Why Don't We? [alternative ve...

By protagonistark

2.5K 128 170

Devonna Lawrance, perempuan cerdas yang sangat-sangat malas untuk bersekolah, dipaksa ayahnya untuk memasuki... More

Halo semua kembali lagi
Babak Satu: Devonna Irvine Lawrance dan Kemalangannya
Babak Dua: Nama dia Joey Alexander
Babak Dua: Devonna dan Joey
Babak Dua: Pekerjaan Pertama
Babak Dua: Hampir saja
Babak Dua: Kau Berhak Dicintai
Babak Dua: Rasa Sakit
Babak Dua: Lagi
Babak Dua: Dua Dunia Berbeda
Babak Dua: Sakit
Babak Dua: Pintu masuk ke masa lalu
Babak Dua: Tak Terduga
Babak Dua: Amarah
Babak Dua: Sebuah Permintaan
Babak Dua: Freedy dan permohonannya
Babak Dua: Langkah mundur yang berarti banyak
Babak Dua: Kamping
Babak Dua: Joey Alexander dan Devonna Lawrance
Babak Dua: Permintaan Maaf
Babak Dua: Prasangka
Babak Dua: Perasaan
Babak Dua: Perlombaan.
Babak Dua: Semua orang takut akan hal yang tak mereka tahu.
Babak Dua: Sebuah undangan
Babak Dua: Jamuan Makan Malam
Babak Dua: Mimpi buruk yang menyelinap kembali
Babak Dua: Perjanjian
Babak Dua: Menjauh untuk mendekatkan suatu hal
Babak Dua: Montana
Babak Dua: Motel
Babak Dua: Put A Little Love On Devonna. (1)
Babak Dua: Put A Little Love On Devonna (2)
Babak Dua: Kembali
Babak Dua: Khawatir
Babak Dua: Tak terduga
Babak Dua: Apa yang kau lihat?
Babak Dua: Guardian Shoes
Babak Dua: Keluarga baru
Babak Dua: Bond
Babak Dua: Bertambah
Babak Dua: Sebuah rencana
Babak Dua: Bantuan
Babak Dua: Rahasia yang terkuak
Babak Dua: Sebuah Kunjungan
Babak Dua: Kabar di tengah malam
Babak Dua: Pada akhirnya
Babak Tiga: For better, {not} for worse

Babak Dua: Untuk terakhir kalinya

29 3 2
By protagonistark

D E V O N N A   P O V

Dari dalam kamar mandi yang tak tertutup rapat di gedung gym ini, aku berdiri sambil membersihkan setiap darah yang keluar dari hidungku. Kemerahan yang memudar berlarian menuju lubang drainase bersama dengan air yang mengalir. Aku mengadahkan wajahku ke depan, kepada cermin yang terpaku di dinding dan segera memperlihatkan bagaimana sedihnya diriku sekarang. Dari balik sela pintu terlihat Joey yang sedang berdiri—menungguku—dan kemudian datang Olivia menghampirinya.

"Apa dia baik-baik saja?" tanya Olivia dan itu terdengar seperti bisikan di telingaku.

"Ya... dia hanya mimisan." Jawab Joey.

Olivia langsung menatapku, dari pantulan cerminan wajahnya, aku dapat melihat kekhawatiran dan kesedihan yang terukir di wajahnya. Mungkin itu belum semua, dia terlihat mengasihani diriku juga. Setelah lima menit menghabiskan waktuku di kamar mandi. Darah mulai berhenti. Aku mematikan keran air dan segera mengambil tissue pada dispenser yang terpasang di sisi kiri wastafel. Aku berjalan keluar dari kamar mandi dan menghampiri Joey serta Olivia yang masih berdiri bersama. Kekhawatiran yang terhias di wajahnya, menghilang dengan cepat, Olivia memunculkan senyuman hangat kini di wajahnya.

"Maaf membuat kalian khawatir, aku tidak bermaksud melakukannya." Jelasku dengan nada bersalah.

"Tidak masalah Devonna, you can't control it." jawab Olivia dengan senyuman. "Penampilanmu tadi begitu menawan, kau tidak ingin menjadi pengiring saat pesta nanti?"

