Why Don't We? [alternative ve...

By protagonistark

2.5K 128 170

Devonna Lawrance, perempuan cerdas yang sangat-sangat malas untuk bersekolah, dipaksa ayahnya untuk memasuki... More

Halo semua kembali lagi
Babak Satu: Devonna Irvine Lawrance dan Kemalangannya
Babak Dua: Nama dia Joey Alexander
Babak Dua: Devonna dan Joey
Babak Dua: Pekerjaan Pertama
Babak Dua: Hampir saja
Babak Dua: Kau Berhak Dicintai
Babak Dua: Rasa Sakit
Babak Dua: Lagi
Babak Dua: Dua Dunia Berbeda
Babak Dua: Sakit
Babak Dua: Tak Terduga
Babak Dua: Amarah
Babak Dua: Sebuah Permintaan
Babak Dua: Freedy dan permohonannya
Babak Dua: Langkah mundur yang berarti banyak
Babak Dua: Kamping
Babak Dua: Joey Alexander dan Devonna Lawrance
Babak Dua: Permintaan Maaf
Babak Dua: Prasangka
Babak Dua: Perasaan
Babak Dua: Perlombaan.
Babak Dua: Semua orang takut akan hal yang tak mereka tahu.
Babak Dua: Sebuah undangan
Babak Dua: Jamuan Makan Malam
Babak Dua: Mimpi buruk yang menyelinap kembali
Babak Dua: Perjanjian
Babak Dua: Menjauh untuk mendekatkan suatu hal
Babak Dua: Montana
Babak Dua: Motel
Babak Dua: Put A Little Love On Devonna. (1)
Babak Dua: Put A Little Love On Devonna (2)
Babak Dua: Kembali
Babak Dua: Khawatir
Babak Dua: Tak terduga
Babak Dua: Apa yang kau lihat?
Babak Dua: Guardian Shoes
Babak Dua: Keluarga baru
Babak Dua: Bond
Babak Dua: Bertambah
Babak Dua: Sebuah rencana
Babak Dua: Bantuan
Babak Dua: Untuk terakhir kalinya
Babak Dua: Rahasia yang terkuak
Babak Dua: Sebuah Kunjungan
Babak Dua: Kabar di tengah malam
Babak Dua: Pada akhirnya
Babak Tiga: For better, {not} for worse

Babak Dua: Pintu masuk ke masa lalu

59 2 4
By protagonistark

Aku mendorong pintu cab dan melempar juntaian scraf rajut kebekang leherku sebelum memasuki gedung rumah sakit. Tidak ada yang berbeda, semua terlihat sama—mungkin alat yang ada di pojok sana, terakhir kali aku ada di sini, alat itu masih belum ada. Tidak ada keraguan di dalam hidupku bahwa aku dan rumah sakit mempunyai hubungan yang spesial, bahkan aku menghabiskan setengah masa kecilku di dalam sini. Bermain dengan orang-orang yang bernasib sama— kurang beruntung sepertiku.

Aku langsung melangkah mendekati meja resepsionis dan mendaftarkan diriku untuk menjadi tamu kembali setelah sekian tahun lamanya untuk bertemu seseorang, katakan saja bahwa aku akan bertamu di rumah teman lamaku. Petugas memberikan aku sebuah perangkat alat elektronik di mana di dalamnya terdapat sebuah formulir pendaftaran yang isinya tidak lain seperti kertas biodata yang sering kalian tulis di buku diary kalian— kecuali tanpa makanan atau apapun yang bersangkutan tentang favorite di akhir kalimatnya.

"Terakhir kali aku ke sini, aku masih harus menulis dengan pena." Ucapku sembari mengetik beberapa informasi tentang diriku di perangkat elektronik itu.

Petugas itu melihatku sambil tersenyum. "Kita mempunyai banyak hal yang tak bisa kita hindari di dunia ini dan salah satunya adalah perkembangan zaman."

"Aku setuju denganmu. Ini dia, aku sudah selesai." Balasku dan mengarahkan perangkat elektronik itu kepada dia.

"Baiklah... silahkan duduk di ruang tunggu. Perawat akan memanggil namamu."

"Thank you." Balasku dan kemudian aku berjalan menuju kursi kosong yang ada di ruang tunggu.

Cahaya lampu flouresence yang berada di atas menerangi ruangan tunggu dan walaupun begitu, keadaan ruang tunggu ini tetap terlihat suram dan dingin. Aku menghembuskan nafas menuju kepalan tangan yang sudah berada beberapa sentimeter saja jaraknya dari mulutku. Aku menggigit bibirku dan menggerakkan kakiku seperti seseorang yang gundah dan gusar.

