Why Don't We? [alternative ve...

By protagonistark

2.5K 128 170

Devonna Lawrance, perempuan cerdas yang sangat-sangat malas untuk bersekolah, dipaksa ayahnya untuk memasuki... More

Halo semua kembali lagi
Babak Satu: Devonna Irvine Lawrance dan Kemalangannya
Babak Dua: Nama dia Joey Alexander
Babak Dua: Devonna dan Joey
Babak Dua: Pekerjaan Pertama
Babak Dua: Hampir saja
Babak Dua: Kau Berhak Dicintai
Babak Dua: Rasa Sakit
Babak Dua: Lagi
Babak Dua: Dua Dunia Berbeda
Babak Dua: Sakit
Babak Dua: Pintu masuk ke masa lalu
Babak Dua: Tak Terduga
Babak Dua: Amarah
Babak Dua: Sebuah Permintaan
Babak Dua: Freedy dan permohonannya
Babak Dua: Langkah mundur yang berarti banyak
Babak Dua: Kamping
Babak Dua: Joey Alexander dan Devonna Lawrance
Babak Dua: Permintaan Maaf
Babak Dua: Prasangka
Babak Dua: Perasaan
Babak Dua: Perlombaan.
Babak Dua: Semua orang takut akan hal yang tak mereka tahu.
Babak Dua: Sebuah undangan
Babak Dua: Mimpi buruk yang menyelinap kembali
Babak Dua: Perjanjian
Babak Dua: Menjauh untuk mendekatkan suatu hal
Babak Dua: Montana
Babak Dua: Motel
Babak Dua: Put A Little Love On Devonna. (1)
Babak Dua: Put A Little Love On Devonna (2)
Babak Dua: Kembali
Babak Dua: Khawatir
Babak Dua: Tak terduga
Babak Dua: Apa yang kau lihat?
Babak Dua: Guardian Shoes
Babak Dua: Keluarga baru
Babak Dua: Bond
Babak Dua: Bertambah
Babak Dua: Sebuah rencana
Babak Dua: Bantuan
Babak Dua: Untuk terakhir kalinya
Babak Dua: Rahasia yang terkuak
Babak Dua: Sebuah Kunjungan
Babak Dua: Kabar di tengah malam
Babak Dua: Pada akhirnya
Babak Tiga: For better, {not} for worse

Babak Dua: Jamuan Makan Malam

33 2 2
By protagonistark

D E V O N N A   P O V

Kami terjebak di lampu merah yang begitu padat, suasananya jauh lebih ramai dari pada sore tadi. Tubuhku bersandar di punggung Joey dan dia tidak begitu keberatan aku menjadikan punggungnya sebagai sandaran. Aku memejamkan mataku dan di antara hiruk pikuk ini, aku dapat mendengar alunan musik jadul yang menari balet di dalam relung telingaku. Aku membuka mataku perlahan, melihat sebuah mobil volvo tua yang berhenti di samping kiri kami. Duduk di sana dengan santai seorang lelaki tua yang memakai sweater vest berwarna biru dengan motif kotak dan juga flat cap di kepalanya. Alunan musik jadul itu mengalun dengan volume pelan, tetapi terasa begitu kontras di antara hiruk pikuk ini.

Lampu lalu lintas kemudian menyala hijau. Joey menancap gasnya kembali dan kini dengan perlahan kami melaju meninggalkan kebisingan dan hiruk pikuk kota seperti bunga dandelion yang terbang terbawa angin kencang. Aku melirik ke arah kaca spion. Terlihat wajah Joey di sana.

"Joey... dapatkah kau mendengarku?" tanyaku.

"Ya dan itu sangat jelas secara kau berbicara di depan telingaku." tukasnya.

Aku terkikih. "Joey... aku ingin bertanya sesuatu denganmu."

"Tentang apa? Aku bersumpah jika ini tentang matematika, aku tidak akan bisa menjawabnya."

"Tidak... lagi pula mengapa aku bertanya tentang matematika." balasku. Aku menarik nafas panjang. "Mengapa kau seperti ini? Aku tahu sebagian kisahmu dari Jackson dan Ryan, tetapi aku belum pernah mendengar secara langsung darimu. Bagaimana ceritanya?"