Devonna terkikih pelan dan menggeleng kepalanya. "Ugh... itu adalah tawaran yang menarik, tetapi tidak terima kasih. Tetapi sungguh, aku sangat merasa terhormat kau menawarkannya padaku."

Olivia tertawa pelan dan dia kini memegang pundakku. "Bagaimana setelah jam pulang sekolah nanti kita makan sushi bersama?"

Aku menaikkan kedua alisku. "Aku tidak pernah bisa menolak sushi." Jawabku sembari terkikih. "Tetapi sepertinya uangku tidak cukup."

"Not problem... aku akan mentraktirmu." Tukas Olivia dan dia melihat Joey. "Kau juga Joey, ikutlah bersama kami."

Joey menggigit bibrinya dan mengangguk. "Sushi... aku tidak akan menolaknya."

—oOo—

Aku menarik bangku dari bawah meja dan segera duduk di atasnya, tak berselang lama dari itu, bell yang menandakan akhir dari istirahat berbunyi dengan keras. Anak-anak yang awalnya berada di depan koridor kelas atau berkumpul bersama teman-teman mereka di dalam kelas segera kembali ke tempat duduk mereka dengan cepatnya. Aku menoleh ke belakang, melihat Joey yang juga menatapku dengan tatapan "jangan lupa janjimu" , aku hanya tersenyum tipis dan kemudian kembali menghadap ke depan.

Guru pengawas datang, dia membantu dua kantung amplop coklat yang berisi penuh dengan kertas jawaban ataupun kertas soal. Dia menaruh kertas itu pada mejanya untuk beberapa saat selagi memberikan pengarahan untuk ujian terakhir ini. Dia member tahu peratura-peraturan klasik yang sama seperti yang diucapkan oleh pengawas kami terdahulu, tetapi aku yakin seluruh anak-anak pasti mempunyai cara untuk mendapatkan jawaban. Aku saja tidak mengerti mengapa secari kertas yang berisi jawabanku, tiba-tiba sudah mengitari kelas.

Guru itu mulai membagikan setiap kertas kepada kami, dia masih belum mengizinkan kami untuk mengerjakan soal. Aku mencoba mengintip sedikit soal yang tertulis di kertas ujian tersebut. Hari ini adalah fisika dan aku paling tidak suka dengan pelajaran ini, menurutku ini sangat membuat kepalaku penat. Aku yakin kalian sudah mendengar celotehan bagaimana aku membenci fisika dan aku tidak akan kaget jika setelah ini kalian muntah-muntah di toilet lalu mengatakan: Dasar Devonna, selalu saja mengatakan fisika membosankan dan lain-lainnya. Aku sangat muak mendengar itu. Hueekk.

"Baiklah, kalian boleh mengerjakannya."

Aku segera membali kertas ujianku, menatap dengan aneh setiap soal. Ini benar-benar kelewatan manusiawi. Aku coba melihat reaksi sekelasku, mereka tampak jijik dan sedetik kemudian hampir seluruhnya menatapku. Aku membuka mataku lebar dan langsung mengalihkan pandanganku. Ya itu adalah sebuah tatapan dengan penuh harapan Rasa kini pundakku sangat penuh dengan beban, aku tak bisa menolak teriakan minta tolong mereka, walaupun aku sebenarnya tidak menyukai ini sama sekali. Aku menarik nafas panjang dan mencoba untuk mengerjakan soal-soal di sana dengan semampuku.

Terkadang keinginaku untuk cepat meninggalkan dunia ini, selain rasa sakit karena rasa muakku kepada fisika.

Tapi itu bukan berarti aku merendahkan semua fisikawan, mereka luar biasa. Mungkin hanya aku saja yang masih terlalu bodoh.

Setelah sejam berlalu, aku sudah mengisi seluruh kertas jawabanku. Aku melihatnya sekilas dan tersenyum bangga bahwa aku bisa mengerjakan ini semua walaupun aku tak tahu pasti apakah aku menulis jawaban yang benar atau hanya melantur saja seperti pidata Noah Centineo di ajang penghargaan anak kecil kemarin.

"Dev... Dev... ." bisik suara seseorang di belakangku dan aku sudah sangat yakin itu Joey.