Aku memejamkan mataku dan membayangkan jika semua hal yang aku tinggalkan dibelakang kembali menghampiriku. Nafasku bergetar, suasana kembali menjadi dingin, seperti memasuki dunia mimpi ketika aku sepenuhnya sadar. Cahaya putih yang terang itu mendekati bagaikan kereta, membuat seluruh tubuhku seperti jatuh ke atas aspal berlapis es di musim dingin menjelang Natal.

"Spance, duduklah di sini." Suara dari seorang wanita yang kembali menarik dirirku keluar dari lamunan mimpi burukku.

Aku menoleh ke arah wanita itu. Rambut pirang panjang sedikit bergelombang, make-up yang tidak terlalu tebal, bibir berlapis lipstick pink sedang sibuk mencari sesuatu di dalam tasnya. Tak lama kemudian seorang lelaki muda datang menghampirinya. Dia mempunyai rambut brunette keriting pendek, matanya biru susu dan kami sempat bertatapan beberapa saat sebelum dia duduk di samping wanita itu—dan berarti dia duduk di sebelahku.

Aku terus melihat mereka saling berbicara sesuatu yang tidak terlalu aku mengerti. Well, ada beberapa istilah kedokteran yang aku mengerti, tetapi selain itu tidak lagi. Lelaki itu sadar aku melihatnya, matanya sedikit disipitkan dan aku sadar dia mempunyai warna bibir cukup merah.

"Apa kau mempunyai masalah dengan kami?" tanya dia dengan nada tidak bersahabat.

Aku mengeritkan dahiku. Wanita yang ada di sampingnya memukul lengannya pelan dan menaikkan kedua alisnya seakan mengancam lelaki muda yang bernama Spance itu. "Oh... maafkan aku."

Aku tersenyum. "No, my bad... ." Balasku.

Kemudia kedua orang itu kembali berbincang. Aku melihat wajah perempuan itu dengan teliti, aku dapat merasakan di atas kulitku bahwa aku mengenalnya. Aku mencoba mengingat dengan baik mengapa sosok perempuan asing ini sangat tidak begitu asing di dalam pikirianku. Setelah beberapa saat menggali setiap kuburun yang menyimpan memori-memori penting di otakku, akhirnya aku sadar bahwa dia adalah perempuan yang sama yang aku temui bersama ayahku di bioskop dulu.

"Hei—" panggilki tetapi terhenti begitu saja.

"Nona Justin Langford." Seru seseorang suster yang memotong perkataanku.

Perempuan dan lelaki itu langsung berdiri dari kursi. Mereka berjalan bersama menuju sebuah ruangan di mana terdapat seorang perawat yang berdiri di depan pintu masuknya. Lelaki itu sempat menoleh ke arah diriku sekilas dan kemudian mereka menghilang di balik pintu berwarna coklat itu.

"Devonna Lawrance." Seru seorang perawat yang keluar dari ruangan pemeriksaan. Aku segera berdiri dari tempatku."Silahkan masuk, Dokter Andrew sudah menunggumu di dalam." Ucapnya dengan senyuman.

Aku melangkahkan kakiku memuju ruangan Dokter Andrew, terdengar suara pintu yang baru saja tertutup di belakangku. Dokter Amdrew todak berubah sama sekali, dia tetap dokter yang sama yang aku temui lima tahun yang lalu.

"Devonna." Ucap Dokter Andrew dengan nada yang begitu bersahabat. "Sudah lama kita tidak bertemu." Jelasnya dengan senyuman. Dia mendorong kursi kerjanya mendekati meja.

Mataku melihat Dokter Andrew, kini aku bisa lebih jelas melihat beberapa perbedaan dirinya. Rambutnya terlihat memutih di beberapa bagian. Kultinya juga memjlai berkeriput, serta ka tjng mata yang membesar di bawah matanya itu.

Dokter Andrew merupakan dokter pribadiku. Semua itu bisa terjadi karena aku telah menghabiskan banyak waktuku bersamanya, bahkan mungkin bisa dikatakan lebih banyak dibandingkan bersama dengan ayahku. Ketika kami pertama bertemu, Dokter Andrew terlihat begitu muda. Kalian mungkin bisa bilang bahwa aku masih cukup kecil mengingat apa yang terjadi, tetapi nyatanya aku hampir ingat dengan kehidupan masa kecilku yang aku habiskan di sini daripada bermain di luar seperti anak normal lainnya. Aku ingat banyak sekali perawat perempuan yang selalu menempel dengan dirinya. Seakan dia adalah Ryan untuk rumah sakit ini.

