Why Don't We? [alternative ve...

By protagonistark

2.5K 128 170

Devonna Lawrance, perempuan cerdas yang sangat-sangat malas untuk bersekolah, dipaksa ayahnya untuk memasuki... More

Halo semua kembali lagi
Babak Satu: Devonna Irvine Lawrance dan Kemalangannya
Babak Dua: Nama dia Joey Alexander
Babak Dua: Devonna dan Joey
Babak Dua: Pekerjaan Pertama
Babak Dua: Hampir saja
Babak Dua: Kau Berhak Dicintai
Babak Dua: Rasa Sakit
Babak Dua: Lagi
Babak Dua: Dua Dunia Berbeda
Babak Dua: Sakit
Babak Dua: Pintu masuk ke masa lalu
Babak Dua: Tak Terduga
Babak Dua: Amarah
Babak Dua: Sebuah Permintaan
Babak Dua: Freedy dan permohonannya
Babak Dua: Langkah mundur yang berarti banyak
Babak Dua: Kamping
Babak Dua: Joey Alexander dan Devonna Lawrance
Babak Dua: Permintaan Maaf
Babak Dua: Prasangka
Babak Dua: Perasaan
Babak Dua: Perlombaan.
Babak Dua: Semua orang takut akan hal yang tak mereka tahu.
Babak Dua: Sebuah undangan
Babak Dua: Jamuan Makan Malam
Babak Dua: Mimpi buruk yang menyelinap kembali
Babak Dua: Perjanjian
Babak Dua: Menjauh untuk mendekatkan suatu hal
Babak Dua: Montana
Babak Dua: Motel
Babak Dua: Put A Little Love On Devonna (2)
Babak Dua: Kembali
Babak Dua: Khawatir
Babak Dua: Tak terduga
Babak Dua: Apa yang kau lihat?
Babak Dua: Guardian Shoes
Babak Dua: Keluarga baru
Babak Dua: Bond
Babak Dua: Bertambah
Babak Dua: Sebuah rencana
Babak Dua: Bantuan
Babak Dua: Untuk terakhir kalinya
Babak Dua: Rahasia yang terkuak
Babak Dua: Sebuah Kunjungan
Babak Dua: Kabar di tengah malam
Babak Dua: Pada akhirnya
Babak Tiga: For better, {not} for worse

Babak Dua: Put A Little Love On Devonna. (1)

45 3 5
By protagonistark

FYI: UNTUK PART INI, MOHON KEBIJAKAN PARA PEMBACA. KARENA DI SINI MENGANDUNG KONTEN EKSPLISIT DAN DAPAT MENGUNDANG KEJADIAN TRAUMATIK BAGI BEBERAPA PEMBACA.

Devonna berdiri di depan balkon kamarnya, melihat bintang yang berkelip di atas langit malam. Dia menarik nafas panjang dan memejamkan matanya perlahan.

Merasakan setiap udara dingin memenuhi relung dadanya yang kosong dan hampa, mengisinya dengan kesejukan dan sebuah kenangan pahit. Joey terpejam di atas kasur, di balik selimut putih yang hangat, membungkus tubuhnya seperti permen di dekat perapian ketika malam natal menyambut. Matanya terbuka, melihat Devonna yang berdiri membelakangi dirinya. Dia kini terduduk di pinggir tempat tidur, wajahnya terlihat lelah, tetapi dengan cepat dia menghapusnya dengan menggosokkan telapak tangan hangatnya pada wajahnya. Joey bangkit berdiri dari tempat tidur dan berjalan menuju balkon dengan sedikit terhuyung-huyung ke kanan maupun ke kiri.

"Dev." lirih Joey yang kemudian berdiri di sebelah Devonna. Dia membuka mulutnya lebar dan melihat wajah Devonna yang terus terfokus menatap ke depan. "Ini sudah malam, kau lebih baik tidur."

"Aku tidak bisa." lirih Devonna. "Setiap aku memejamkan mataku, aku hanya bisa melihat bagaimana ibuku terenggut dariku." lanjutnya.