Aku menoleh dan melihat Joey kini melotot kepadaku, matanya terbuka lebar dan terlihat begitu menyeramkan—jujur saja. Dia mengetuk-ngetuk pensilnya di atas lembar jawabannya.

"Devonna, kamu kenapa melihat kebelakang?" tanya guru kami.

Aku menoleh ke depan, melihat guru kami yang kini menatapku dengan tajam. "Aku ingin meminjam penghapus." Jelasku dengan senyuman paksa.

"Tidak ada pinjam meminjam. Sekali lagi ada yang seperti ini, kertas kalian langsung berada di atas meja saya!" tegas guru itu.

Aku menaikkan kedua alisku, geez... slow down ma'am... .

Aku membetulkan posisi dudukku dan segera menatap kertas soalku. Aku mengisi soal tersebut dengan pensil mekanikku. Tentu, aku tidak menulis jawabanku dengan cara yang  sama tertera di lembar jawabanku. Aku tidak ingin memberikan resiko lagi pada diriku sendiri untuk dipanggil oleh kepala sekolah karena masalah sepele seperti plagiat seperti ini. Setelah kertas itu terisi penuh, aku menuliskan pesan kepada Joey agar dia juga membaginya dengan anak-anak murid yang lain. Aku kemudian menatap ke depan, melihat guruku tampak fokus dengan ponselnya dan sesekali dia tertawa. Aku menoleh ke belakang dan mengarahkan soalku kepada Joey.

Terima kasih kepada Tuhan karena menciptakan lengan Joey yang cukup panjang. Dia bisa menggapainya dengan mudah.

"Bu." Panggilku sembari mengangkat tanganku. "Aku sudah selesai." Jelasku.

"Well, cepat sekali... Nona Lawrance." Tukas guruku.

Aku bangkit berdiri dan segera berjalan mendekatinya. Ini adalah langkah bagiku untuk membuat pengalihan agar teman-temanku bisa sedikit merasa lega. "Ya... soalnya susah, tetapi aku pernah menghadapi yang lebih susah dari ini semua."

"Woah... kau percaya diri sekali, Devonna." Jelas guruku dan dia melihat jawabanku. Senyuman tergambar di wajahnya. "Ngomong-ngomong kemana kau akan melanjutkan kuliahmu?"

Aku mengeritkan dahiku.

Tetapi nyatanya, mendengar pertanyaan itu membuatku merasa sedih.

Aku tidak punya harapan...

Andai aku bisa menjawab itu kepadanya. Aku menarik nafas panjang dan tersenyum. "Aku belum memastikannya."

"Kau harus mulai memikirkannya Devonna. Aku tahu kau anak bermasalah, tetapi dengan kemampuan otakmu seperti ini, aku pikir kau tidak akan menjadi masalah pada nantinya. Kejarlah beasiswa seperti yang kau dapatkan sekarang, buat ayahmu bangga."

"Akan aku pikirkan itu, terima kasih banyak." Jawabku dan kemudian aku mengambil tasku.

Aku sempat menoleh sekilas dan melihat Joey yang begiotu sumringah dalam mengerjakan ujiannya. Aku tersenyum tipis sebelum melangkah keluar dari dalam kelas. Ketika berada di depan pintu kelasku, aku berdiri di depan koridor yang panjang dan sepi, tidak ada siapapun di sini. Terkadang hanya ada suara batuk seseorang dari dalam kelas dan menggema di sepanjang koridor. Aku berjalan keluar dari gedung sekolah, mengarahkan kakiku menuju taman belakang sekolah dan duduk di sana. Menatap danau yang besar tanpa kedatangan angsa putih seperti biasa.

"Hey... tidak baik melamun sendirian." ucap Joey sembari memegang pundakku. Aku menoleh ke arahnya, melihat dia tersenyum dan kemudian berjalan memutari kursi yang aku duduki. "Terima kasih atas bantuannya."

Aku tersenyum. "Sama-sama."

Joey duduk di sebelahku. "Kau tahu, aku tidak habis pikir jika kita masih musuhan... aku mungkin tidak selamat di dalam sana."

"It's not true... . Aku akan tetap menolongmu." jawabku sembari menaikkan salah satu alisku.

"Kau tahu, kau sangat berbeda dengan orang genius lainnya. Maksudku, jika kau adalah Jackson... kau tidak akan memintaku untuk memberi tahu murid yang lainnya." ucap Joey.