Walau Dokter Andrew sudah bisa dikatakan menjadi pemeran pengganti ayahku selama aku tinggal di sini, tetapi bagiku dia adalah saudara lelaki yang tak pernah aku miliki. Terkadang jika ayahku datang untuk menjengukku dan dia langsung disambut dengan kabar buruk, orang pertama.yang akan diluapi oleh kemarahannya adalah Dokter Andrew. Aku tahu itu karena Dokter Andrew sering curhat kepadaku selagi dia mengajakku main playstasion yang sebenarnya saat itu aku tidak boleh memainkannya, tetapi menurutnya aku berhak mendapatkan hadiah setelah lusinan pemgobatan serta terapi yang aku jalani. Maka dari itu, dia melonggarkan beberapa aturan ketat yang diberikan oleh rumah sakit untuk diriku.

Tetapi yang lebih baik dari itu semua,

Aku merupakan pasien pertama yang dapat ia sembuhkan di tahun pertamanya menjadi seorang dokter.

Aku segera duduk di bangku yang baru saja aku tarik dari depan meja kerjanya. "Sudah lama sekali dan rasanya, sudah sangat berbeda sejak terakhir kali aku ada di sini."

Dokter Andrew tertawa. "Ya... ada beberapa perubahan dari rumah sakit dan juga tentnunya aku menata ulang ruang kerjaku setelah ayahmu menceramahiku panjang lebar tentang tata interior kepadaku." Jelasnya kemudia dia tertawa.

"Sepertinya ayahku tidak membiarkan orang lain luput dari cermaha aristeknya." Balasku.

Dokter Andrew tersenyum. "Lalu mengapa kau ada di sini Devonna?" Tanya Dokter Andrew.

Aku hanya terdiam, melihat dirinya dengan perasa binggung bercampur khawatir.  Tapi aku audah membulatkan tekadku, apapun jawabannya aku siap. Aku menarik.nafas perlahan dan menatap Dokter Andrew dengan serius.

"Sudah hampir memasuki dua bulan aku selalu merasakan sakit kepala. Terkadang tidak begitu sakit dan terkadang rasa sakitnya seperti Rick yang memukul kepala Zombie menggunakan tongkat baseball hingga otak mereka berceceran di aspal panas dan dalam beberapa keadaan tertentu aku mimisan... sangat banyak." Jelasku.

Aku dapat menyadari bahwa dokter andrew terkejut atas pernyataanku tapi  dia mencoba untuk tetap tenang. "Mungkin kau hanya kelelahan, itu bisa menjadi efek samping. Selain itu kekurangan vitamin dan makanan bergizi juga bisa berefek. Bagaimana menu makanmu selama dua bulan itu, apa seimbang?" Tanya dia.

"Tidak, tapi—"

"—maka tidak perlu ada yang kau takutkan. Kau tidak perlu takut akan mimpi buruk itu datang lagi untukmu." Jelasnya.

"Ya... ." Balasku dan kemudian merundukkan kepalaku. "Semua orang takut mimpi buruk, bukan begitu?" lanjutku kemudian melihat dia. "Tapi... ini tidak lazim. Selama ini aku selalu merasa sakit di jam yang sama, berulang dan berulang. Semua itu tidak beda dari anak kecil yang kau rawat dulu—anak kecil yang sama terbaring di salah satu ruang rumah sakit ini."

Dokter Andrew menarik nafas panjang. "Kau teralu muda untuk mengingat itu."

"Rasa sakit akan selalu membekas, bagaimanapun kau berusaha melupakannya." Balasku dan kemudian aku melihat Dokter Andrew.

Dokter Andrew terdiam sesaat sembari meihatku. "Devonna, kau tahu bukan hanya masalah itu yang jadi ke khawatiranku." Ucapnya dan aku memejamkan mataku, merasa kecewa. "Umurmu terlalu muda saat itu—jika aku ingat tentang semuanya. Aku mungkin menyembuhkanmu dulu, tetapi aku juga menimbulkan masalah baru. Kau kecanduan obat-obatan di saat umurmu baru delapan tahun. Kau ada dalam watchlist istimewaku dan jika kau menginginkan tindakan medis lebih lanjut, maka kau harus membawa ayahmu ke sini. Kau tahu itu, kita sudah membicarakannya."

"Bahkan jika aku hanya meminta MRI saja?" tanyaku.