"Aku hanya mengalami puber saja." jawabnya.

"Hey, aku serius. Aku sudah memperkenalkanmu pada ibuku sebagai temanku dan teman harus saling berbagi, jadi tidak ada salahnya berbagi." jawabku.

"Jawabanku akan sama seperti yang dikatakan oleh Ryan ataupun Jackson. Semua karena ayahku dan juga ibuku. Joey yang dulu itu lemah dan tidak kuat, aku ingin melindungi ibuku dari ayahku, aku ingin melindungi ibuku dari lelaki seperti ayahku. Aku sadar bahwa aku harus lebih kuat dari sebelumnya dan kini aku seperti itu, hanya saja lambat laun aku tahu... aku melewati batas yang seharusnya." ucapnya.

"Tidak ada kata telat untuk berubah menjadi baik." Lirihku.

"Lalu bagaimana denganmu?" Tanya dia.

"Ceritaku sangat panjang, aku yakin kau tidak suka mendengarnya."

"Tidak akan sakit untuk mencobanya." ucap Joey. "Tetapi tahan dulu, karena kita sudah sampai."

Laju motor semakin lama semakin lambat hingga kami kini berada di depan halaman salah satu rumah sub-uraban di komplek perumahan ini. Aku langsung turun dari atas jok motor dan melepas helm yang aku pakai. Arah pandang mataku langsung tertuju kepada bendera Amerika yang berkibar dengan gagah di tiang paviliun rumah tersebut.

"Ini rumahmu?" tanyaku tanpa melepaskan sama sekali pandangan dari rumah itu.

"Kita berhenti di sini karena satu alasan dan kau baru saja mengatakannya." jelasnya kemudian dia melepaskan helmnya dan menaruh helm itu di atas jok motornya. Rambut hitamnya berkibas dengan sungguh mempesona. "Ayo masuk."

Kami berjalan bersamaan menuju pintu masuk. Joey membuka pintu tersebut begitu saja, dia menaruh kunci motornya di gantungan dekat dengan pintu. Jemari tangannya bergerak melalui setiap helai rambut panjang hitamnya yang sedikit berantakan itu.

"Mom... aku pu—"

Perkataan Joey terhenti ketika kami melihat ibunya sedang berada di dapur bersama dengan seseorang laki yang mungkin berumur sebaya dengan beliau. Rambut lelaki itu terlihat hitam, tetapi ketika cahaya lampu mendarat di permukaannya itu terlihat coklat. Matanya begitu biru, tetapi aku masih ingin bersikeras bahwa mata ayahku yang paling bagus, tetapi jika soal bulu mata... ayahku mungkin kalah karena lelaki itu mempunyai bulu mata begitu lentik. Lelaki tersebut memakai apron putih yang menutupi baju biru tuanya. Di tangan dia terdapat kalkun yang baru saja keluar dari oven dengan warna kecoklatan berkilau dan aroma yang sedap.

"Hallo Joey." sapa lelaki itu dengan senyuman.

Joey memiringkan sedikit kepalanya dan matanya menyipit, "Uh... aku tidak tahu bahwa Markus akan ada di menu makam malam kita hari ini." ucap Joey. 

"Joey!" ketus ibunya sembari membuka kedua matanya lebar. "Maaf jika mom tidak memberi tahumu sebelumnya." balas ibunya lalu dia melihat diriku yang berdiri di sebelah Joey. "Tapi mom, juga melihat kau membawa seorang teman."

Joey menoleh ke arahku dan dia menggaruk bagian belakang kepalanya, "Ah... ya. Aku mengajak Devonna makan malam dan aku yakin kau sudah tahu Devonna."

"Aku belum." Jelas Markus dan dia mengarahkan tangannya kepadaku. "Markus."

Aku tersenyum dan menjabat tangannya. "Devonna Lawrance, panggil saja Devonna." ucapku dengan senyuman dan kemudian beralih kepada ibunya Joey. "Hallo Mrs. Alexnader, kita bertemu lagi."

Ibunya Joey hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pelan.