"Ah... aku merasa bersalah jika tak mengetakan ini." balasku dan kemudian melihat Joey. "Well... sebenarnya aku tak terlalu suka melakukan itu. Hanya saja aku mengerti bagaimana rasanya bingung akan sesuatu, sekaan kau terjebak dalam kegelapan tak tentu arah dan dan tidak ada seseorangpun yang dapat menolong, jadi ya... itu tidak masalah... I guess... ."

Setelah perkataan itu, kami terdiam dengan perasaan canggung. Muncul perasaan sedikit berasalah dari dalam diriku, seharusnya aku tak perlu mengatakan itu untuk membalas seusatu yang ringan. Aku merundukkan kepalaku dan berharap seseorang bisa memecah keheingan ini, pada akhirnya, doa dadakan ku terjawab dengan sempurna. Olivia datang bersama dengan Ryan. Aku dan lelaki itu tentu sama-sama terkejut ketika melihat satu sama lain, hanya saja aku mencoba untuk tetap telrihat tenang di depannya.

"Hai... ." sapa Ryan dengan nada sedikit canggung dan aku hanya membalasnya dengan senyuman saja.

"Baiklah, kita sudah berkumpul, bagaimana kalau kita segera jalan. Kalian bisa menunggu di sini selagi aku mengambil mobilku." ucap Olivia dengan nada bahagia.

"Uh... aku membawa motor, jadi sepertinya aku akan naik motor saja." Tukas Joey.

"Sepertinya aku ikut bersama Joey saja." jelasku dengan senyuman sambil melihat mereka berdua bersamaan.

Aku dapat merasakanbahwa sekarang Joey sedang menatapku dengan bingung, tetapi aku memilih untuk tidak memperdulikannya.

Olivia menatapku dan Joey dengan aneh. "Baiklah, aku akan mengirimkan alamatnya kepada Devonna. Sampai ketemu nanti, okay?"

Dia pergi bersama Ryan, ketika mereka sudah berada cukup jauh dari kami berdua, aku menghela nafas panjang.

"Kenapa kau selalu menghindar dari dia, Dev?" Tanya Joey.

"Karena itu adalah yang terbaik untuk kami berdua." Jelasku dan kemudian melihat Joey. "Ayo kita harus segera bergegas."

—oOo—

"Kau yakin Devonna, kita ke arah sini?" tanya Joey dengan volume sedikit kencang.

Aku melihat layar ponselku yang menampilkan gambaran maps dan kemudian menatap sekitar. "Sepertinya."

"What?!" tanya Joey dengan nada terkejut. Dia kemudian meminggirkan motornya. Dia sedikit memutar tubuhnya dan membuka kaca helmnya. "Coba biar aku lihat." pintanya dengan tangan mengarah kepadaku.

Aku mengarahkan ponselku kepadanya tanpa rasa sungkan. Dia melihat ponselku dengan teliti. "Aku tidak salah kan?"

Joey melihatku dengan kedua matanya yang menyipit. "Devonna, aku yakin jika aku membiarkan kau memegang peta ketika kita camp kemarin, kita akan benar-benar tersasar lebih jauh lagi." tukasnya dengan nada serius. "Kita seharusnya belok kanan di sana."

"Sorry." ucapku dengan lirih.

Joey memberikan kembali ponselku dan setelah itu ia berputar balik dan memacu motornya lebih kencang lagi. Aku menatap layar ponselku, kami benar-benar melaju dengan kencang, terlihat bagai mana pin point kami melaju sangat cepat hingga jarak kami kini menyentuh zero kilometre. Joey memarkirkan motornya, kami segera turun dan berjalan menghampiri Olivia serta Ryan yang sudah sampai terlebih dahulu dan menunggu kami di pintu masuk.

"Kalian lama sekali."

"Devonna mungkin pintar, tapi jelas dia tak sanggup membaca peta." jelas Joey dengan nada sedikit mengejek.

"Uh... it's kinda hurt." balasku sambil menyipitkan kedua mataku.

Olivia terkikih, "Ya sudah... ayo kita ke dalam."