"Maafkan aku, Devonna. Tanganku terikat ketika kau mengalami hal itu." Jelas dia dengan penuh rasa penyesalan yang mendalam dan medarah daging di tubuhnya.

"Jadi maksudmu aku sia-sia datang menemui dirimu, Dokter Andrew?" Tanyaku dan Dokter Andrew hanya terdiam. "Awalnya aku kira semua telah berubah, tetapi tetap saja semua sama. Aku hanya ingin menghilangkan rasa sakit ini saja, jadi aku bisa menjalani hari esokku dengan bebas."

"Maafkan aku, Devonna. Kau bisa datang dengan ayahmu." Jelasnya.

"Dokter Andrew, kau tahu dengan sangat bahwa aku tida mempunyai seorang ayah hingga detik ini. Bagaimana bisa aku memintanya?!" Balasku dengan kikihan perlahan. "Ayahku mempunyai banyak kesempatan untuk bersamaku, hanya saja dia tak berusaha untuk melakukannya. Jadi aku tidak tahu apakah dia akan datang, karena Dokter Andrew.—" Aku bangkit dari kursi. "—aku tidak tinggal bersamanya—lagi— untuk sekian kalinya. Tetapi terima kasih, setidaknya kau memberikan jawaban padaku walau tidak memuaskan."

Aku memutar tubuhku dan berjalan mendekati pintu keluar.

"Apa kau benar mengalami semua itu?" Tanya Dokter Andrew dan langkah kakiku kemudian berhenti.

"Seperti yang aku katakan." Jelasku sedikit menoleh. "Kau tak akan pernah melupakan rasa sakit."

Tak lama setelah itu, aku mendengar suara sobekan kertas. "Tebus ini di apotek. Dosisnya tidak begitu tinggi, tetapi ini bisa membantumu untuk melupakan rasa sakitmu dan aku akan berusaha sebisa mungkin mengatur jadwal MRI untukmu." Jelasnya.

"Kau tak perlu bersimpati kepadaku karena aku mengatakan hal tentang ayahku. Jika kau tak bisa, maka biarkan saja." Balasku.

"Dengar Devonna, dengan kau kecanduan saja sudah menjadi beban untukku, tetapi aku tahu kau kini sudah berubah. Kau kuat dan tahu apa yang harus kau lakukan untuk dirimu dan aku tak akan membiarkan dirimu pergi ke dokter lain. Kau adalah tanggung jawabku dari hari pertama hingga detik ini." Jelasnya dan kali aku aku memutar tubuhku untuk melihat Dokter Andrew yang masih duduk di kursi kerjanya. "Kau pasien istimewaku Devonna. Pasien pertama yang bisa aku sembuhkan, kau adalah jimat keberuntunganku. Terkadang aku menceritakan kisahmu kepada seluruh pasienku dan mereka sangat ingin berterima kasih karena kau telah menjadi lentera mereka. Ambilah resep itu dan jangan berlebihan."

"Bagaimana jika api di dalam lentera itu padam?" Tanyaku.

"Aku akan memantiknya kembali." Jelasnya dengan serius. "Seperti yang pernah aku lakukan kepada lentera itu sebelumnya."

Aku mengambil  resep obat tersebut dan memandangnya sebentar sebelum berjalan keluar dari ruangannya. Aku berdiri di balik pintu, menyadari bahwa ini adalah obat yang sama seperti yang digunakan Dokter Andrew dulu ketika menenangkan aku dari rasa sakit.

Aku melipat kertas resep itu dan menaruhnya di kantung jaket. Aku berjalan keluar dari gedung rumah sakit dan langsung mengunjungi taman kota yang tak jauh dari sini. Aku tahu, bahwa seharusnya aku menebus obat ini, tetapi aku butuh udara segar untuk kepalaku yang sudah begitu penat. Aku duduk di salah satu bangku taman yang sudah sedikit rapuh dan berlumut. Melihat setiap orang yang mempunyai berbagai macam kegiatan berlalu lalang di sini. Ada yang berolahraga, sekedar berjalan-jalan atau duduk sembari membaca novel kesukaan mereka, ada yang mengadakan piknik kecil-kecilan, dan ada pasangan yang membantu anak mereka untuk menaikki layangan ke atas langit Denver yang begitu cerah di pagi menjelang siang ini.

"Hai, Devonna." Lirih seseorang dan aku menoleh, melihat Tyler dengan setelan baju rapih berdiri di belakangku. Dia memakai kacamata dan tak bisa aku tampik bahwa dia terlihat begitu mempesona untuk lelaki sesusianya. "Kenapa kau ada di sini, bukankah seharusnya kau ada di sekolah?" tanya dia dengan nada bingung.