"Shut... up... ." ucap suara di sebelahku dengan begitu semangatnya. Aku langsung menoleh seketika dan saat itu juga, aku melihat seorang wanita muda dengan rambut panjang pirang dan mata yang tak kalah biru.

Kenapa banyak sekali orang yang bermata biru aku temui dalam satu hari ini?! 

"Ini pertama kalinya Joey membawa seorang perempuan setelah semua lelaki-lelaki aneh yang kau ajak ke sini!" serunya dengan antusias. "Dan yang kau bawa adalah... DEVONNA?!"

Joey mendelik ke arah perempuan tersebut. "Devonna, tolong kenalkan. Perempuan muda ini adalah adikku, Katie—adik angkat lebih jelasnya."

Aku tersenyum lebat dan merentangkan tanganku ke depan. "Devonna Lawrance."

Katie mematung melihatku. "Kau tahu, Joey sering bercerita kepadaku tentang perempuan pintar di sekolahnya." ucap Katie dan aku mengangkat kedua alisku kemudian melihat Joey yang tersenyum paksa di sebelahku. Katie kemudian mencondongkan tubuhnya. "Aku rasa dia sangat tertarik kepadamu dan jika pada akhirnya kalian pacaran... aku setuju, sangat setuju." lanjutnya dengan volume suara yang kecil.

Aku tertawa pelan. "Akan aku pikirkan itu, tetapi yang jelas untuk sekarang kami hanya teman baik saja."

"Okay baiklah, kita sudahi acara perkenalan ini. Aku dan Devonna akan ke atas. Jika kalian perlu bantuan, panggil kami saja." jelas Joey dan kemudian dia berlari ke arah tangga. Aku masih mematung di tempatku. Joey kemudian menoleh ke arahku. "Kau ingin ikut atau diam saja di situ?" tanya dia.

"Aku... aku... hanya merasa tidak sopan berada di kamar seseorang." jawabku.

Joey mengeritkan keningnya. "Well... aku mengizinkanmu, jadi kau tak perlu merasa sungkan. Terlebih kau ini hidup di era mana hingga mempunyai pemikiran seperti itu?" 

Joey menaikkan salah satu alisnya lalu menyeringai kepadaku setelah dia mengucapkan kalimat yang pernah aku katakan kepadanya dulu.

"Sudah Devonna, kalian naik saja. Kami akan kembali memanggil kalian lagi ketika makan malam sudah siap." Jelas Mrs. Alexander dengan senyuman tulusnya.

Aku mengangguk pelan dan mengikuti Joey ke lantai atas. Setiap anak tangga yang aku pijak, setiap itu juga anganku menjadi liar akan pikiranku tentang kamar Joey. Aku memikirkan kamar yang berantakan dan begitu kelam. Terdapat poster-poster band metal atau rock yang menghiasi setiap dinding kamar. Tetapi ketika dia membuka pintu kamarnya, aku begitu terkejut. Kamar Joey sangat rapih, bahkan lebih rapih dari kamarku sendiri. Nuansanya biru tua dengan campuran warna oranye. Terdapat banyak sekali bendera baseball serta pajangan sticker team football sekolah kami di dinding kamarnya yang tertata rapih.

"Woah... aku sangat terkejut dengan kamarmu. Sungguh." ucapku perlahan sambil mengangguk dan melihat segala sudut kamar ini.

"Apa yang kau pikirkan tentang kamarku? botol alkohol yang berserakan dan puntung rokok di mana-mana?" tanya dia sembari memutar tubuhnya di tengah kamar dengan kedua tangan yang sedikit terangkat dan kemudian dia berhenti, menatapku.

"Ya dan tidak jawabannya." balasku dan kemudian aku melihat Joey menaiki kasurnya. Dia membuka jendela kamarnya dan melangkah keluar. Aku sedikit merundukkan tubuhku untuk melihat dia di balik jendela kamarnya. "Apa yang kau lakukan?"

"Kemarilah, aku lebih suka di luar sini dari pada di dalam."  ucapnya.

