Why Don't We? [alternative ve...

By protagonistark

2.5K 128 170

Devonna Lawrance, perempuan cerdas yang sangat-sangat malas untuk bersekolah, dipaksa ayahnya untuk memasuki... More

Halo semua kembali lagi
Babak Satu: Devonna Irvine Lawrance dan Kemalangannya
Babak Dua: Nama dia Joey Alexander
Babak Dua: Devonna dan Joey
Babak Dua: Pekerjaan Pertama
Babak Dua: Hampir saja
Babak Dua: Kau Berhak Dicintai
Babak Dua: Rasa Sakit
Babak Dua: Lagi
Babak Dua: Dua Dunia Berbeda
Babak Dua: Sakit
Babak Dua: Pintu masuk ke masa lalu
Babak Dua: Tak Terduga
Babak Dua: Amarah
Babak Dua: Sebuah Permintaan
Babak Dua: Freedy dan permohonannya
Babak Dua: Langkah mundur yang berarti banyak
Babak Dua: Kamping
Babak Dua: Joey Alexander dan Devonna Lawrance
Babak Dua: Permintaan Maaf
Babak Dua: Prasangka
Babak Dua: Perasaan
Babak Dua: Perlombaan.
Babak Dua: Semua orang takut akan hal yang tak mereka tahu.
Babak Dua: Sebuah undangan
Babak Dua: Jamuan Makan Malam
Babak Dua: Mimpi buruk yang menyelinap kembali
Babak Dua: Perjanjian
Babak Dua: Menjauh untuk mendekatkan suatu hal
Babak Dua: Montana
Babak Dua: Motel
Babak Dua: Put A Little Love On Devonna. (1)
Babak Dua: Put A Little Love On Devonna (2)
Babak Dua: Kembali
Babak Dua: Khawatir
Babak Dua: Tak terduga
Babak Dua: Apa yang kau lihat?
Babak Dua: Guardian Shoes
Babak Dua: Keluarga baru
Babak Dua: Bond
Babak Dua: Bertambah
Babak Dua: Bantuan
Babak Dua: Untuk terakhir kalinya
Babak Dua: Rahasia yang terkuak
Babak Dua: Sebuah Kunjungan
Babak Dua: Kabar di tengah malam
Babak Dua: Pada akhirnya
Babak Tiga: For better, {not} for worse

Babak Dua: Sebuah rencana

35 4 2
By protagonistark

Merasakan sentuhan lembut di atas telapak kakinya yang sensitif, jemari-jemarinya bergerak, sentuhan itu tentu merangsang kembali Devonna untuk kembali sadar dari tidur panjangnya. Devonna masih memejamkan matanya, dia masih merasa tubuhnya begitu ringan seperti dedaunan kuning yang berguguran di atas tanah dan menari ketika angin musim gugur meniupnya. Pendengarannya mulai kembali perlahan, awalnya semua suara terdengar seperti kau menyelam terlalu dalam di sebuah kolam renang dengan kedua kakikmu yang kau rangkul dengan erat menggunakan tanganmu, hingga pada akhirnya semua terdengar jelas walau hanya suara white noise yang dapat dia dengar karena kesunyian yang mengitarinya seolah dirinya merupakan api unggun yang menyala di malam sunyi ditengah upacara sakral sekte-sekte terkenal yang pernah kalian pelajari di buku sejarah kalian.

Sentuhan itu kembali merangsang kesadarannya.

Devonna mulai membuka matanya perlahan, semua tampak buyar dan semakin lama semakin jelas dan jelas. Pemandangan pertama yang dirinya lihat adalah langit-langit ruang unit kesehatan sekolah dengan lampu neon putih yang menyala begitu terang. Dia melirik ke kanan dan kiri, meyakinkan bahwa apa yang dirinya lihat kali ini bukan hanya sekedar ilusi yang diciptakan oleh otaknya yang sudah tercemar oleh tumor menjijikan ini.