"Ah... aku mengu jungi temanku di sini dan aku harus mengurus sesuatu juga. Tidak bisa ditunda." Balasku kemudian aku terkikih pelan. "Lalu bagaimana denganmu, kenapa kau ada di sini?" Tanyaku.

Tyler duduk di sebelahku, dia menaruh tas selempang di pangkuan pahanya dan mengambil setumpuk kertas dari dalam sana. "Ini, lihatlah... aku baru saja menyelesaikan semua itu. Hari ini terakhir koreksi dari pembimbing tesisku. Aku harap aku tidak mengacau saat ini, jadi aku tak perlu melakukan revisi apapun lagi."

"Aku sangat ragu seseorang yang sangat sukses sepertimu bisa mengacaukan sesuatu" Tukasu sembari terkikih pelan. Aku mengambil tumpukan kertas itu dari tangannya dan melihat materi apa saja yang kemungkinan dia gunakan untuk tesisnya. "Oh my God, aku dan pelajaran apapun yang mengandung unsur hitung-hitungan baru saja memutsukan hubungan kami." Jelasku dan memberikan kertas itu kepada Tyler.

"Aku bisa membuatmu untuk kembali mencintai semua itu lagi. Kau tak perlu khawatir." Jawab Tyler sembari tertawa. "Dan baiklah... sekarang kau kenapa bisa ada di sini? Maksudku alasan sebenarnya. Aku ini mahasiswa dan mengetahui raut wajah kesedihan di wajahmu itu."

"Bagaimana kau bisa tahu jika aku sedang sedih? Apa kau seorang cenayang? Apa gelar untuk julukan itu?" Tanyaku bercanda dan Tyler hanya melihatku saja. Aku menarik nafas panjang dan kembali memmperhatikan hal lain yang ada di taman ini. "Aku tak sedih, hanya saja, ada beberapa hal yang mengusikku. Tetapi, untuk kali ini biar aku saja yang mengurusnya." Balaksu.

"Kau tahu? tidak baik memendam sesuatu untuk dirimu sendiri. Manusia diciptakan saling berpasangan dan kita ini adalah mahluk sosial, walaupun kita memakan idealisme bahwa diri ini adalah introvert—manusia tetap tidak bisa hidup sendiri." Jelasnya.

Aku melihat Tyler. "Hei bos... apa kau akan berbagi kesedihan untuk orang lain?" Tanyaku sembari melihat Tyler dengan kedua alis yang terangkat dan dahi yang berkerit. "Aku pikir jawabannya adalah tidak."

"Devonna, kau tahu lagi? Sebagai atasanmu, aku khawatir. Tetapi jika kau memang merasa tak perlu bercerita maka aku akan mencoba cara lain untuk membuatmu lupa akan gundah gelanamu." Ucpa Tyler kemudian dia bangkit dan memakai lagi tasnya. "Kau bisa ikut denganku, aku akan mengajaknu untuk mengunjungi kampusku karena aku yakin kau pasti suka—secara harfiah kampusku seperti taman hiburan untuk anak seperti kita." jelasnya.

"Aku meragukannya..." Balasku sembari tersenyum ragu.

"Maybe right now... but soon... kau akan menyukainya. Aku bertaruh akan hal itu."

"Jika kau salah, kau harus memberikan sedikit tambahan untuk gajiku." Balasku menggoda Tyler.

"Bukan masalah besar." Jelas Tyler menganggukkan kepalanya. "Tetapi jika aku benar, kau harus membaca beberapa buku favoriteku. Bagaimana?"

"Terdengar menjanjikan." Jelasku dan aku bangkit dari kursi taman. "Baiklah, silahkan bawa aku kemanapun kau pergi, Tuan Tyler. "

Tyler hanya tertawa dan setelah itu kami pergi menggunakan transportasi bus. Perjalanannya cukup singkat, hanya sekitar lima belas menit saja—tetapi akan lain cerita jika kau menggunakan kaki-kaki kecil dan lemahmu itu untuk sampai di kampus Tyler—mungkin sesampainya di sana kedua kakimu akan berubah menjadi spaghetti hanya saja tidak terlihat sangat lezat dan menggoda. Kampus tempat Tyler melanjutkan pendidikannya, terlihat begitu besar dengan perpaduan desain arsitektur yang modern, minimalis dan elegant. Banyak mahasiswa dan mahasiswi di setiap sudut kampus—mayoritas dari mereka berbicara bersama sembari memegang buku.

