupku." seru Spance dan aku terdiam mendengarnya. Aku merasakans eperti mendengarkan diriku sendiri merengek. "Tidak ada orang yang mengerti dan biarkanbiarkan aku di sini, biarkan aku membusuk di sini!"

"Evenmore sudah ibu katakan padamu jika dia hanya menambah keadaan semakin parah." tukas nenekku.

Aku terdiam sesaat, keadaan di sekitarku seketika memudar. Aku dapat mendengar rasa sakit yang meronta-ronta dalam diriku dan bagaimana aku bisa merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan oleh Spance saat ini. Rasa kesepian ini merenggut diriku secara perlahan dari kesadaranku.

"Percayalah aku mengerti apa yang kau rasakan." jelasku dan aku merundukkan kepalaku. "Aku bahkan sangat yakin, hanya diriku yang dapat merasakan kebingunganmu sekarang. Kesepian begitu menyakitkan, terlebih ketika rasa putus asa mencakar tubuhmu tiada henti, menambah luka yang begitu dalam pada dirimu. Aku mengerti dan aku ingin kau membagi rasa sakit itu padaku, biarkan aku mendengar rasa sakitmu." lanjutku dan kami terdiam sesaat. Aku mengingat ketika aku berada di rumah sakit, bersama Joey. "Menceritakan tentang masalahmu kepadaku, tidak akan menambah beban hidupku yang sudah begitu berat untuk aku pikul."

Keadaan masih sama, hening dan tak bersuara sama sekali. Aku tak dapat mendengarkan apapun dari dalam kamar Spance hingga beberapa saat kemudian suara kunci kamar yang terbuka dengan diikuti pintu yang perlahan memperlihat keadaan kamar Spance yang begitu gelap. Aku menatap Justine yang berada di sebelahku.

"Biar aku membawa nampannya. Aku ingin kalian membiarkan diriku untuk bebricara sesaat dengannya. Berikan aku waktu." pintaku.

Justine mengangguk mengerti dan memberikan nampan itu kepadaku. Aku mendorong pintu kamar Spance menggunakan pinggulku dan kemudian menekan kembali saklar lampu hingga aku bisa melihat Spance yang sedang duduk di pinggir tempat tidur sembari membelakangi diriku. Aku menutup pintu dan berjalan perlahan mendekati tempat tidurnya. Aku menaruh nampan ini pada nakas kecil yang berada di samping tempat tidurnya dan kemudian duduk di pinggirannya, posisi kami kini saling membelakangi satu sama lain.

Aku menarik nafas panjang dan melihat keadaan sekitar kamarnya. "Aku yakin ayahku pernah menceritakan ini padamu, tentang kecelakaan yang aku alami bersama dengan ibuku ketika aku kecil, bagaimana semua orang menyalahkan aku dan bahkan diriku sendiri menyalahkan diriku. Aku juga sangat yakin betapa bencinya ayahku kepadaku dan aku tidak bisa menampik itu hingga detik ini. Rasa sakit yang aku deirta hanya bisa aku bawa sendiri dengan diriku, tetapi aku yakin aku bisa melewatinya walau dengan beberapa halang rintang." jelasku sembari menatap luka di pergelangan tanganku.

"Kau tak mengerti... ." jelasnya dengan menekan amarah di dalam dirinya. "Kau tidak mengerti bagaimana rasanya sekarat, bagaimana rasanya tidak mendapatkan harapan!" seru dia dengan kencang.

Aku memejamkan mataku. Benar, tidak ada yang akan mengerti rasa itu dan ketakutannya, tetapi kini aku bisa menerimanya. Aku bangkit dari pinggir kasur dan berjalan mendekatinya. Aku bertekuk lutut di hadapannya dan menatap matanya. "Ya... aku tak mengerti rasanya sekarat. Tetapi aku tentu mengerti rasanya hidup panjang."

Spance terdiam sambil menatapku dan kini dia mulai mengeluarkan air mata. "Aku ingin terus hidup, Devonna. Aku ingin kuliah, bermain bola, mewujudkan mimpiku, tetapi aku tahu itu hanya harapan semata, itu hanya angan-anganku saja. Aku sadar tidak akan ada orang asing yang dengan sukarela memberikan jantungnya kepadaku, kepada seseorang yang bukan siapa-siapanya."

Aku melihat ayahku yang kini membuka pintu dan menatapku serta Spance. Aku mengalihkan perhatianku kepada Spance kembali. "Dari mana kau tahu itu?" tanyaku dan Spance menatapku dengan bingung. "Kau tak perlu khawatir, Keluarga Lawrance selalu mendapatkan apa yang mereka inginkan... bagaimanapun caranya, kita pasti akan mendapatkannya. Jadi jangan putus harapan, tetaplah percaya akan kesembuhanmu."