Joey terdiam, terselip rasa bersalah di dalam dirinya. Kemudian arah pandangnya menatap ke langit malam yang begitu indah dengan taburan bintang serta cahaya rembulan. "Ibumu baru bicara padaku, kau harus tidur." jelas Joey. Devonna menoleh ke arah Joey dengan salah satu alis yang terangkat. Joey mengangguk dengan wajah seriusnya. "Aku tak bercanda padamu. Aku ini terlahir sebagai anak terunik di keluargaku."

"Benarkah?" tanya Devonna dengan wajah ragu.

"Nyonya Lawrance mengatakan jika Devonna, anak perempuan satu-satunya harus beristirahat. Dia tidak ingin anaknya sakit dan kelelahan untuk perjalanan menuju rumah neneknya esok pagi." jelas Joey.

Devonna tersenyum tulus, "Terima kasih sudah menghiburku, aku akan segera tidur setelah—" Devonna melihat ke arah lain. "—aku melepaskan semua beban di tubuhku."

Joey menarik salah satu dari dua bangku yang berada di balkon itu. Dia kemudian duduk dan melipat kedua tangannya dengan erat. "Kalau begitu, aku juga akan berada di sini. Aku akan menemani dirimu selagi kau menghilangkan segala pikiran penatmu itu."

"Joey, aku sudah terbiasa tidur begitu larut. Kau lebih baik tidur lebih dahulu karena terlihat jelas kau sepertinya menyiksa dirimu begitu." balas Devonna sembari terkikih.

Joey berdiri, terlihat kecewa karena tak berhasil membujuk Devonna untuk masuk kembali ke kamar dan mengistirahatkan dirinya. Dia mendecak dan melihat Devonna dengan matanya yang sudah sayu itu. "Aku hanya berusaha untuk menjadi baik dan aku tentu tidak ingin menggendong dirimu jika nanti kau ketiduran atau semacamnya."

Devonna hanya terkikih pelan selagi Joey kembali ke dalam kamar dan membungkus dirinya dengan selimut putih itu kembali. Melihat Joey yang sudah kembali menutup kedua kelopak matanya, membuat senyuman di wajah Devonna menghilang perlahan. Kini matanya melihat ke arah jam yang tertera pada layar ponsel yang baru ia keluarkan dari saku celana jeansnya. Devonna masuk ke dalam kamar dan bertekuk lutut di depan tasnya. Tangannya membuka resleting tasnya dan segera mengambil botol pill yang tersembunyi di antara tumpukan pakaian yang ia bawa.

Dia membuka penutup botol obat itu dengan perlahan, berusaha sepelan mungkin sehingga Joey tak kembali membuka matanya. Hanya saja lelaki itu langsung tersadar ketika bau obat yang menyengat mengetuk indra penciumannya seperti tamu yang datang pada tengah malam. Joey menoleh ke belakang, melihat Devonna yang kini sedang duduk memebelakangi dirinya. Dia menenggak perlahan air yang berada di dalam gelas dan menaruhnya kembali di atas nakas bersamaan dengan boto pill itu. Devonna terdiam sesaat sebelum dia perlahan menoleh ke belakang dan dengan cepat Joey memalingkan wajahnya. Devonna menghembuskan nafas panjang dan kemudian membaringkan tubuhnya ke atas tempat tidur.

Beberapa menit berlalu, Devonna sudah tertidur dengan tenang, deruan nafasnya terdengar sendu dan perlahan. Joey memutar tubuhnya, melihat Devonna yang tertidur di sampingnya—membelakangi dirinya. Mata coklat terangnya kini menatap botol pill tersebut. Joey bangun dengan cepat dari tempat tidur dan berjinjit ketika berjalan di wilayah perempuan tersebut. Tangannya mengambil botol obat pill tersebut. Joey memutar botol tersebut, sesekali terdengar suara pill yang menyentuh permukaan botol obat plastik ini dari dalam. Joey kemudian membuka obat tersebut dan mencium aroma obat tersebut sebelum kembali menutupnya dan melihat kandungan obat tersebut.