Devonna melihat tangan seseorang lelaki yang kini menaruh handuk merah basah dan hangat di atas permukaan kakinya, tepatnya di atas tulang kulit yang menutupi tulang femurnya. Pandangannya ia naikkan, mengikuti alur tangan lelaki itu hingga dia menyadari bahwa itu adalah Joey, lelaki itu tampak begitu fokus dengan apa yang sedang ia lakukan sekarang. Joey masih melakukan kegiatannya itu tanpa menyadari bahwa Devonna sudah tersadar.

Devonna mengerang sambil memejamkan matanya erat, tangannya mendorong tubuhnya agar dia bangkit dan mengubah posisinya menjadi duduk di atas brankar ruang unit kesehatan sekolah, yang mana membuat Joey terkejut.

"Kau sudah bangun?!" tukas Joey dan dia terdiam sebentar melihat Devonna.

Devonna tak menjawab apapun, dia menoleh, menatap teko plastik putih yang berada di atas laci besi di sebelah brankar. Devonna berdeham sembari menyentuh lehernya, dia merasakan kekeringan melanda kerongkongannya, seakan global warming melandanya secara tiba-tiba.

Joey menoleh, dia langsung bereaksi. Menuangkan segelas penuh air ke dalam gelas kaca dengan ukiran bunga matahari yang sangat detail. "Here... ." ucap Joey dan dengan perlahan dia membantu Devonna untuk meminum air itu.

Devonna melepas dahaganya dengan lega. Dia menatap ke arah jendela dan menyadari kini sudah malam. "Sudah berapa lama aku tak sadarkan diri?" tanya Devonna.

"Hampir, sepuluh jam. Sekarang sudah pukul sembilan lebih." jelas Joey sambil menatap Devonna. "Kau sudah merasa baikkan? apa kakimu masih terasa sakit?"

Devonna melihat Joey dan dia tersenyum sembari terkikih sedikit. "Kenapa kau cemas sekali, aku sudah merasa cukup baik." jelas Devonna dan kemudian dia menghela nafas panjang. "Shit... aku tak ikut sesi ulangan ke dua. Sepertinya aku akan mendekam di sini lebih lama dari yang aku kira." lanjut Devonna.

Joey mengeritkan dahinya, dia sedikit bingung dan mencoba mencerna informasi yang keluar dari mulut Devonna. Kemudian dia berjalan mendekati meja Hailee dan mengambil dua kertas yang di straples menjadi satu. "Kau tak perlu takut, guru mata pelajarannya mengizinkan kau untuk membawa soal ini. Hailee tadi mengurus surat izinmu dan beberapa guru datang untuk memastikannya terlebih dahulu. Sepertinya mereka tak percaya padamu."

Devonna mengambil kertas itu, dia menatap setiap soal yang tercetak dengan tinta hitam yang rapih di permukannya. "Bisa kau taruh ini di tasku." Jelas Devonna sembari memebrikan kertas itu kembali kepada Joey.

"Tentu." balas Joey mengambil kertas itu dan dia segera berjalan mendekati tas Devonna yang berada di bangku hitam dekat dengan meja kerja Hailee.

Devonna memutar tubuhnya, kini dia duduk di pinggir brankar dengan kaki yang menggantung ke lantai, mengarah langsung kepada gravitasi bumi yang terasa lebih berat dari biasanya. Mungkin ini karena dirinya terlalu lemas setelah tidur panjang yang nyenyak dan mendadak. Begitu pikirnya. Devonna mulai menyentuh permukaan lantai yang dingin di bawah telapak kakinya. Dia merintih kesakitan, rasanya seperti ada jarum yang yang mendorong masuk ke dalam kulit dan dagingnya. Joey menoleh, melihat Devonna yang berusaha untuk berdiri sekuat tenaga. Dia menghampiri Devonna dan segera merangkul tubuhnya.