"Jadi apa yang istimewa dari kampus ini?" Tanyaku sambil kami berjalan memasuki gedung fakultas Tyler.

"Ada ruang bermain, ada cafe dengan makanan yang cukup nikmat, kemudian perpustakaan kami cukup besar bahkan untuk ukuran universitas... koleksi buku kami lengkap."

"Jika tidak ada komik itu tidak lengkap."

"Sudah aku bilang lengkap... maka ada banyak jenis buku di sana." Balas Tyler dan sepertinya dia tahu bahwa itu memang kelemahanku. "Jadi bagaimana, ingin mengaku kalah, karyawanku?" Tanya dia dengan nada bercanda.

"Mari berharap bahwa bukumu tidak begitu membosankan." Ucapku dan Tyler hanya tertawa pelan sembari merangkul pundakku ketika kami mulai berjalan masuk di gedung fakultasnya.

Aku tak begitu lihat perbedaan antara mahasiswa dengan siswa SMA biasa. Mungkin mereka hanya lebih rapih dan lebih menjaga kesopanan mereka—dan sampah tidak dapat ditemukan di manapun, sangat berbanding sekali dengan sekolahku. Tyler tidak berbohong ketika dia mengatakan bahwa perpustakaannya begitu besar. Jendela-jendela yang tinggi membuat partical light yang begitu sempurna mengiluminasi perpustakaan ini hingga setiap sudutnya.

"Seluruh buku di sini adalah favoriteku, silahkan memilih." Jelasnya.

"Kau yakin?"

"Tentu saja." Balas Tyler dengan senyuman. Dia menarik kursi dari bawah meja. "Aku akan menunggu di sini selagi kau memetik buah kesukaanmu."

Aku berjalan memasuki berbagai lorong rak buku dan mencari buku-buku yang dapat memikat mataku dalam pandangan pertama. Rasanya seperti berada di surga dan aroma-aroma dari buku-buku di sini seperti aroma roti panggang yang menari di udara dan membuat perutmu meronta-ronta menginginkannya. Aku berhenti dan terpaku di depan rak buku sembari mendongakkan kepalaku. Aku menggapai sebuah buku dengan sampul hard cover dan kemudian mengambil beberapa lagi sebelum kembali menuju tempat di mana Tyler sedang menunggu sembari memeriksa kembali kertas-kertasnya.

"Kau mungkin akan suka dengan buah pilihanku." Jelasku menaruh seluruh buku yang aku bawa dan memberikan salah satunya kepada Tyler. Dia mengambilnya dari tanganku dan membuka beberapa halaman buku tersebut. "Aku yakin kau membutuhkan buku ini. Itu membahas hal yang sama seperti yang kau kerjakan sekarang." Jelasku.

"Terima kasih." Balas Tyler sembari tersenyum. "Kau bisa membantuku jika kau mau. Aku dijadwalkan untuk bertemu dengan dosen pembimbingku jam tiga nanti." lanjutnya.

"Hmp... tentu aku akan membantumu." Balasku. "Tetapi aku tidak terlalu berjanji jika aku begitu berguna."

Tyler hanya mengangguk sambil tertawa dan kemudian kami menghabiskan waktu bersama sembari mengerjakan materinya. Aku membeli banyak sekali makanan ringan dari Vending Machine yang berada di luar perpustakaan, membawanya dengan kedua tanganku dan menumpahkannya ke atas meja. Tentu saja uang yang digunakan bukanlah uang cadanganku.

Kami memakan jajanan yang kami beli, aku mengunyah permen warna-warni dengan isi kacang yang sesekali menyelinap di antara gigiku. Setelah beberapa lama, kepulan asap kelabu dan transparan mulai menyelimuti kepalaku dan di saat itulah aku menyerah untuk membantu Tyler. Dia tidak masalah karena aku sekarang tidak berguna lagi, terlebih dia tahu aku hanya anak SMA yang kebetulan tahu sesuatu atau beberapa tentang pelajaran ini. Jadinya aku hanya duduk di bangku sebelahnya dan mengeluarkan ponsel dari saku jaketku.

Aku mengkeritkan dahiku ketika layar ponselku berubah menjadi hitam dan menunjukka nama Ryan yang menutupi seperempat layarku dan sisanya adalah foto Ryan serta tombol animasi 'geser untuk menjawab' . Aku menggeser animasi itu menggunakan ibu jariku dan setelah layar di sana berubah menjadi hitungan waktu, aku segera menaruh ponselku di telingaku.