Matanya bergerak melintasi tulisan-tulisan yang tertera di label tersebut. Sesekali dia melewati beberapa kalimat karena sangat susah ia ucapkan—bahkan di dalam pikirannya. Joey melihat wajah Devonna yang masih terlelap. Dia menaruh obat itu kembali di atas nakasnya dan kembali berjalan menuju sisi tempat tidurnya. Joey kembali masuk ke dalam selimutnya dan di saat yang bersamaan Devonna membuka matanya. Matanya menatap ke arah botol obatnya sebelum dia kembali memejamkan matanya.

—oOo—

Pagi sudah mengusung tinggi, kegelapan malam dan sejuknya cahaya rembulan kini berganti dengan cahaya mentari yang kembali menyinari setiap jiwa manusia untuk melakukan aktivitas mereka kembali. Di dalam kamar mandi, Devonna berdiri di depan cermin dengan pakaian yang sering ia pakai setiap hari—bedanya kini dia terlihat lebih feminim dari biasanya, sebuah hal yang Devonna selalu bersumpah tak akan melakukannya. Wajahnya dihiasi oleh rona blush-on dan bibirnya dibalut oleh warna pink yang tak terlalu tebal. Devonna menarik kedua sudut bibirnya, senyuman lebar kini terbentuk di wajahnya.

"Dev... apa kau sudah selesai?!" seru Joey sambil mengetuk-ketuk pintu dari luar.

"Sebentar." jelas Devonna yang kemudian mebereskan seluruh alat make up-nya.

Devonna membuka pintu kamar mandi. Joey yang menunggu di depan pintu kamar mandi dengan wajah mulasnya, terdiam menatap Devonna yang tampil beda di depannya.

"Kau terlihat menawan." Jelas Joey dengan senyuman besar. Kemudian dia mendorong Devonna dari depan pintu kamar mandi. "Tapi aku masih mempunyai urusan." lanjut Joey yang kemudian langsung melesat ke dalam kamar mandi.

Devonna terkikih pelan, kemudian dia memasukkan seluruh perlatan make up itu ke dalam tasnya. Dia terdiam melihat obat miliknya yang masih berada di atas nakas samping tempat tidur. Devonna meraih botol obat itu kemudian membawanya menuju tempat sampah kayu yang berada dekat dengan pintu masuk kamar mereka. Tanpa ragu, dirinya membuang seluruh botol obat itu dan menutupinya dengan kertas-kertas yang berada di dalam sana.

Joey keluar dari dalam kamar mandi dengan wajah lega. "Perutku sangat sakit dan sekarang sudah begitu lega."

"Kau cepat sekali?" tanya Devonna dengan nada bingung.

"Untuk apa aku berlama-lama di dalam sana. Aku tidak berencana membuatmu menunggu lagi pula." jelas Joey. "Baiklah ayo kita berangkat!"

Mereka segera berjalan keluar dari motel dan menunggu di tempat pemberhentian bus selama beberapa menit sampai sebuah bus berhenti di depan mereka. Devonna memasukkan beberapa koin ke dalam bus tersebut dan segera berjalan menuju bangku yang kosong. Suasana bus tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang yang menggunakan transportasi publik ini. Beberapa di antara mereka adalah orang tua yang sudah berumur lanjut. Devonna duduk di samping jenedela, pandangan matanya menatap pemandangan di luar sana yang berlalu bagaikan angin.

Suara shutter kamera terdengar. Devonna segera menoleh ke arah Joey yang sedang memegang kamera analog dengan model kerangka yang jauh lebih modern dari biasanya.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Devonna dengan volume rendah.

"Aku hanya ingin mengambil beberapa gambar di perjalanan ini agar aku bisa memamerkan kepada adikku." jelas Joey dengan tawa licik perlahan dan kemudian dia lanjut mengambil foto yang lain.

"Sini, biar aku foto dirimu." ucap Devonna.