"Dev, jangan memaksakan dirimu." tukas Joey yang kini merangkulnya dan membawanya pergi ke tempat duduk.

Devonna tampak terengah-engah untuk langkah yang sekecil itu dan biasanya dia remehkan. "Aku hanya sebuah rongsokan yang dibalut dengan cover baru." tukas Devonna kemudian dia melihat Joey yang mengambil tasnya. "Apa kau sedari tadi menemaniku?"

"Ya... karena Hailee memaksaku." ucap Joey dan dia merentangkan tangannya. Devonna bangkit berdiri dengan bantuan lelaki itu. "Seharusnya kau tak perlu memaksakan dirimu sendiri, Dev. Jika kau sakit bilang saja."

"Joey, apa kau tidak ingat dengan ucapanmu sendiri?" tukas Devonna selagi mereka berjalan bersama keluar dari ruangan. "Guru saja sudah tidak ada yang percaya dengan ucapan Hailee jika aku sakit dan tak sadarkan diri, bagaimana jika aku hanya izin saja? mereka bisa-bisa memanggil ayahku lagi dan itu adalah hal terakhir yang ingin aku tambahkan ke daftar hidupku."

Joey hanya terdiam, Devonna melihat Joey dengan seksama. "Ayahku tahu?" tanya Devonna.

"No... ." balas Joey melihat Devonna. "Jangan berasumsi jawabanku ketika kau tak mendengar apa yang aku ucapkan. Mimik wajahku yang tampan ini tidak akan memberikan jawaban yang jelas untukmu."

Devonna menyipitkan matanya dan menggeleng kepalanya dengan perasaan jijik setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Joey. Kini mereka berjalan di koridor sekolah yang sepi dan gelap, satu-satunya penerangan hanyalah cahaya rembulan dari luar sana yang membias masuk melewati jendela-jendela di koridor. Sesekali langkah kaki mereka terdengar menggema di koridor yang sepi ini, seakan mereka sedang di kejar oleh mahluk mengerikan dari ujung kegelapan koridor. Devonna mulai memberanikan untuk berjalan tanpa bantuan Joey setelah merasakan kakinya lebih baikkan dari sebelumnya—walau dirinya masih jalan tertatih-tatih seperti wanita jompo.

Sesampainya di dorm, Devonna segera duduk di sofa dan Joey menaruh tas Devonna di sebelahnya. Dia berdiri sambil menatap Devonna.

"Hailee bilang kau harus rajin merendam kakimu di air hangat dan coba untuk memberikan stimulasi-stimulasi secara berkala. Misalnya kau melakukan pemanasan atau memijat kakimu pelan." jelas Joey.

Devonna mengangguk. "Baiklah, aku mengerti. Terima kasih banyak telah membantuku."

Devonna memijat keningnya dan melihat Joey yang masih berdiri di depannya dengan raut wajah seakan meminta jawaban dari pertanyaan yang tak pernah ia lontarkan dari mulutnya. Devonna menyipitkan matanya. "Mengapa kau masih di sini, apa kau ingin sesuatu?"

Joey menggigit kedua bibirnya dengan kencang, hingga terlihat kemerahan seperti buah plum segar yang matang di kebun paman kalian. Joey mendekati Devonna dengan cepat, membuat perempuan itu sedikit memundurkan tubuhnya karena kaget—secara harfiah sebenarnya dia ketakutan.

"Devonna, Hailee mengatakan padaku kau bertambah parah." jelas Joey dengan nada yang begitu lembut, bahkan membuat Devonna seakan lupa bahwa lelaki itu adalah lelaki yang sama yang pernah menghadriknya. Rasa simpati itu menggapai tubuh Devonna dengan tenang, dia kini merasa sedikit nyaman. "Tell your father about this. Kau masih mempunyai kehidupan panjang di depanmu."