Kami berjalan masuk ke dalam bersama. Di dalam suasananya begitu hangat dan terkesan ke keluargaan. Mayoritas yang memenuhi restoran sushi ini adalah pekerja kantoran atau anak kuliahan. Olivia mengambil posisi di sudut ruangan, dekat dengan pemandangan halaman belakang sebuah zen garden yang begtu indah dan menenagkan. Seorang pelayan wanita datang dengan pakaian khas jepalng dan juga dirinya tak terlalu fasih dalam berbahasa inggris.

"Uh... sashimi to tobiko o chūmon shimashita." ucapku dan melihat wajah pelayan itu dengan senyuman. Aku meudian menatap teman-temanku yang lain. "Kalian ingin pesan apa?"

"Kau bisa berbahasa jepang?" tanya Joey dengan nada tak percaya.

"Hanya sedikit. mengapa?" tanyaku dengan nada heran.

Joey menaikkan kedua alisnya, dia kemudian mengangkat buku menu dan menggeleng kepalanya pelan. "Uh... lord... ."

"Samakan saja pesanan kami dengan dia." jelas Olivia sambil melihat ke arah pelayan.

"Okay." balas pelayan perempuan itu dengan aksen japan yang kental.

Kami kembali memberikan buku menu itu kepada pelayan tersebut. Setelahnya kami menunggus embari berbicara satu sama lain. Aku mendapatkan banyak cerita tentang masa lalu Joey yang ternyata culun parah, bahkan aku sangat tidak yakin bahwa Joey di cerita itu adalah Joey yang sama seperti yang ada di sebelahku.

"Apa kau mempunyai cerita Devonna?" tanya Olivia kepadaku.

"Uh... mungkin aku bisa menceritakan bagaimana aku kabur ke California untuk mengikuti lomba e-sport. Hasilnya tidak mengecewakan." ucapku sembari mengingta kejadian tersebut. Setelah dipikir-pikir aku sangat rindu dengan e-sport. 

"Kau gila, Devonna." jelas Joey dan aku hanya tertawa. "Aku saja yang lelaki tidak sepertimu yang begitu nekad."

"Ya... semuanya aku lakukan untuk mengalihkan pikiranku dari segala hiruk pikuk di kepalaku." jelasku sambil mengangguk pelan.

Tak lama setelah itu pesanan kami datang, semuanya tampak menggiurkan dan aku tak sabar untuk merasakan daging salmon setelah sekian lamanya. Pelayan menata seluruh piring dengan rapih di atas meja, kemudian setelah kami segera menyantap makanan itu menggunakan sumpit. 

Aku mengambil salah satu sashimi dan juga tobiko dari atas piring datar dan memasukannya ke dalam mulutku. Rasanya begitu renyah dan nikmat, seperti terjadi perang dunia ketiga di dalam mulutku, hanya saja ini perang yang sungguh menakjubkan dan membawa kebahagiaan. Selama menyantap hidangan ini, kami tak lepas dalam berbincang satu sama lain. Olivia juga menambahkan pesanan sake ke dalam daftar kami. Mereka meminum sake tersebut dengan penuh suka cita dan aku hanya seperti anak di bawah umur yang hanya bisa mengira-ngira rasa sake itu ketika mengenai lidahkud an mengalir di kerongkonganku.

"Kau tidak mau, Dev?" tanya Joey sembari mengarahkan botol sake itu kepadaku.

"No... hal terakhir yang aku inginkan di hari ini adalah mabuk, jadi tidak terima kasih." balasku.

"Ya... seterah kau saja." jelas Joey yang kemudian dia kembali menuang sake itu ke dalam wadah kramik kecil berwarna putih dengan hiasan khas dari tinta berwarna biru tua.

"Agh... ." ucap Ryan sembari menopang tubuhnya ke belakang. "Aku begah sekali, aku ingin keluar sebentar." lanjut Ryan.

"Baiklah... ." balas Olivia yang kemudian mengobrol kembali dengan Joey.