Joey memberikan kamera miliknya. Devonna mengarahkan lensa kamera itu ke wajah Joey yang tampak tersenyum lebar, kebahagiaan terpancar di wajahnya. Setelah shutter kamera terdengar, Devonna mengembalikan kembali kameranya kepada Joey.

Setelah satu jam mereka habiskan di perjalanan dan dengan Joey mengambil banyak sekali foto sehingga hampir menghabiskan roll filmnya, Joey dan Devonna pada akhirnya sampai pada halte bus dekat dengan tujuan mereka. Sisa perjalanan mereka hanya dilakukan dengan berjalan kaki saja. Terlihat rumah megah yang begitu mewah dengan gerbang pagar yang tinggi menjulang dan terbuka lebar, mengarahkan pada sebuah jalanan pribadi yang di aspal rapih, mengarah pada rumah di sana. Jalanan tersebut dipenuhi dengan barisan mobil mewah yang membuat Joey begitu kagum. Dia mengeluarkan kameranya kembali, mengambil seluruh foto dengan roll filmnya yang tersisa.

Mendekati pintu masuk rumah tersebut, dapat terlihat keramaian dari tamu-tamu yang datang pada acara yang di adakan di rumah neneknya ini. Devonna melihat ke kanan dan ke kiri, menatap seluruh tamu undangan yang memakai pakaian rapih dan mewah.

"Dev, jangan bilang kalau kita tersesat di salah satu rumah orang kaya di Montana." ucap Joey.

"Aku memang sudah lama tidak mengunjungi nenekku, tapi aku ingat bahwa ini rumahnya." balas Devonna yang kemudian mereka berjalan menaiki tangga yang mengarah ke dalam rumah neneknya.

Devonna menatap dua penjaga dengan pakaian formal rapih serta kaca mata hitam dan alat komunikasi yang terpasang di telinga mereka. Tampak mereka seakan berbicara dengan orang lain melewati alat komunikasi itu ketika Devonna memperhatikan mereka.

"Maaf, apakah kalian dapat memperlihatkan kartu undangan kalian?" tanya salah satu penjaga yang datang menghampiri mereka.

"Apa aku perlu menunjukkan kartu undangan untuk masuk ke rumah nenekku sendiri?" tanya Devonna dengan nada bingung.

"Kalau begitu dapat kau tunjukkan kartu identitasmu?" tanya penjaga itu kembali.

"Hey, dia tidak perlu menunjukkan kartu identitasnya. Apa kau sungguh-sungguh melakukan itu kepada cucu dari keluarga Lawrance?" tanya Joey dengan nada kesal.

Setiap tamu undangan kini melihat mereka semua, Joey sangat suskes dalam membuat diri mereka sebagai pusat perhatian, mungkin itu semua karena memang jati dirinya saja. Devonna melihat sekeliling, menatap semua tamu undangan di acara ini sedang menatap mereka berdua dan mulai berbisik dengan tatapan mata yang tajam dan sinis.

"Joey, sudahlah." jelas Devonna dengan nada sedikit mengancam. Devonna mengeluarkan dompet miliknya dan memberikan kartu identitas miliknya kepada penjaga itu.

"Tunggu sebentar." jelas penjaga tersebut. "Bisa kau carikan nama Devonna Irvine Lawrance dalam daftar tamu?" tanya penjaga itu sembari menekan alat komunikasi yang terpasang di telinganya. Terdengar sama-sama suara dari alat tersebut dan setelah itu dia memberikan kembali kartu identitas mulik Devonna. "Maaf, namamu tidak terdaftar dalam list undangan acara ini."

Devonna hanya terdiam, "Apa kau bercanda!?" ketus Joey.

"Jika kalian tidak segera keluar, kami akan memaksa kalian."

"Tapi—"

"—Joey sudah." ucap Devonna yang langsung memegang tangan Joey. "Tidak masalah. Kami akan keluar, lagi pula apa yang aku harapkan?" tanya Devonna.