Aku menarik nafas panjang. Menaiki kasurnya dan merangkak hingga tubuhku sepenuhnya berada di luar kamar Joey—tepatnya kini kami berada di atas atap pavilun rumahnya. Aku sedikit khawatir atap ini tak bisa menopang kami berdua, tetapi aku mencoba untuk tak memikirkan hal-hal buruk sekarang. Joey berdiri di dekat pinggir atap. Tubuhnya yang tinggi itu bisa menggapai ranting pohon yang tumbuh di depan halaman rumahnya. 

"Kau benar-benar penuh kejutan." balasku dengan senyuman.

"Well... aku masih ingin mendengar jawabanmu tentang pertanyaanku sebelumnya." jelas Joey dan kemudian dia duduk di sampingku. Kedua tangannya menopang tubuhnya yang seakan bersandar. "Aku ingin tahu lebih tentang dirimu karena sekarang kita adalah teman."

Aku menarik nafas panjang. Kami kini saling bertatapan satu sama lain. "Aku tak meningat banyak kehidupanku yang dulu, semuanya begitu cepat dan tak meninggalkan jejak satupun." ucapku dan kemudian aku mengangguk pelan. "Saat aku kecil, aku mengalami kecelakaan bersama ibuku dan dia meninggal di tempat, sedangkan aku selamat dan kritis. Setengah hidupku di dunia ini  berada di rumah sakit—bahkan bisa dibilang hingga aku kelas satu SMP. Aku menjalani perawatan dan terapi-terapi lainnya. Aku juga sempat kecanduan obat karena selama aku di rawat aku selalu mengkonsumsi obat yang sama setiap harinya hingga tak bisa lepas dari obat itu, lalu munculah depresi, pemikiran untuk bunuh diri."

"Apa kau pernah melakukannya?" tanya Joey dengan nada ragu.

"Setiap saat." lirihku dan kemudian aku mengucap lenganku perlahan. "Setelah aku sembuh, aku tidak tinggal bersama ayahku. Dia kembali menyibukan dirinya dengan pekerjaan dan di tambah nenekku yang terus menganggap aku adalah kesialan karena ya... nenekku sangat menyukai ibuku. Kehilangan dia, membuat nenekku terpukul. Akhirnya, aku tinggal bersama keluarga angkatku. Tapi tidak seperti di tempatkan ke panti sosial. Dia menempatkan aku dulu di sebuah yayasan hanya untuk beberapa hari karena ya... itu urusan legalitas, hingga akhirnya aku diangkat oleh keluarga baruku. Selama dua tahun aku tinggal dengan mereka. Depresiku makin menjadi dan seperti yang kau katakan, aku selalu mencoba untuk mengakhiri hidupku, hanya saja ada sebuah dinding yang menghalangiku setiap aku ingin melakukannya—setidaknya stiap aku melihat ayahku. Dia tetap mengunjungiku secara diam-diam, hingga akhirnya kami memutuskan untuk pindah ke Denver, menjauhi nenekku dan kami hidup berdua saja. Tetapi kami tak pernah dekat." lanjutku dan menganggukkan kepalaku pelan.

Joey duduk di sebelahku. "Wow, it's so complicated." tukas Joey dan kami diam sesaat. "Apa ayahmu tahu kau mempunyai masalah seperti depresi dan itu?"

Aku mengangguk. "Ya... dia tahu karena keluarga angkatku selalu memberi laporan kepada ayahku. Bagaimanapun dia ayahku dan harus tahu perkembangan anaknya kan? Ayahku juga tahu betapa besarnya aku menyalahkan diriku atas kematian ibuku, melihat aku tersiksa dan juga menyiksa diriku dengan seluruh kemarahanku. Dia akhirnya menyarankan untuk ikut ekskul bela diri. Tetapi aku tidak menganggap bahwa ekskul itu adalah tempat aku melampiaskan amarahku, aku melihat ekskul itu sebagai tempat pembuktiaan diriku agar diterima di keluarga ayahku. Jadi aku berusaha sekuat mungkin untuk menjadi atlit, kemudian aku mengambil semua penghargaan—berharap nenekku akan menyukaiku. Hanya sajasudah takdirku untuk diasingkan. Saat insiden aku mematahkan hidung temanku terjadi. Dia makin marah denganku."