Mataku melihat Ryan yang berjalan ke bagian belakang restaurant. Dia berdiri di sana sembari menatap taman zen. Aku mengalihkan pandanganku ke arah Joey dan Olivia, mereka tampak menikmati waktu bersama, bahkan aku sangat yakin mereka melupakan keberadaanku di sini. Terlebih jika aku terus di sini, rasanya seperti orang ketiga saja. Ya... memang mereka belum pacaran, tetapi di antara aku dan Olivia, bukan sebuah rahasia lagi bahwa dia menaruh hati kepada lelaki jangkung di sebelahku ini. Sikap tidak kepeduliannya itu hanya sebagai topeng agar Joey tak melihat wajahnya yang selalu memerah ketika berada di dekatnya. Aku menarik nafasku sebelum beranjak pergi menyusul Ryan di sana.

Ketika aku berjalan mendekati Ryan, suasana di sekitarku perlahan memudar. Pusat perhatianku hanya lelaki itu seorang. Dia masih berdiri menghadap taman di depannya. Ryan sepertinya tidak menyadari keberadaanku di sebelahnya.

"Hai Ryan." ucapku sambil melihat ke arahnya..

Ryan segera menoleh, aku dapat melihat mimik terkejut di wajahnya. "Devonna, kenapa kau ada di sini?" tanya dia sembari tersenyum.

Aku terkikih pelan lalu melihat ke belakang. "Mereka sedang berbicara dan aku tak ingin menjadi nyamuk bagi mereka."

Ryan ikut menoleh dan kemudian dia tertawa. "Mereka terlihat sangat menikmati pembicaraan mereka." ucapnya dan mengangguk pelan. "Aku tak pernah melihat mereka sedekat ini sebelumnya."

"Ya... itu mengapa aku di sini sekarang." balasku dan kemudian terdapat jeda di antara kami berdua. "Ryan, aku minta maaf karena selama ini berusaha menghindarimu. Terutama tadi, aku hanya berpikir bahwa itu yang terbaik, tetapi seseorang meyadarkanku dan setelah berpikir lebih dalam lagi ... ternyata apa yang aku lakukan sangat keanak-anakan."

Ryan tersenyum. "Tidak masalah Devonna, aku juga mengerti—maksudku... jika jadi dirimu aku juga menjauhi diriku sendiri yang telah menghancurkan kepercayaanmu padaku. Aku pantas mendapatkannya." balas Ryan dan kemudian dia menarik nafas panjang. "Jadi bagaimana keadaanmu?"

Aku tersenyum tipis. "Tidak semakin baik, tetapi aku senang bahwa aku masih dapat bertahan selama ini. Setiap waktu, mulai dari sekarang, aku harus selalu menysurkurinya." balasku.

Ryan kemudian menaruh tangannya yang hangat di atas tanganku. "Devonna, aku yakin semua orang di sini ingin kau sembuh—ingin kau mengambil pengobatan itu. Hanya saja, aku tak ingin seperti itu, maksudku... aku ingin kau sembuh—sungguh. Tetapi jika sembuh hanya membuatmu sakit dan tambah terluka, lebih baik kau tak mengambilnya. It's your choice, not them. Apapun pilihanmu ke depan, aku akan selalu bersamamu dan berdoa untukmu."

"Terima kasih banyak, Ryan." balasku dengan senyuman lebar.

Ryan menarik nafas panjang dan kemudian berdeham. "Ini adalah semester terakhir aku melihatmu." jelasnya dan aku menatapnya bingung. "Aku dan keluargaku akan pindah ke Inggris. Aayahku dipindahkan dinas ke sana jadi kami sekeluarga harus ikut dengannya."

"I'm happy for you and your dad too!" ucapku dengan antusias.

Ryan tersenyum. "Thank you." jelas Ryan dan kemudian dia menghadap ke arahku atau jelasnya kini kami saling berhadapan satu sama lain. "Devonna, terima kasih telah menjadikan aku sebagai bagian dari hidupmu. Aku sadar bahwa diriku bukanlah yang terbaik untukmu dan aku juga sangat senang bisa mengenalmu secara pribadi lewat hubungan kita. Kekutanamu, ceritamu, terus... jalankanlah."

Aku tersenyum dan kemudian memegang wajahnya. Mataku terpejam dan merasakan bibirnya mendarat di atas bibirku. Aku hampir lupa bagaimana rasa lembut bibirnya itu. Aku masih bisa merasakan sake yang melapisi bibirnya, tetapi aku tidak peduli dengan itu. Tangannya kini merangkul pinggangku. Dalam ciuman yang hangat ini, aku segera tersenyum tipis. Aku dapat merasakan bagaimana hatiku begitu tenang dan damai. Aku mengalungkan tanganku di lehernya, membiarkan dia untuk memiliki diriku dalam beberapa saat ini.

