Assalamu'alaikum..
Mohon maaf,
Kalau Tentang Rasa ini agak slowrest, karena memang postingan ini hanya sekedar mengisi kekosongan pas CindPes ngadat ide😁😁
Selamat membaca..
Jangan lupa krisannya ya di kolom komentar, dan klik bintang yang ada di pojok kiri bawah atau kanan atas..
Aku masih menatapnya sambil berpura-pura sibuk dengan bacaanku. Sebuah pesan darinya masuk ke dalam grup keluarga. Gambar kegiatan kami di sebelah sini. Karena dia lebih memilih untuk bersama dengan keluarga kami yang lain.
Sebenarnya, aku pun lebih suka berkumpul bersama dengan para tetua, mendengar dongeng tentang kehidupan mereka di masa lampau.
Serta cerita tentang perjuangan mereka menjalani hidup hingga saat ini. Hanya saja, setelah kejadian tadi, aku jadi enggan untuk berdekatan dengannya.
Kekhawatiranku sebenarnya tidak beralasan. Kalaupun itu bisa dijadikan alasan tetap saja tidak masuk akal. Aku takut, Hasna akan kembali mengulang kecerobohannya di depanku. Aneh bukan?
*****
Aku baru saja membuka pintu saat ku dengar bunyi derap langkah dari luar. Kulihat ia mengulas senyum yang terasa aneh buatku. Tanpa membalas senyumnya, ku langkahkan kakiku ke luar. Mendekat ke arah Amar yang terlihat tengah bersedekap menahan dingin, padahal sudah memakai jaket.
"Ngapain di sini?" tanyaku mengagetkannya.
"Nungguin Hasna."
"Mau kemana?"
"Jalan-jalan sekitaran sini, cari makan."
"Marung?"
"Tergantung."
"Naik apa?"
"Tuh!" dia menunjuk motor maticnya dengan dagunya.
"Sama aku aja! Ayo!"
"Tapi Hasna nanti ngambek loh!"
"Nanti aku yang urus! Ayo!"
kurangkul ia dengan paksa sambil berjalan menuju motornya. Memaksanya membawaku, menggantikan Hasna. Entahlah, mungkin karena aku merasa kalau tidak pantas Hasna yang seorang santri jalan berdua, naik motor dengan laki-laki yang bukan mahromnya. Meski laki-laki itu Amar, kakak sepupunya.
Benar saja, kami pulang dengan sambutan wajah cemberutnya. Bahkan dia nyaris menolak untuk makan. Aku yang memang tidak suka gadis yang terlalu manja, sengaja membiarkannya sejenak untuk mengisi perutku sendiri. Aku bahkan, menyuruh Amar untuk tidak memaksanya. Dan ku terima respon cukup mengerikan. Bantingan pintu.
Nasi goreng di depanku sudah habis, milik Amar. Mungkin dia memang kelaparan. Dan nasi di piringku, ternyata hampir tak tersentuh. Rasa lapar yang tadi juga sempat memuncak, mendadak menghilang dengan bantingan pintu yang cukup keras.
Amar sudah masuk ke kamarnya, saat aku masih berkutat dengan sendok dan piring berisi nasi goreng milikku. Nasi yang kusuapkan terasa sulit untuk tertelan setiap kali melirik sebungkus nasi goreng di dalam plastik lengkap kerupuknya. Ku hela nafas perlahan, lalu beranjak menuju dapur. Menyiapkan piring, sendok, beserta segelas air yang kutata dalam nampan. Setelah meletakkan bungkusan nasi goreng di atas piring, ku coba untuk mengetuk pintu kamar Hasna.
Ku ketuk pintu perlahan. Saat ia bertanya siapa, sengaja tak kujawab. Karena mungkin, ia akan lebih mengamuk lagi jika tau kalau aku yang ada di depan pintu. Tak disangka, ia membuka pintu lebih cepat dari perkiraanku.
Kudapati wajahnya yang tampak terkejut melihatku. Ku lirik bantal guling yang perlahan-lahan ia lepaskan. Merasa tak enak berdua saja, lekas ku serahkan nampan berisi nasi itu dengan kata-kata yang mungkin membuatnya tambah jengkel. Masa bodoh. Yang penting, mala mini dia tidak tidur dengan perut yang lapar. Jadi, aku tak perlu merasa bersalah.