Devonna segera berbalik arah dan meninggalkan penjaga itu. Joey mengejarnya dan kini berhasil berjalan bersama Devonna di sebelahnya. Joey melihat Devonna di sampingnya dengan mimik bingung.

"Dev,  mengapa kau malah pergi?" tanya Joey.

"Karena aku tidak ingin menjadi pusat perhatian dan aku tak ingin kau juga memulai perkelahian." jelas Devonna.

"Tapi Dev, kau adalah keluarga dari seorang Lawrance. Sangat keterlaluan hingga namamu tidak tertulis di dalam daftar tamu." tukas Joey.

"Ya, tentu saja namaku tidak tertulis. Ini pesta di rumah nenekku dan berarti nenekku yang menyelenggarakan pesta ini—bukan ayahku. Mungkin saja nenekku mengadakan pesta pembukaan cabang baru perusahaannya. Acara pesta semewah ini sudah sering ia lakukan." jelas Devonna kembali "Lagi pula, apa artinya kau mempunyai rumah besar jika tidak ada jalan pintasnya?" lirih Devonna dengan senyuman licik.

Joey mengangkat kedua alisnya, kedua matanya dan mulutnya terbuka lebar. "Ah... ." balas Joey sembari menggerakkan jari telunjuknya. "Kau sangat pintar, Devonna."

"Aku sudah terlahir untuk itu." balas Devonna dengan senyuman bangga.

Mereka kemudian melangkah masuk ke arah semak-semak yang sangat lebat. Ranting-ranting kecil yang terasa tajam dan menyakitan sesekali menggores permukaan kulit tangan atau wajah Joey dan dia kini merasa sedikit menyesal telah mengikuti jalan pikir Devonna untuk melewati jalan pintas ini. Setiap kali ranting-ranting itu mengenai kulitnya, membuat dia mengeluarkan kata-kata kasar.

"Dev... bisa kau pelankan jalanmu sebentar?" tukas Joey yang pada akhirnya berhasil keluar dari semak-semak itu. Joey merentangkan tangannya ke arah pundak Devonna, "Dev—"

Tangannya kemudian berhenti begitu saja ketika melihat ke arah depan, menatap Evenmore—ayah Devonna—yang sedang berdiri di depan sana dengan jas putih dengan rambut tersisir rapih sembari mencium bibir seorang wanita di depannya. Wanita itu mempunyai rambut pirang yang tergerai melebihi pundaknya dan juga memakai gaun putih panjang yang begitu indah. Semua orang kini bertepuk tangan, tetapi Joey dan Devonna hanya terdiam. 

Senyuman tipis terbentuk di wajah Devonna, matanya menatap neneknya yang berdiri dengan senyuman sempurna nan bahagia di wajahnya melihat Evenmore mencium pengantin wanitanya. Ayahnya kini menatap ke arah tamu undangan yang hadir untuk menyaksikan pernikahan mereka, senyuman terpasang di wajahnya. Tangannya merangkul pinggul perempuan tersebut dan dia kembali melakukan kecupan di bibir perempuan tersebut.

"Devonna... ." Lirih Joey melihat Devonna yang berdiri di sampingnya. "Kau tidak tahu tentang hal ini bukan?"

Devonna tidak menjawab. Joey menyentuh pundak Devonna dengan perlahan. Wajahnya terlihat iba bercampur dengan kesedihan. "Devonna, kau baik-baik saja?"

"Aku senang melihat ayahku bahagia."  balas Devonna dengan pelan.

"Devonna." tukas Joey sambil memegang tangannya. Kini mereka saling melihat satu sama lain. "Kau tak perlu menyembunyikannya."

Devonna menarik nafas panjang dan senyuman lebar terbentuk di wajahnya, hanya saja senyuman itu dengan cepat pudar selagi Devonna memutar tubuhnya dan berjalan mendekati sebuah kolam besar yang ditumbuhi oleh tanaman cat tail dan teratai. Joey masih terdiam, melihat Evenmore menebarkan kebahagiaannya. Matanya menatap sisi kanan, tepatnya di samping perempuan tersebut. Terlihat lelaki yang sebaya dengan dirinya berdiri dengan jas putih, sama seperti yang dikenakan oleh Evenmore.