"Tidak aku sangka dapat melihat Dary berciuman lagi." suara Olivia dengan nada menggoda dan mengejek.

Aku dan Ryan saling melepaskan pautan bibir satu sama lain. Perlahan aku membuka mataku, menatap wajahnya yang kemerahan seperti kepiting rebus yang harum dan menggoda. Aku tertawa kecil dan meletakan kembali telapak tanganku di wajahnya. "Aku masih dapat merasakan sake di bibirmu."

"Oh... i'm sorry."  jelas Ryan yang kini mengelap bibirnya dengan pergelangan tangannya. "Thank you for the kiss."

Aku hanya tersenyum dan masih menatap ke dalam matanya. Aku rasa kini diriku tersesat di dalam sana. Getaran ponsel dalam saku celanaku menyadarkanku dari lamunan—dan aku sangat bersyukur dengan hal itu. Aku mengambil ponselku dan melihat bahwa ayahku menghubungiku. Aku mengeritkan dahiku sebelum menjawab panggilannya.

"Ada apa, ayah?"

"Devonna, tolong datanglah ke rumah."

"Mengapa? kau terdengar ketakutan???" balasku sembari mengeritkan dahiku.

"Tolong datang saja." jelas ayahku dengan nada kebingungan .

Dia mengakhiri panggilan kami. Aku menatap ponselku dan terdiam sesaat untuk memikirkan apa yang ayahku ingin bicarakan ketika kami di rumah nanti. Aku menarik nafas panjang dan memasukkan ponselku kembali ke dalam saku celanaku. Aku memutar tubuhku dan melihat ketiga temanku, Ryan sudah berada di bangkunya kembali.

"Hey... sepertinya aku harus balik. Ayahku meminta diriku untuk pulang ke rumah." jelasku.

"Cepat sekali, apa kau tidak ingin membungkus makanan untuk ayahmu?" tanya Olivia.

"No... dia memintaku untuk segera datang ke sana." balasku.

"Baiklah, aku akan mengantarmu." ucap Joey yang hendak bangkit.

"Tidak perlu, aku akan menggunakan bus. Aku tak ingin merepotkan kalian, terima kasih atas makanan ini dan Olivia, maaf aku hanya bisa memberimu ini." ucapku dan memberikan selembar uang seratus dolar padanya. "Tolong jangan menolaknya, aku merasa tidak enak. Kalau begitu aku pulang dulu. Sampai jumpa nanti."

Aku segera berjalan keluar dari restoran dengan cepat dan berlari kecil menuju halte bus bersama dengan beberapa penumpang lain yang menunggu. Ketika bus datang, kami segera masuk. Aku duduk di bangku bagian belakang barisan ke dua dekat dengan jendela. Aku mengepalkan tanganku. Rasa panik menyerangku, nafasku sedikit tidak beraturan tetapi aku mencoba untuk menanganinya. 

"Apa ayah tahu tentang penyakitku?" lirihku sembari menatap keluar.

Continue Reading

You'll Also Like

45.7K 1.7K 18
WARNING! FOR 21+ !!!! Seorang pria muda yang memiliki wajah tampan yang mampu menarik hati wanita hanya dengan tatapan elangnya, yang merupakan pewar...
1.2M 8.1K 7
Rosalicia harus hidup dengan pilu. Gadis yatim piatu tanpa keluarga dan saudara, penuh kesendirian hingga dia bertemu dengan Zeferino. Rosalicia awal...
503K 15.5K 42
KONTEN DEWASA !!! Sebelum 18+ DILARANG BACA. Tapi sebelum baca kuatkan tekad dan ini bukan untuk di CONTOH Aku dan kau menikmatinya, soal cinta ata...
2.5M 65.4K 17
SINOPSIS WARNING, 21++ CHOCOLATE: Aku sungguh-sungguh tidak menyukai saat mata tajam pria itu menatapku lama. Hanya menatap, tidak berkata apa-apa at...