Devonna tersenyum tipis. "Sudah aku bilang padamu, aku tak akan merubah pilihanku. Apapun alasannya, aku tak akan melakukannya. Terlebih setelah ayahku memperkenalkanku kepada keluarga baru yang kami miliki—nodia miliki dan kemudian aku sadar bahwa aku melakukan pilihan yang benar."

Joey kembali berdiri, dia tak menerima jawaban Devonna dan dia marah. "How is this the right choice when you choose to be dying? Ini hanya merupakan tindakan keegoisan, karena kau terus menyalahkan dirimu. Setiap saat, setiap waktu, setiap kau mempunyai kesempatan. Apa kau tak memikirkan apa yang akan ayahmu rasakan jika mengetahui semua ini dan semuanya sudah telat?"

"Justru karena itu, aku memikirkan ayahku. Menurutmu bagaimana yang terjadi ketika ayahku mengetahui jika tumor ini kembali kepadaku di saat dia sedang berjuang untuk mencarikan sudaraku jantung baru?" tanya Devonna.

"Maksudmu Keen sakit?" tanya Joey.

"Bukan dia, tetapi saudaranya." jelas Devonna dan kemudian dia terdiam sambil merundukkan kepalanya. Dirinya teringat tentang perbincangan ringan yang dilakukan malam hari di halaman belakang rumah. "Ayahku bilang, dia membutuhkan jantung baru untuk operasinya di akhir bulan ini dan dia belum menemukan pendonor jantung sama sekali. Aku yakin pikiran ayahku kini seperti kemacetan panjang yang memusingkan. Menambah beban pikirannya dengan penyakitku, itu namanya egois dan aku juga tak berniat untuk bermain penyakit siapa yang lebih mematikan, karena pada nyatanya, kami seperti bergelantungan di dahan pohon yang ringkih dan hendak patah di pinggir jurang."

Joey menghembuskan nafas dari mulutnya. Kedua tangannya menarik kebelakang rambut panjang hitamnya. Devonna melihat Joey dengan tatapan datar. Melihat lelaki itu mundar-mandir di tempatnya. "Pulanglah Joey, istirahatlah, jangan biarkan aku menganggu pikiranmu. Aku baik-baik saja untuk sekarang."

—oOo—

Tengah malam.

Hujan turun dengan deras, sesekali terlihat dedaunan dari pohon mapel yang berterbangan di luar jendela dormnya.

Devonna duduk di meja makan dengan kertas soal ujian yang ada di depannya, sebagian sudah terisi dengan jawaban yang ia tulis menggunakan pena bertinta birunya. Joey sudah pulang dengan perasaan sungkan yang ia bawa menjadi beban tak kasat mata di atas punggungnya. Beralih dari itu, suara kettle terdengar begitu nyaring, memenuhi setiap sudut ruangan, bahkan hingga sanggup mengalahkan suara derasnya hujan. Devonna menaruh alat tulisnya, dia bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati kompor dengan api yang masih menyala. Uap panas keluar dari lubang kecil yang menutup ujung moncong kettle tersebut. Tangannya memutar knob pada kompornya dan seketika api itu padam dan suara nyaring dari kettle tersebut menghilang dengan perlahan.

Devonna mengambil cangkir tehnya yang sudah dia isi dengan beberapa sendok gula pasir dan juga kantung teh chamomile yang tergantung di sisi gelas tersebut. Tangannya menuang perlahan air panas dari dalam kettle. Kepulan asap hangat mengebul dan bisa ia rasakan di atas permukaan kulitnya. Ini merupakan salah satu hal favorite-nya di muka bumi ini, entah berada di list ke berapa tapi Devonna tahu pasti dia sangat senang ketika uap hangat itu mengenai kulitnya.

Setelah dia mengisi cangkir itu dengan air panas dari kettle, dia mulai mencelup-celupkan kantung teh secara perlahan hingga air yang tadinya berwarna bening menjadi kuning kecoklatan dan begitu harum. Dia kemudian mengaduk tehnya perlahan menggunakan sendok, membuat gula-gula pasir itu tercampur dengan sempurna.