Spance menarik nafas panjang dan menyeka air matanya dengan pergelangan tangannya. Aku tersenyum dan kemudian bangkit. Mengambil makanan dan obatnya, memberikannya kepada Spance. "Jangan pernah menyerah Spance, bahkan jika ada seseorang yang menyuruhmu untuk berhenti. Tetap lanjutkan perjalananmu dalam kehidupan ini."

Aku memilih untuk meninggalkan Spance sendiri. Aku menutup pintu kamarnya dan menatap ayahku yang tampak bangga dan berkaca-kaca itu. Dia memeluk tubuhku erat. "Terima kasih Devonna."

Aku tersenyum dan membalas pelukan hangat ayahku. "Itu tidak seberapa." jelasku dan kemudian melepas pelukan kami. "Baiklah, tugasku sepertinya sudah selesai. Aku harus kembali—"

"No... stay... ." ucap Justine yang mendatangi kami berdua, dia menggengam erat tanganku. "This is your home."

Aku menarik nafasku dan melihat nenekku yang juga sedang menatapku. Entah mengapa nyaliku menjadi kecil seperti sebuah balon yang mengempis dan terbang mengelilingi ruangan dengan disertai suara yang bodoh.

"Bagaimana jika kau menginap saja? Kau sudah selesai menjalani ujian akhir semester, bukan?" tanya Justine dengan lemah lembut. "Kami tidak keberatan, bagaimanapun ini adalah tempat tinggalmu—rumahmu." lanjutnya sembari merangkul tubuhku.

Aku menatap ayahku, dia tersenyum dengan anggukan pelan. Aku menarik nafas panjang, ini tawaran yang menggiurkan, aku tak sadar sudah berapa lama tak merasakan tidur di atas kasurku yang sangat nyaman itu, bagaimana aku merindukan suasana rumah ini. Tetapi seperti yang aku katakan sebelumnya, aku tak lagi merasakan bahwa ini ada rumahku sendiri, rumah di mana aku pernah tinggali bersama ayahku. Rumah ini terasa asing di atas permukaan kulitku—bahkan membuat bulu kudukku berdiri.

Dan terlebih, ada nenekku di sini...

"Ayo... ayah akan mengantarmu ke kamar." jelas Ayahku yang kini menarik tanganku agar mengikutinya.

Aku tak membantahnya dan langsung mengikutinya, berjalan bersama dirinya dan melewati nenekku yang berdiri dekat tiang pondasi di ruang tamu. Dia melihatku dengan tatapan mematikannya itu, entah mengapa... aku secara otomatis merundukkan kepalaku, seakan menahan malu atas kesalahan yang tak pernah aku lakukan—well, kecuali merenggut ibuku dari dirinya dan ayahku. Kini, aku dan ayahku sudah berada di kamarku. Dia melepaskan genggaman tangannya, aku berdiri di tengah ruangan sambil menatap sekitar kamarku yang suram ini.

"Ayah."panggilku dan dia segera melihatku. "Jujur saja, aku merasa sangat tidak di terima di sini—terlebih seluruh pakaianku ada di dorm." lanjutku.

Ayahku menghembuskan nafas panjang dan berjalan mendekati diriku. Dia menyentuh pundakku dan melihatnya. "Kau tak perlu takut—" jawabnya dan kemudian dia menatap langsung ke mataku. "—biar ayah yang mengurus semua ini dengan nenekmu dan masalah pakaianmu, kau tenang saja. Kini kau lebih baik beristirahat." Lanjut ayahku dan kemudian dia melihat seluruh ruangan kamarku. "Ini waktu yang berat bagi kami, Devonna."

Aku terdiam sebentar sambil menatap wajahnya. Otakku berbisik di dalam benakku bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya, tentang kondisiku, tentang kanker di tubuhku. Aku tidak mengerti mengapa akalku sangat menentang pilihan yang sudah aku buat juga dengan akalku. Rasanya seperti ada dua kepribadian yang hidup pada satu tubuh lemah ini.