"Jadi itu bukan hanya sekedar cerita saja?" tanya Joey sambil melihatku dengan dahi yang mengkerit.

"Aku mematahkan hidung temanku? ya, itu benar terjadi. Aku di keluarkan dari ekskulku dan teman-temanku menjauhiku. Tetapi mereka tidak tahu apa yang terjadi, aku melakukan itu karena dia menindasku, mengatakan hal yang sama yang pernah kau katakan kepadaku." jawabku dan terkikih. Joey terlihat terkejut. "Kemudian aku homeschooling, tetapi pada akhirnya dia mengirimku lagi ke sini. Entah apa tujuannya, aku tidak tahu."

"Aku telah mengatakan ini, tapi ya... hidupmu sangat rumit. Bahkan seharusnya kulit putih dan kaya sepertimu, tidak punya hidup rumit seperti ini." Tukas Joey.

"Ya... kau benar. Aku hanya ingin menunggu semuanya selesai." balasku sambil menatap ke atas langit. Memikirkan keadaanku yang bisa dibilang sekarat ini.

Ketukan pintu mengalihkan perhatian kami berdua. Terdengar suara Katie yang memberi tahu kami bahwa makanan sudah siap dan menjadi tanda bahwa ini waktunya untuk berhenti bercerita. Kami berdua kemudian turun bersama dan ketika aku menuruni anak tangga, terlihat meja makan yang sudah tertata rapih. Daging-daging sudah terpotong dengan sempurna dan piring serta gelas sudah di tata sedemikian rupa.

"Ayo cepat, kalian tidak ingin makanannya dingin bukan?" Seru Markus dengan senyuman di wajahnya.

Kami duduk bersama di meja makan. Markus memimpin doa dan setelah itu kami mulai mengambil lauk pauk ke atas piring kami. Perbincangan di meja makan merupakan hal asing untukku, aku tak pernah makan bersama keluargaku—bahkan keluarga angkatku sekalipun. Aku selalu melakukan segala aktivitasku di kamar. Mendengar keluarga Joey dan Markus membicarakan tentang hari-hari mereka, membuat aku begitu senang. 

Membutaku tersenyum dan bahagia.

Ini kah yang dimaksud dengan keluarga? aku tak pernah merasakannya.

"Lalu Devonna, bagaimana harimu?" tanya Markus melihatku. Dia masih mengunyah sisa makanan di dalam mulutnya.

"Huh?" Aku kebingungan dan melihat Joey.

"Ya... kau harus menceritakan harimu." Jelas Joey dan dia meminum sedikit air dari gelasnya.

"Uh, aku hanya akan membuat kalian bosan mendengar ceritaku tentang hari ini." ucapku dengan sedikit gugup.

Markus mengeriktan dahinya dan menyeka sisa minyak di permukaan bibirnya dengan tissue. "Itu tidak masalah. Kami di sini juga menceritakan hari-hari kami walaupun biasa saja. Ayo ceritakan kepada kami. Saat kau duduk di sini, kau adalah bagian dari keluarga ini."

Aku terdiam sesaat dan berdeham pelan. "Hari ini begitu luar biasa. Aku bersekolah seperti biasa, hanya saja aku sedikit tidak enak badan, jadi aku harus mendiami uks beberapa saat."

"Oh ya... Devonna juga mendaptkan beasiswa." selak Joey dan aku melihat ke arahnya. Dia menatapku sambil tersenyum.

"Oh benarkah itu? Selamat Devonna!" tukas Mrs. Alexander dengan bangganya.

"Kalau begitu kau harus menambah makananmu Devonna, biar kau semakin pintar dan pintar." jelas Markus yang kini menyendok sisa mash potato ke atas piringku.

Aku melihat piringku yang terisi penuh kembali. Rasa pengap memenuhi dadaku, mulutku bergetar dan kemudian pengelihatanku mulai berkaca-kaca. Suasana meja makan menjadi hening sekeitka dan aku merasa bersalah akan hal itu. Aku menyeka air mata yang keluar dengan lengan jaketku.

"Ada apa Devonna, apa kami mengatakan hal yang salah?" tanya Markus.