"Ryan, ada apa?" Tanyaku

"Kau ada di mana?" Ryan balik bertanya kepadaku.

Aku mengeritkan dahiku dan menoleh ke arah Tyler yang masih fokus dalam mengerjakan materinya. "Um... aku ada di perpustakaan." Balasku kemudian memakan satu permen coklat isi kcang yang tersebar di atas mejaku.

"Hey... jangan bohong, aku sudah ke perpustakaan tetapi kau tak ada. Kau di mana, Dev? Kau juga tidak sekolah. Beberapa guru bertanya tentangmu tetapi itu masalahnya, aku tidak tahu." Balas dia dengan nada kecewa.

Aku menarik nafas panjang, menyandarkan tubuhku dan kemudian memejamkan mata sembari perlahan memijat pelipisku. "Maaf, aku tidak bermaksud untuk membuatmu khawatir. Aku tidak bisa bilang aku habis dari mana, aku hanya butuh sesuatu yang bisa menjernihkan pikiranku. Hari ini aku ada di kota, di perpustakaan dan menghabiskan waktuku di sini saja. Kau juga tak perlu khawatir, aku baik-baik saja."

Ryan menghembuskan nafas lega dari dalam sana dan aku tersenyum tipis. "Baiklah, aku senang mendengarnya. Aku hanya takut kau mengalami sesuatu." Jelasnya dari dalam sana. "Hari ini ada pertandingan football aku harap kau bisa melihatku menjatuhkan atau bahkan mencentak touchdown."

"Ya tentu... aku akan segera balik ke sekolah." Balasku lalu kami berdua saling terdiam, mungkin saling mendengarkan desahan nafas satu sama lain. "Maafkan aku, Ryan. Mungkin mengecewakan orang sudah menjadi sifat alamiku." Lirihku.

"Kau tak mengecewakanku dan bagaimana kau bisa mengecewakan jika kau terlahir sempurna?" Jelasnya. "Aku adalah lelaki paling beruntung setelah ayahmu yang dapat memilikimu. Baiklah, aku harus menutup telepon ini. Aku akan menunggumu di bangku pemain."

Ryan memutuskan panggilan kami dan setelah itu aku mengantungi kembali ponselku. Aku melihat Tyler yang tidak terganggu sekali, padahal aku yakin bahwa percakapanku dengan Ryan mengganggunya dan membuatnya sedikit muak—seharusnya. Aku membersihkan sisa sampah dan permen coklat yang ada di atas meja. Kemudian bangkit berdiri dan memasukkan bangku ke kolong meja. Kini Tyler memutuskan perhatiannya dari apa yang ia kerjakan, dia melihatku bersiap-siap di sampingnya.

"Kau ingin pergi?" Tanya dia.

"Ya... sayangnya aku harus bersikap patriotik dengan mendukung tim football sekolahku." Jelasku lalu membetulkan posisi scarf yang aku pakai. "Aku akan menemuimu nanti di café,bos... ."

Tyler tersenyum dan membeulkan kacamata minusnya. "Seminggu ini mungkin aku tutup, aku harus fokus kepada ini semua dan kelulusanku. Tentu aku akan sangat rindu sekali ketika kita bertemu nanti." Jelasnya.

"Kita punya telepon, just hit my number dan jika kau butuh aku, aku akan datang."

"You will." Balas Tyler dan dia bangkit berdiri sebelum memeluk tubuhku. "Boleh aku meminta satu permintaan?" Tanya dia selepas memeluk tubuhku. "Keep my name on your prayer please. Aku takut mengacaukan semua ini, doakan semoga aku lancar melalui sidang ini dan membuat kakakku bangga."

Aku tersenyum dan menggenggam tangannya. "Jika kakakmu ada di sini, dia pasti akan bilang seperti apa yang aku katakan padamu. Aku bangga. Santai saja, di antara kita berdua... kau mempunyai sesuatu yang besar menunggumu di depan." Jelasku. "Lihat saja dengan café milikmu, kau sebuah kesuksesan besar. Aku yakin kau bisa melakukannya."

"Thank's Dev. Hati-hatilah di jalan. Maaf aku tak bisa mengantramu."