Tapi melihat dirinya lagi, aku menjadi teringat dengan apa yang dikatakan oleh Joey saat kami berada di pinggir danau, menghabiskan waktu berdua di sana. Ucapannya kembali terulang seperti sebuah piringan kaset hitam rusak yang terus memutar bagian lagu yang sama dan tidak ada orang yang dapat memperbaiki atau menggantinya. Aku mencoba untuk berbincang dengan batinku, mengajaknya duduk bersama sambil meminum teh imajinasi yang hangat. Mendengar batinku berkata bahwa ucapan Joey adalah kebenaran. Jika ayahku akan bersedih saat dia mengetahui ini di kemudian hari—ketika bahkan mulutku ini tak bisa mengatakan selama tinggal padanya.

Lalu batinku bertanya padaku akan pilihanku yang menyerahkan diriku kepada kematian di depan nanti.

Apakah itu sepadan?

Apakah ayahku akan benar-benar menerima kematianku seperti yang aku inginkan?

Apakah sebenarnya pikiran itu sangat egois?

"Ayah... ." lirihku memanggilnya kembali. "Boleh aku bertanya sesuatu padamu?"

"Tentu." Balasnya dan kemudian dia mengajakku untuk duduk bersamanya di pinggir kasur. "Apa yang ingin kau tanya?"

"Ayah, apakah pernah terlintas di benakmu bahwa aku tak akan selamat melalui semuanya ketika aku kecil?" tanyaku sambil menatapnya dengan serius. "Jika memang itu pernah terlintas dibenakmu, apa kau akan sedih karena kehilanganku?"

"Mengapa kau bertanya seperti itu?" tanya ayahku dengan nada sedih.

"Aku hanya ingin tahu saja." Jelasku.

"Setiap orang tua pasti sangat takut kehilangan anaknya dan itu yang ayah takuti selama kau kecil. Memikirkan apa yang terjadi jika kau tak dapat bertahan karena kau hanyalah yang ayah miliki. Ayah selalu bertanya setiap hari apakah ayah siap untuk hari itu jika memang datang dan ayah tak pernah memiliki jawaban yang tepat. Tapi yang ayah tahu pasti itu akan sangat berat dan menyakitkan." Jawabnya.

Aku memegang tangannya dengan lembut. "Lalu apa yang ingin kau katakan kepadaku jika seandainya, saat itu adalah hari terakhir kau melihatku?"

Ayahku melihatku dengan penuh pertanyaan, mungkin dia ingin tahu apa yang aku maksud akan semua ini. Tetapi jujur saja aku juga tak mengetahuinya. Dia menarik nafas panjang dan mengeritkan dahinya.

"Tidak ada, karena ayah ingin kau tetap bersama ayah." lanjutnya dengan menatap kedua mataku.

Mendengar itu membuat hatiku seperti tersayat menjadi dua. Perih dan sakitnya terasa begitu nyata di dalam diriku. Aku menggenggam tangannya lebih erat lagi. "Ayah... entah kenapa aku belakangan ini sangat takut dan bingung. Tetapi, setiap hari aku selalu mengatakan bahwa jalan yang aku ambil tepat untukku. Karena aku sedikit sadar bahwa tujuanku adalah memastikan kau bahagia."

"Kebahagiaan ayah tidak akan berarti tanpa dirimu dan ayah sangat senang kau menjadi bagian dari kebahagiaan itu." balas ayahku dan dia memegang kedua pundakku. "Devonna, kau adalah hadiah terbesar yang orang tua di muka bumi ini inginkan. Kau menjawab seluruh doa ayah dan ibu, serta kau melengkapi kami berdua—bahkan keluarga ini. Memang nenekmu masih menyimpan perasaan itu padamu, tetapi jika tidak ada dirimu di keluarga ini... kami tidak akan lengkap. Jadi... jangan segan untuk berpikir bahwa kau bagian dari keluarga besar ini. Kau anak ayah dan cinta mati ayah." 

Ayah langsung memeluk tubuhku. Aku memejamkan mataku dan merasakan kehangatan tubuhnya yang menyelimuti seluruh tubuhku dengan cepat. Setelah beberapa saat, pelukan itu berakhir. Aku mengambil ponselku dan teringat dengan lelaki yang akan membantu kami mencari donor jantung bagi Spance. "Ayah... aku mendapatkan kontak seseorang dari temanku. Orang ini sudah banyak menolong keluarga seperti kita yang sedang kesulitan dalam mendapatkan donor organ. Kau tenang saja, ini bukan sesuatu yang melanggar hukum. Aku sudah menghubungi orang itu dan aku memberikan data-data Spance kepadanya. Jika dia menemukan sesuatu, dia akan segera memberi tahuku, tetapi menurutku... kau yang lebih pantas mengetahuinya. So... aku akan memberi tahu dia untuk menghubungimu."