Aku menggeleng kepalaku pelan dan menarik nafas panjang sebelum melihat mereka semua. "Terima kasih... terima kasih telah mengizinkanku merasakan bagaimana menjadi bagian dari sebuah keluarga. Aku tak pernah makan malam bersama keluargaku."

Aku dapat merasakan tubuhku bergetar dan aku kemudian menangis. Sebuah sentuhan lembut mendarat di pundakku. Mrs. Alexander kini berada di sebelahku dan menyamakan tinggi tubuhnya dengan tubuhku yang terduduk di kursi meja makan. Aku dapat melihat senyuman di wajahnya yang begitu tulus dan lembut.

"Oh Devonna, kalau kau mau... kau bisa makan malam sebanyak mungkin dengan kami." ucap Mrs. Alexander dan kemudian dia memelukku. "Kau bagian dari keluarga ini sekarang."

—oOo—

Makan malam sudah selesai, aku membantu Mrs. Alexander merapihkan meja makan dan membawa semua peralatan makan yang kotor menuju wastafel dapur. Selagi mencuci semua piring, gelas, dan sendok. Aku melihat Mrs. Alexander yang sedang memasukkan sisa-sisa makanan ke dalam lemari pendingin, menatanya agar itu tidak berantakan. 

"Mrs. Alexander." panggilku dan dia menoleh kepadaku. "Aku minta maaf karena merusak suasana makan malam ini." lanjutku.

"Oh tidak sayang... kau tidak mengacaukan makan malam ini. Malah kau menambahkan bumbu yang spesial." balas dia dengan senyuman. "Devonna, jika kau merasa sedih... merasa kesepian dan butuh seseorang untuk menghiburmu. Kau bisa ke sini, bermain bersama Joey atau Katie—karena terlihat jelas adiknya Joey sangat menyukaimu. Bahkan jika kau mau, kau bisa menginap di sini. Aku tidak keberatan sama sekali."

"Terima kasih atas tawarannya, tetapi aku merasa tidak berhak atas itu semua setelah apa yang aku lakukan kepada Joey." ucapku dan aku melihat Mrs. Alexander kebingungan. "Aku hampir membahayakan nyawa Joey dan aku belum minta maaf kepadamu atas hal itu. Maafkan—"

"No... i'm sorry, Devonna. Sebagai ibunya Joey, dia mengakui kesalahannya dan memberi tahu apa yang terjadi hingga kau bisa melakukan itu padanya." Jelas Mrs. Alexander sambil melihatku dengan tegas dan kemudia tersenyum. Dia mengalihkan pandangannya lagi dan lanjut mencuci piring. "Aku pikir Joey juga tidak membesarkan masalah itu. Aku senang kalian bersahabat dan aku berterima kasih kepadamu karena kau perlahan mengembalikan seorang Joey Alexander yang aku kenal dulu.."

Aku menghela nafas panjang, "Tapi tetap saja, apa yang aku lakukan bisa saja membahayakan Joey."

"Ya... hanya saja semua itu sudah berlalu, jangan dipermasalahkan lagi. Aku yakin kau juga sudah belajar dari kesalah itu. Hiduplah untuk sekarang, bukan kemarin atau nanti. Apa yang sudah berlalu biarkan berlalu dan jadikan pelajaran untuk diri kita." ucapnya.

Mrs. Alexander kemudian berjalan menuju ruang keluarga, di mana di sana terdapat Joey, Katie, dan Markus sedang menonton acara olahraga tinju bersama. Aku mengambil kain perca untuk mengeringkan piring yang masih basah. Aku melihat kulit tanganku yang sedikit berkeriput dan tak lama kemudian, ponsel di dalam saku jaketku bergetar. Aku mengambil ponselku dan melihat terdapat satu pesan masuk. Aku segera memeriksanya dan itu dari Dokter Andrew.

Dia memintaku untuk mengunjunginya besok pagi, dia akan memberi tahuku tindakan apa yang harus aku jalani dan lain-lainnya mungkin. Jadi aku rasa aku akan membolos untuk sekian kalinya. Aku melihat jam di ponselku dan aku rasa ini waktu untukku pulang.

"Mrs. Alexander... ." panggilku dan seluruh orang melirik ke arahku. "Aku pikir aku harus pulang." balasku.