Mata Joey kini terbuka lebar dengan perlahan menyadari bahwa lelaki itu adalah "Keen... ." ucap Joey dengan perlahan.

Pada pinggir kolam Devonna memegang sebuah perahu kertas yang baru saja dia buat. Dia menaruh perahu buatannya itu di atas permukaan air kolam dan memberikannya dorongan sedikit agar perahu itu bergerak menuju tengah kolam. Berlayar di antara keluarga bebek yang sedang mengarungi kolam bersama dengan tiga anaknya—dengan satu anak yang tertinggal jauh dibelakang. Joey berdiri di belakang Devonna, melihat perahu kertas yang mengapung terus ke tengah kolam.

"Devonna, kau masih ingin di sini?" tanya dirinya dengan perlahan.

Devonna terdiam sesaat, melihat kertas itu mengapung lebih jauh lagi. "Tak ada yang bisa aku lakukan lagi di sini." balasnya. Devonna kemudian menoleh ke arah Joey. "Maafkan aku Joey, aku membawamu jauh ke Montana hanya untuk tak melakukan apapun. Aku mengerti jika kau marah kepadaku karena aku menghabiskan waktumu."

Devonna kemudian berjalan meninggalkan tempat ini, disusul dengan Joey yang berjalan di belakangnya. Langkah kaki perempuan itu terhenti seketika saat mendekati tempat mereka masuk sebelumnya.

"Ada apa , Dev?" tanya Joey.

"Bisa kau duluan? aku ingin melakukan sesuatu terlebih dahulu."

"Dev... ."

"Please, Joey. Hanya sebentar."

Joey menarik nafas panjang dan langsung berjalan memasuki semak-semak kembali tanpa bertanya pada Devonna.

Devonna memutar tubuhnya, melihat ayahnya kini sedang berbicara dengan beberapa tamu undangan bersama dampingan neneknya. Dia menarik nafas panjang, mengambil sebuah map coklat dari dalam jaketnya. Matanya menatap map itu dan kemudian menaruhnya di atas bangku coklat yang berada di pinggir kolam.

"Mom, aku akan menyusulmu." lirih Devonna dengan senyuman sebelum meninggalkan map tersebut.

—oOo—

Selama perjalanan pulang, Devonna tidak berbicara apapun. Joey yang berada di sebalahnya berusaha melakukannya agar tetap seperti itu. Dia mengerti rasa sakit yang Devonna alami sekarang, tetapi dia tentu tahu bahwa rasa sakit perempuan itu lebih berat daripada dirinya. Joey mungkin tidak ingin membanding-bandingkannya dengan rasa sakit ketika mengetahui ayahnya selingkh dengan dirinya, tetapi mengingat beban hidup yang dia tahu tentang Devonna, membuat Joey dan egonya setuju bahwa perempuan itu kini dihadapi pada posisi terberat dalam hidupnya.

Sesampainya di motel, Devonna berjalan di depan Joey dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku jaketnya. Kepalanya sedikit merunduk menatap aspal di setiap langkahnya.

"Hey Devonna." panggil Joey dan kemudian Devonna berputar untuk melihatnya. "Aku ingin beli sesuatu, kau duluan saja. Ini kunci kamar kita." jelas Joey sambil melempar kunci itu kepada Devonna yang segera menangkapnya.

Devonna tak mengatakan apapun selain melanjutkan perjalanannya. Joey memasuki gedung penjaga motel. Dentingan suara lonceng kecil terdengar. Lelaki tua itu melihat Joey dengan tajam.

"Hey, kau menjual mie instan atau sejenisnya?" tanya Joey.

"Ya tentu saja, kau ingin berapa?"

"Dua, tetapi tolong jadikan satu." balas Joey kemudian dia duduk pada bangku plastik berwarna biru di belakangnya.