"Devonna, kau tidak sadar bagaimana ini berharga untuk kita semua. Terima kasih sayang, terima kasih." jelas ayah dan kembali memelukku, kali ini dengan perasaan begitu bahagia.

—oOo—

Jadi hari ini aku menginap di rumahku, ayah sudah mengambil seluruh pakaianku dari dorm. Dia juga mengatakan bahwa nenek tidak keberatan dengan keberadaanku jika ayahku memang mengizinkan diriku untuk menginap di sini. Aku kini berada di tempat tidurku, merebahkan diriku dan melihat ke langit-langit kamarku. Aku terdiam sesaat tanpa memikirkan sesuatu, hanya termenung saja dengan pikiran kosong. Kemudian aku menatap ponselku yang mana dengan tiba-tiba menyala dengan terang. Aku menggapainya dengan tanganku, terlalu malas untuk menggerakan sisa tubuhku yang lain. Aku menatap layar ponselku, hanya pemberitahuan bodoh dari e-mail yang tak penting.

"Hey, Dev... ." suara Keen dari pintu kamarku dan dengan cepat aku menoleh. Keen berjalan masuk, membawa satu buku di tangannya. "Kau tak keberatan untuk membantuku mengerjakan ini?" lanjut Keen sembari mengangkat buku yang ia bawa.

Aku mengangkat salah satu alisku, sepertinya Tuhan tidak menyukai aku bermalas-malasan di atas tempat tidurku. Aku merubah posisiku menjadi duduk di atas tempat tidur dengan kedua kaki yang menyilang.

"Kau adu lomba cerdas cermat denganku dan kau meminta bantuanku?" tanyaku dengan nada curiga. "Aku pikir kepintaran kita ini setara." lanjutku dengan nada mengejek.

Keen duduk di sebelahku. "Di antara kita berdua, hanya kau yang menghitung bilangan aljabar dan trigonometri tanpa menggunakan pensil dan kertas—so... yeah... kita berbeda." balasnya dengan terkikih.

Keen membuka bukunya, dia menunjukkan satu soal yang masih belum terjamah sama sekali dengan tinta hitam dari pulpennya. Aku mencoba untuk membaca soal itu dan mengerti maksud serta tujuannya.

"Aku dengar tadi kau membujuk Spance untuk meminum obatnya setelah dia berusaha untuk mogok minum obat." ucap Keen lalu dia terkikih. "Terima kasih banyak, Dev."

"Aku hanya melakukan hal yang harus aku lakukan." balasku dan kemudian aku mengambil pulpen yang tersangkut di cover buku itu.

Keadaan menjadi sunyi, hanya ada suara pulpen yang menggoreskan tinta di atas buku tulis milik Keen. 

"Ini kamar yang bagus." puji Keen dan aku melihat dia sedang berdiri sambil berputar pelan melihat sekeliling kamarku. "Awalnya aku ingin menempati kamar ini, tetapi ayahmu melarangnya. Dia bilang ini kamar milikmu."

Ayah pasti melakukan itu karena tidak ingin mereka tahu tentang penyakit dan masa laluku. Seingatku, masih banyak sekali benda-benda medis peninggalan ketika aku sakit dan setelahnya. Bahkan aku begitu yakin, bahwa masih ada lusinan botol obat kemoterapi, selang kanula dan kateter bekas yang bersembunyi dengan nyaman di kamar ini. Menunggu seseorang menemukan mereka kembali setelah tahunan lamanya.

Aku menarik nafas panjang. "Aku bahkan tak pernah membiarkan ayah untuk memasuki kamar ini tanpa seizinku." jelasku dan kemudian terkikih. "Pernah sekali ia masuk dan akhirnya aura rumah ini terasa seperti neraka yang mendidih." Lanjutku dan kembali menulis.

"Kalian sepertinya sering bertengkar satu sama lain." jelas Keen sembari memperhatikan diriku. "Nenekmu dan ayahmu menceritakan itu kepada kami. Kenpa kalian sering bertengkar?"

Aku mendengus dan terkikih, dari nada bicaranya aku sangat yakin juga ayah belum memberi tahu Keen dan keluarga barunya ini bahwa keluarga Lawrance pernah membuangku dan membiarkan aku berada di tangan keluarga lain untuk beberapa tahun yang kemudian menjadikan aku seperti bola voli, memukulnya dari bagian satu ke bagian lainnya, dari satu orang ke orang lainnya.

"Kami sering berbeda pendapat dan bahkan hingga sekarang. Ayah merupakan orang yang keras kepala dan begitu juga dengan aku, jadi kau kebayang bagaimana suasana pertengkaran kami jika memang sudah berbeda pendapat."  jelasku sambil mengangguk pelan.