****
Hal yang paling aku suka saat liburan adalah, mengaji Alquran setiap habis subuh di gazebo ini. Gazebo yang terletak di halaman belakang rumah. Berhadapan dengan kebun bunga milik eyang uti yang sampai kini masih dirawat oleh eyang kakung. Bunga melati yang mulai mekar memenuhi pojok kebun, membawa wangi yang sangat menenangkan. Seolah berbaur dengan bau embun yang juga membuat tanah dan rumput tampak basah.
Lagi-lagi Hasna berusaha untuk mendekatiku. Awalnya aku berusaha untuk tidak memperdulikannya.
Namun, saat ia memilih tempat duduk yang cukup denganku, lekas ku tarik pantatku menjauh. Tak kusangka, ia malah melontarkan pertanyaan yang sangat menohok.
"Memangnya Hasna barang najis?"
Wah, pertanyaan ini hampir membuat tawaku meledak.
"Ya, ya, semoga aja nanti bener-bener tuli!" ucapnya lagi. Kali ini bukan pertanyaan, lebih kepada doa.
Dia ternyata benar-benar masih belum mengerti tentang kekuatan ucapan yang juga bisa menjadi doa. Baik bagi dirinya, maupun bagi orang lain. Aku cukup tersinggung dengan ucapannya kali ini. Makanya aku lebih memilih untuk pergi.
Ketenanganku mulai terusik. Ternyata gadis itu tak hanya mampu mengusik kesibukanku. Tapi juga hatiku yang biasanya tidak ingin tau urusan orang lain, kini malah duduk sambil memperhatikannya dari cermin.
Memperhatikan kedekatannya bersama Amar. Ternyata, perempuan di mana saja juga sama. Saat ada laki-laki lain memberi perhatian sedikit saja padanya, sikapnya langsung berubah. Kuputuskan untuk masuk kamar dari pada terus menerus mengotori hatiku dengan kesimpulan-kesimpulan yang aneh tentang mereka.
****
Paginya, aku cukup terkejut dengan permintaan Om Ahmad yang tak lain adalah Ayah Hasna. Memintaku untuk mengajak Hasna ke pesantrenku. Bukan aku tak mau, hanya saja untuk berdua saja dengannya, rasanya akan sangat canggung. Apalagi dia bukan wanita yang halal untukku. Makanya aku sengaja meminta ijin untuk mengajak mahrom untuk kami, baik adikku atau adiknya. Beruntung, Salma adikku mau.
Aku pikir, akan lebih baik jika dia duduk di kursi belakang, bersama Salma. Tapi, aku akan terlihat seperti supir baginya nanti. Walau agak riskan, kubiarkan saja dia mengambil tempat di sampingku.
Tujuanku ke pesantren, karena memang ada yang mau aku bicarakan dengan seseorag di sana. Ning Syahida. Aku lebih suka memanggilnya, Ning Hida. Putri satu-satunya dari Kyai Maimun dan Nyai Juwairiyah.
Perempuan yang sangat aku hormati. Meski usianya terpaut tiga tahun di bawahku, lebih tua setahun dari Hasna. Namun, dalam pandanganku, dia adalah seorang gadis yang sangat berbeda dari gadis lainnya.
Bukan hanya karena dia putri dari seorang kyai besar di sana. Melainkan karena sopan santun dan tutur bahasanya yang selalu mampu membuat orang mengurai senyum, bahkan tak berani menatap matanya. Sifatnya yang selalu rendah hati dan lemah lembut, terkadang selalu menjadi perbincangan di antara kami, para santri putra.
Sebenarnya aku tidak enak jika selalu bertemu dengan Ning Hida di luar jam mengajarku. Karena para santri pasti akan langsung menggodaku. Seolah-olah aku mempunyai hubungan khusus dengannya.
Padahal pertemuanku dengannya tak lebih karena Ning Hida sering berkonsultasi tentang mata kuliah yang tidak dia ketahui. Mungkin, karena aku satu-satunya orang yang paling dekat dengan Kyai Maimun.
Dan, aku jugalah yang mendapat mandat dari Kyai Maimun langsung untuk membantu Ning Hida selama belajar di perguruan tinggi.
Hasna sengaja tak aku ajak masuk. Karena aku tak ingin dia melakukan kecerobohan lainnya yang akan membuat aku malu pada Ning Hida. Kebetulan, alasan Salma yang tengah tidur menjadi jurus ampuh agar ia tak bisa meninggalkan mobil.
Pertemuanku dengan Ning Hida hanya sebentar kali ini, karena Ning Hida masih ada acara di luar pesantren. Aku hanya memberikan laporan yang sebelumnya sudah ia taruh dalam falshfisk untuk didiskusikan denganku.