"Cepat sekali Devonna? Mainlah dulu sebentar... ." ucap Mrs. Alexander.

Aku tersenyum, "Ini sudah telalu malam dan aku pikir, kasurku akan merindukanku jika aku tak segera berada di atasnya." balasku dengan kikihan.

Mrs. Alexander terlihat sedih, "Kalau begitu, hati-hati. Ini sudah malam." jelasnya lalu dia meliaht Joey. "Antar dia Joey."

Joey mengerang panjang sambil mendongakkan kepalanya ke atas, "Dia bisa sendiri mom." Jelas Joey.

"Hey, kau ini lelaki... bersikaplah seperti salah satunya!" ketus Mrs. Alexander dan aku hanya tersenyum sambil melihat pertengkaran kecil itu. Aku benar-benar merasa seperti saat bersama ayahku.

"Tidak perlu Mrs. Alexander, aku bisa sendiri." balasku dan dia melihatku. "Terima kasih telah memberikan aku kesempatan untuk makan malam bersama kalian." lanjutku.

Aku melangkah keluar dari pintu rumah Joey. Suasana hangat dan nyaman berganti dengan dingin dan sunyinya malam. Aku mengeratkan jaket yang aku kenakan selagi kakiku melangkah keluar dari halaman rumah Joey.

"Hei Devonna!" panggil Joey dibelakangku. Aku menoleh dan melihat dia berdiri sembari mengarahkan sebuah dompet kepadaku. "Kau meninggalkan ini di meja makan." lanjutnya.

Aku terkikih dan megambil dompet tersebut. "Ck, aku sangat pelupa... padahal semua ini belum seberapa. Terima kasih."

"Sama-sama." Balas Joey dan dia melihatku memasukkan dompetku ke dalam tas. "Dev... tentang beasiswa itu aku serius dan turut bahagia denganmu. Kau pantas mendapatkannya."

Aku menghembuskan nafas lega dan mengangkat wajahku sehingga kini kami saling bertatapan. Aku tersenyum untuk mengurangi kecurigaan yang mungkin akan muncul dari dirinya. "Terima kasih, aku juga tidak menyangka bisa mendapatkan beasiswa seperti itu." lanjutku dengan tawa canggung.

Joey manikkan salah satu alisnya dan tersenyum miring, "Ya... tidak heran. Maksudku... siapa yang tidak terkesima dengan penampilanmu di lomba kemarin? Aku saja terheran-heran kau bisa menjawab semua itu dengan mudahnya."

"Well... Itu berarti seluruh buku yang aku baca bisa berguna setidaknya." balasku sambil terkikih. "Baiklah Joey, aku harus segera pulang."

"Ya... aku tidak ingin menyita banyak waktumu untuk pulang. Maafkan aku tak bisa mengantarmu kembali? Aku ingin mengintrogasi Markus. Ini sudah kedua kalinya dia berusaha mendekati ibuku." ucap Joey.

Aku terkikih pelan. "Dia terlihat begitu baik dan aku melihat kau menikmati keberadaannya di tengah keluargamu, Joey. Easy with him, okay. Sampai jumpa—"

Joey memeluk tubuhku dengan erat. Aku dapat merasakan ke hangatan tubuhnya dan juga deru nafasnya. Setelah beberapa saat dia melihatku dan mengangguk. "Hati-hati." lirihnya dengan senyuman.

Continue Reading

You'll Also Like

768K 47.1K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
260K 5.8K 17
Chalystha,,,gadis cantik yang sederhana, walaupun dia dari keluarga berada.dia terpaksa meninggalkan kekasih nya yang dia cintai ,karna dia di jodohk...
503K 15.5K 42
KONTEN DEWASA !!! Sebelum 18+ DILARANG BACA. Tapi sebelum baca kuatkan tekad dan ini bukan untuk di CONTOH Aku dan kau menikmatinya, soal cinta ata...
1.2M 8.1K 7
Rosalicia harus hidup dengan pilu. Gadis yatim piatu tanpa keluarga dan saudara, penuh kesendirian hingga dia bertemu dengan Zeferino. Rosalicia awal...