Keen mengeritkan dahinya. "Terdengar seperti akhir dunia bagiku." jawab Keen dengan pelan. "Hei Devonna apa aku boleh keliling kamarmu?"

"Tentu, tapi tolong jangan menyentuh benda-benda lain tanpa seizinku." ucapku memperingatkan dia.

Keen mengangguk mengerti, dia mulai berjalan mengelilingi kamarku yang seperti wahan rumah hantu hanya saja versi broke-nya. Sesekali aku mencuri perhatian kepadanya, melihat dia memeriksa seluruh sudut kamarku seakan mencari harta karun tersembunyi. Dia kemudian berhenti di depan kotak penyimpanan album fotoku. Dia melihatku dan aku mengangguk sekali, memberikannya lampu hijau untuk membukanya.  Keen membuka kota penyimpanan berbahan rotan tersebut. Dia mengambil beberapa album foto dan segera duduk di atas lantai kayu. Tangannya membuka setiap halaman album foto dengan perlahan. Sesekali dia tersenyum atau terkikih pelan.

"Ini siapa?" tanya Keen sembari mengeritkan dahinya. "Aku tak pernah melihat dua orang ini sebelumnya." jelas Keen dengan dahi yang mengkerit.

"Coba, biar aku lihat." pintaku.

Keen mengarahkan halaman album tersebut kepadaku. Aku melihat sebuah foto di mana diriku yang culun dan terlihat kurus kering itu sedang berdiri dengan topi cone ulang tahun bersama dengan kedua orang tua angkatku yang memang sudah terlihat tua—karena kenyataannya mereka mengadopsiku karena rindu dengan suasana rumah yang ramai setelah anaknya wafat bunuh diri di kamarnya.

"Itu orang tua dari ibu kandungku." ucapku berbohong.

Keen tampak percaya dengan ucapanku. Kemudian dia membuka halaman lain lagi. "Mendiang ibumu begitu menawan, kau mewarisi beberapa bagian tubuhnya—tapi paling jelas dengan bentuk wajah dan matamu."

Aku terkikih pelan, "Terima kasih banyak." balasku dan kemudian aku menutup buku. Aku berjalan mendekati Keen dan duduk di sebelahnya.

Keen kembali membuka halaman lain. Kali ini foto-foto yang diambil ayahku ketika diriku kecil berada di kasur rumah sakit dan terbalut dengan perban serta banyak sekali kabel yang memenuhi dadaku—tetapi dari semua kengerian yang terlihat di foto itu, aku bisa memberikan pose terbaik versi anak kecil seumuranku. Jujur saja, aku sedikit takut jika Keen bertanya alasan aku di rawat di rumah sakit—tetapi semenjak dia tak bertanya itu, kesimpulanku adalah benaknya berpikir foto ini di ambil ketika pemulihanku pasca kecelakaan itu terjadi.

"Hei, aku sudah mengerjakan tugas sulitmu itu. Sekarang aku ingin bermalas-malasan sendiri di kamarku jika kau tak masalah." tukasku sembari menekan kalimat tugas dan sendiri

"Baiklah, terima kasih banyak. Aku akan membereskan ini terlebih dahulu." jelasnya.

Aku hanya tersenyum kemudian bangkit berdiri hendak berjalan menuju tempat tidurku kembali untuk lanjut bermalas-malasan.

"Devonna." panggil Keen dengan suara lirih. Aku menoleh melihat dia kini berdiri perlahan sembari memegang botol pill plastik berwarna kuning di tangannya. "Chemotherapy... Devonna Irvine—"

"—Lawrance." Lanjutku menyelak perkataannya. "Let me explain... ."

Continue Reading

You'll Also Like

799K 8K 7
Cerita abal-abal, banyak typo bertebaran. rada nggak nyambung jadi jangan di baca
45.7K 1.7K 18
WARNING! FOR 21+ !!!! Seorang pria muda yang memiliki wajah tampan yang mampu menarik hati wanita hanya dengan tatapan elangnya, yang merupakan pewar...
2.5M 65.4K 17
SINOPSIS WARNING, 21++ CHOCOLATE: Aku sungguh-sungguh tidak menyukai saat mata tajam pria itu menatapku lama. Hanya menatap, tidak berkata apa-apa at...
2.5M 7.7K 11
SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK PDF DAN PLAY STORE Eveline Stewart adalah seorang gadis berusia 16 tahun yang memiliki ibu pesakitan dan seorang adik lak...