Tatapan mata gadis di dalam mobilku terlihat begitu menakutkan kali ini. Berbeda sekali dengan tatapan mata dari Ning Hida yang masih terlihat teduh menungguku hingga keluar dari kampus. Jadi, sebelum ia meledak-ledak. Lebih baik aku coba untuk menghilang darinya beberapa saat. Dan pilihannya jatuh pada makam.
*****
Aku tengah menunggu Hasna selesai dari maqbaroh. Entah kenapa, saat melihatnya keluar dengan wajah yang masih basah, ingin sekali kuabadikan wajah itu. Perlahan kuarahkan kamera ponselku pada wajahnya yang tampak menunduk sambil membenarkan lengan bajunya. Satu jepretan wajahnya kudapat sebelum ia membuka pintu mobilku.
Sengaja aku memilih depot yang tidak begiu jauh dengan letak pesantren. Biasanya depot itu juga menjadi tempat makan para mahasiswa yang tidak mondok. Atau mereka yang memilih kos di sekitar pesantren. Suasana kali ini cukup sepi, mungkin karena masih liburan pesantren.
Hasna mengarahkan ponselnya ke arahku. Meski aku tak tau yang sebenarnya, hanya saja feellingku terlalu kuat untuk itu. pasti dia akan melakukan hal yang sama seperti kemarin. Mengambil gambarku diam-diam. Makanya aku langsung berkata untuk tidak aneh-aneh. Dan benar sekali, ia menurunkan ponselnya tanpa menekan tombol apapun terlebih dahulu.
Dia tidak pernah belajar dari pengalaman. Sudah ke dua kalinya dia melakukan sesuatu yang bisa membuatnya malu. Masih saja diulang kembali. Kali ini, Salma yang memergokinya. Entahlah, aku tak berani menatap wajahnya. Pasti sekarang ia tengah menahan malu yang sangat besar terhadapku, karena kepergok mau mengambil gambarku dengan jelas seperti celoteh Salma. Ada-ada saja.
****
Namanya Adit, laki-laki yang baru saja Hasna kenalkan padaku. Wajahnya, tampan dan bersih. Nyaris tak ada janggut atau kumis tipis di sekitar dagunya. Mungkin seperti tipe-tipe gadis jaman sekarang yang lebih mengidolakan artis Korea. Persis. Model rambutnya juga berponi, tanpa kopyah atau topi.
Ransel berwarna hitam terpasung di kedua pundaknya. Ia terlihat bahagia mengobrol dengan Hasna, begitu juga dengan Hasna. Wajahnya yang terlihat kesal sejak tadi, berubah drastis setelah bertemu dengan Adit. Siapa Adit sebenarnya?
Dia terlihat sibuk dengan ponselnya sejak tadi bertukar nomor hape. Pasti tengah bernostalgia dengan pria bernama Adit itu. Senyumnya jelas sangat menggangguku. Ada getar tak terima dalam hatiku. Mungkin, karena aku pikir, tak seharusnya sebagai perempuan, ia begitu mudah menyerahkan nomor ponselnya pada laki-laki lain. Apalagi, laki-laki itu tidak dekat dengannya.
Ingin sekali bertanya, siapa Adit itu? Namun, khawatir dia akan menganggapku yang bukan-bukan. Lebih baik kualihkan saja fokusnya kali ini pada kegiatan Salma. Apalagi, tadi aku mengajak Salma dengan janji untuk membelikannya maenan.
Kuperhatikan ia dari jauh. Meski aku bilang, aku akan pergi karena ada urusan tadi. Yang sebenarnya adalah, aku ingin melihat apa dia termasuk gadis yang bertanggung jawab atas tugasnya atau tidak.
Aku berada di sini, di pojok ruangan playground. Tertutupi oleh kasir penukaran lotere. Ternyata, dia gadis yang bisa melaksanakan tanggung jawabnya dengan benar. Ia sama sekali tak terlihat memainkan handphonenya. Walau untuk sekedar menghubungiku karena terlalu lama meninggalkannya. Ia masih fokus pada Salma yang asyik menikmati segala macam permainan di sana.
Fix. Kuhentikan ini semua, karena melihatnya terlihat sangat kelelahan meladeni Salma. Senyum puas terpatri di bibirku. Seolah ada orang jahat dalam tubuh ini. Aku mendekatinya dengan sebotol minuman untuknya.
****
Bersambung dulu ya..