"Bagaimana keadaan temanmu?" tanya lelaki tua itu.

Joey melihat lelaki itu dengan tatapan bingung, dahinya mengkerut. "Kau tahu?"

Lelaki itu tertawa. "Ey... aku mempunyai cucu gadis seusianya. Tentu aku tahu jika sesuatu terjadi dengan perempuan itu. Kau sedang mencoba menghiburnya bukan?"

"Ya... aku mencoba menghiburnya, hanya saja aku tidak tahu apa yang ia suka selain mie instan!" jelas Joey. "Aku bukan teman baiknya. Kami bahkan tidak pernah sedekat ini sebelumnya."

"Well, young man. Saranku, kau harus mengenalnya lebih dekat. Sesuatu tidak akan baik jika kau terlalu lama membiarkannya." ucap lelaki tua itu dan memberikan mie pesanan Joey. "Ini berikan dia coklat dan untuk kali ini semuanya gratis."

"Kau serius?" tanya Joey.

"Tentu, sana senangkan temanmu."

"Terima kasih banyak."

Joey kemudian berjalan keluar. Langkah kakinya begitu cepat ketika menaiki anak tangga dan berjalan menuju kamar mereka. Joey membuka pintu kamar mereka, senyuman besar tergambar di wajahnya, tetapi dia tak dapat menemukan Devonna di manapun. Joey mencoba pergi ke balkon kamarnya dan melihat ke arah kolam renang tetapi matanya tak dapat menemukan Devonna ataupun batang hidung perempuan tersebut. 

"Dev!!! aku bawa mie instan untukmu!" seru Joey.

Joey terdiam sesaat untuk mendengar jawaban Devonna yang tidak kunjung terdengar, pada akhirnya dia mengeluarkan ponselnya dan mencoba untuk menghubungi Devonna. Suara ringtone ponsel terdengar dari dalam kamar mandi. Mata Joey terbuka dengan lebar. Dia segera berlari mendekati kamar mandi, meninggalkan mie instan itu di atas lantai kamar motelnya. 

Joey memutar gagang pintu kamar mandi, hanya saja pintu itu terkunci. Joey kini begitu panik, nafasnya terengah-engah. Dia menoleh ke segala arah, mencari cara untuk membuka pintu tersebut.

"Dev... tolong buka!!!" seru Joey tanpa jawaban dari dalam sana. Joey melangkah ke belakang. Melihat pintu itu dengan tajam, seakan pintu tersebut adalah musuh bebuyutannya. "DEV, AKU AKAN MENDOBRAK PINTU INI."

Joey menendang pintu itu dengan sekuat tenaga. Kini pintu tersebut sudah terlepas dari engselnya. Mata Joey terbuka lebar ketika melihat Devonna sudah tidak sadarkan diri di lantai kamar mandi dengan darah yang keluar dari lengan kirinya. Joey berlari dan bersimpuh di depan tubuh Devonna. Matanya menatap pisau cukur dengan mata pisau yang dilumuri oleh darah segar.

"DEV!" ucap Joey dengan volume yang kencang.

Continue Reading

You'll Also Like

1.1K 255 15
Buku misterius itu terus membuatku tertarik. Tanpa kuketahui bahwa ada hal aneh didalamnya dan betapa terkejutnya aku saat mendapati seorang pria asi...
45.7K 1.7K 18
WARNING! FOR 21+ !!!! Seorang pria muda yang memiliki wajah tampan yang mampu menarik hati wanita hanya dengan tatapan elangnya, yang merupakan pewar...
1M 23.5K 30
21++ #highrank 1 in rios [11/09/20] #highrank 1 in jason [11/09/20] #highrank 2 in fara [11/09/20] #highrank 1 in hot (26/10/20) Mulai menulis [ 7 Ja...
1.4M 6.5K 5
Seorang pelayan pengantar minuman di salah satu club ternama, dipertemukan dengan seorang pria 'Alpha' yang tidak pernah puas jika lawannya itu belum...