Devonna membawa cangkir itu bersamanya ke meja makan dan menaruhnya tepat di sisi kanan kertas soal ujiannya. Matanya kembali fokus kepada soal di kertas tersebut, dia menopang dagunya dengan wajahnya, menatap satu butir soal yang dia susah sekali untuk temui jawabannya. Ini menarik, tidak biasanya dia kesusahan untuk menjawab soal. Devonnoa memainkan pena biru itu dengan jemarinnya. Mengetuk-ngetuk ujungannya ke atas katu meja yang mulai berwarna kebiruan.

"Hmm... ." gumamnya dan kemudian dia menutup matanya.

Devonna percaya jika jawabannya ada di suatu tempat di dalam otaknya yang sudah terkontaminasi penyakit sialan ini. Dia mencoba mengingat-ingatnya, membuka setiap lembaran memori tentang pelajaran yang ia dapatkan dari ayahnya dan guru-guru yang pernah merasakan bagaimana mengajarinya dulu ketika dia menghabiskan seluruh waktunya di rumah sakit. Tak lama kemudian dia membuka matanya, bukan karena dia ingat, tetapi karena dia mendapatkan rumus yang mungkin dapat membantunya dalam mengerjakan soal sulit ini.

Devonna melihat kembali ke atas kertas, tak ada yang berbeda dari kertas itu—hanya kumpulan soal dan mungkin di tambah dengan noda bercak darah yang terdapat di bagian akhir, menutupi salah satu soal di kertas tersebut. Tangannya menyentuh bagian bawah hidungnya dengan lembut, dia kini dapat melihat darah mengotori dua jemari tangannya.

"Aku bahkan tidak terkejut sama sekali." ucap Devonna kepada dirinya sendiri dan dia segera bagkit menuju wastafel, membersihkan darahnya.

Bukan darah yang banyak ataupun sedikit, tetapi Devonna dapat merasakan bahwa darahnya tidak sebanyak yang sebelumnya—tidak biasanya dia memberishkan darah mimisannya beigtu cepat. Setelah selesai membersihkan darah mimisannya, dia mengambil beberapa lembar tissue dari roll yang berada di sebelah wastafelnya. Dia mengeringkan tangannya dengan teliti. Telapak tangan, sela-sela jari, kuku, punggung tangannya, tak ada satupun bagian yang terlewat dari semua itu. Dia meremas tissue tersebut dan kemudian membuangnya pada tempat sampah silinder ungu dengan hiasan gambar babi-babi kecil dengan sayap mungil.

"Sampai di mana kita tadi?" tanya Devonna yang kembali duduk pada kursi meja makan. Dia mendirikan kertas soal itu di depannya dan mulai menuliskan jawaban yang mungkin pas.

Tak lama ponselnya berderinng, Devonna menatapnya. Matanya bergerak membaca tulisan pada box notifikasi tersebut.

"This one maybe your chance to get a heart donor"

Dirinya senang bukan kepalang, dia menekan box notifikasi itu dengan cepat, bahkan ini pertama kalinya ia menekan box notifikasi dengan cepat selain jejaring sosialnya. Sebuah aplikasi terbuka,interfacenya begitu bersahabat. Ibu jarinya menekan logo mail yang terdapat di sudut kanan atas, dia melihat sebuah lampiran file yang memberikan informasi tentan pendonor tersebut. Hatinya berdegub semakin dia membaca profile pendonor itu, hanya saja sepertinya ini bukan orang yang tepat. Kebahagiannya hancur begitu saja, dia menaruh ponselnya kembali dengan perasaan sedih yang menggelora.

Dia memijat keningnya, Devonna dapat merasakan bahwa dirinya perlahan berubah seperti ayahnya tetapi mau bagaimana lagi, dia memang anaknya. Devonna menyandarkan tubuhnya, menatap lampu di atas sana yang perlahan membutakan matanya. Pikirannya kembali mengingat perkataan Joey tentang keegoisan dirinya. Lelaki itu mungkin benar atau mungkin seratus persen benar. Tetapi Devonna lebih yakin bahwa pilihannya sudah tepat, dia tak ingin memberi tahu kondisinya kali ini karena itu memang bukan sebuah hal yang pantas. Akan canggung jika dia memberi tahu tentang kondisinya lalu mereka akan berdebat.

"Oh ya, kau juga sekarat?? Aku juga sama!"

Itu akan menjadi pertaruhan siapa yang lebih sekarat dari satu sama lain dan tentu itu sangat aneh, bahkan Devonna tak menyangka otaknya ini masih bisa berpikir hal sebodoh itu. Devonna menarik nafas dan membuangnya dengan perlahan. Dia memutuskan untuk menyingkirkan tugasnya terlebih dahulu dan berselancar di aplikasi ini. Mencoba untuk memasukkan lagi permintaan donor jantung bagi Spance. Ibu jarinya menggeser ke bawah bagian atas layar ponselnya dan kemudian dia terdiam sambil menatap tanggalan di sana.

Wajahnya tampak ragu, setiap waktu yang terbuang membawanya mendekati akhir dari bulan ini. Devonna terdiam sesaat hingga akhirnya kedua matanya terbuka dengan lebar.

—oOo—

"Joey!!!" Seru Devonna yang baru saja keluar dari kelasnya.

Koridor tampak begitu ramai dan bising. Dari tempatnya sekarang, Devonna dapat melihat Joey yang berdiri di depan lokernya. Sebenarnya tidak sulit menemukan lelaki itu, dia tampak lebih kontras dari anak-anak yang ada di sini. Jangkung, bertulang pipi tirus, berambut panjang hitam terkuncir man bun rapih dan satu lagi, memakai jaket kemanapun. Itu pasti sudah menunjukkan spesies Joey Alexander.

Devonna berlari kecil mendekati Joey. Kakinya masih terasa sakit ketika dia berlari, jadi sesekali dia berhenti dan kemudian berlari lagi.

"Joey." Panggil Devonna sekali lagi. Dia berhenti di samping pintu loker lai itu yang terbuka. Devonna terkikih pelan. "Really??? Kau marah padaku?"

"No... I'm not. Aku hanya tahu kau pasti ingin memintaku untuk mengantarmu ke suatu tempat." Jelas Joey.

"Kau benar dan kau sangat mengerti sekali." Jelas Devonna dengan sneyuman. "Joey, bisa kau antar aku ke rumah sakit?"

"Apa yang ingin kau lakukan di sana?" Tanya Joey sembari menyipitkan matanya. Dia curiga.

"Uh... aku ingin bertemu dengan dokterku."

"Kau serius?"

"Mengapa aku harus berbohong?" tukas Devonna sembari melihat Joey dengan tatapan menggoda, tetapi tanpa adanya perasaan seksual sama sekali.

"Entahlah, kau pandai berbohong... ." jelas Joey.

"Kali ini tidak." Lirih Devonna dengan senyuman yang meyakinkan. "Aku bisa memastikan itu."

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 6.5K 5
Seorang pelayan pengantar minuman di salah satu club ternama, dipertemukan dengan seorang pria 'Alpha' yang tidak pernah puas jika lawannya itu belum...
260K 5.8K 17
Chalystha,,,gadis cantik yang sederhana, walaupun dia dari keluarga berada.dia terpaksa meninggalkan kekasih nya yang dia cintai ,karna dia di jodohk...
1M 23.5K 30
21++ #highrank 1 in rios [11/09/20] #highrank 1 in jason [11/09/20] #highrank 2 in fara [11/09/20] #highrank 1 in hot (26/10/20) Mulai menulis [ 7 Ja...
910K 75.6K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...