Tyler melambaikan tangannya seraya aku berjalan keluar dari kampus dan menunggu bus berikutnya untuk membawaku kembali menuju sekolah di hate bus yang ada di depan kampusnya. Setelah menunggu kurang lebih dua puluh menit lamanya, aku menaikki bus dan duduk di kursi paling belakang. Langit kini perlahan menjadi hitam dan sinar keoranyean bersembunyi di balik awan-awan gelap yang turut menenani bintang-bintang di atas sana. Guyruan hujan gerimis di awal malam, di sertai dengan pembiasan cahaya lampu kota membuat semuanya terihat indah. Aku hanya melemparkan pandanganku keluar dari jendela dan memikirkan apa yang akan dilakukan olehku jika aku mempunyai kehidupan yang sempurna.

Tanpa rasa sakit ini.

Dengan ayah dan ibuku,

Mungkin juga dengan nenenekku.

Aku membayangkan ibuku sedang mengaduk sup ayam di panci yang mendidih di atas kompor. Ayah mengeluarkan ayam kalkun dari oven dan memotongnya, membagikan setiap potongan di piring-piring putih yang berada di meja makan. Aku dan nenekku duduk di ruang tamu, mendengarkan dia berkisah bagaimana dia dapat bertemu dengan kakekku sembari menunjukkan foto-foto tua yang menguning dari album jadul kesayangannya.

Itu merupakan mimpi yang manis dan indah, tetapi aku jauh dari belakang semua mimpi itu.

'St. Joseph High School , St. Joseph High School.'

Aku bangkit dari kursi dan berjalan keluar dari mobil bus. Aku tidak ingat bahwa malam hari sekolah terlihat begitu ramai seperti ini. Banyak sekali motor dan mobil yang terparkir di parkiran serta suara teriakan dan kegaduhan dari lapangan football. Tentu di tempaku berjalan sekarang masih terdengar sepi di bandingkan di sisi lain sekolah ini. Beberapa botol plastik minuman dan juga tempat pop corn yang tergeletak di atas aspal sekolah menghiasi perjalannaku mendekati lapangan football. Aku tidak bisa mengatakan apapun selain aku sangat jijik sekali dengan manusia yang tak dapat membuang sampah pada tempatnya, apa itu sangat susah dengan berjalan beberapa meter untuk ketempat sampah dan membuang semua ini? Geez... manusia seperti wabah yang mengerikan dibanding wabah zombie jika dipikir-pikir.

Semakin aku mendekati lapangan football semakin aku dapat mendengarkan teriakan-teriakan dari kedua kubu. Aku berhenti di luar area lapangan football, menontonnya dari balik pagar-pagar jaring besi di sini dan menatap Ryan yang amat fokus mendengarkan intruksi dari Joey— Sang Kapten Football. Aku melanjutkan jalan memasuki area lapangan football dan menaiki setiap anak tangga yang ada di tribun penonton. Aku duduk pada bangku yang kosong dan melihat Ryan serta Joey menunjukkan kerja sama yang begitu baik, mereka terlihat begitu cepat ketika berlari di atas lapangan hijau. Ketika Joey mencentak touchdown aku berteriak keras dan kencang sama seperti penonton dari sekolah kami.

Hasil skor dari pertandingan babak satu dimenangkan oleh sekolahku— walau kami hanya berbeda beberapa point saja tetapi itu adalah hal yang patut untuk disyukuri bukan? Aku berjalan mendekati Ryan, tidak ingin terlalu dekat karena aku tidak ingin terlihat seperti seseorang siswa yang begitu akrab dengan tim football sekolah, bersamaan dengan disaksikan pertandingan ini oleh para kaum hawa serta Joey yang mudah untuk meledak ada di sana. Aku hanya berdiri di pinggir lapangan, mungkin ada tiga meter dari posisi mereka sekarang. Aku layaknya seorang ibu yang sangat bangga melihat anak lelaki satu-satunya dapat melakukan touchdown. Ryan mengambil meinuman kaleng dari box cooler yang ada dekat dengan bangku pemain dia membuka tutup kaleng tersebut dan menoleh ke arahku. Senyuman di wajahnya mengembang seperti gelembung-gelembung soda.

"Aku tidak sadar kau ada di sini." Ucapnya.

"Ya... kau sangat menikmati setiap detiknya. Aku bangga padamu kau bisa melakukan satu touchdown tadi." Jelasku.

"Itu berkat teman-teman lain juga." Balasnya. "Bagaimana buku bacaanmu, apa itu menyenangkan. Aku ingin meminjamnya lain waktu."

Aku terkikih. "Aku menjamin kau akan menutup sampul bukunya sekali kau membuka halaman pertama saja. Itu bukan jenis buku yang akan kau sukai." Jelasku.

"Mungkin. Tapi aku punya satu buku yang aku sukai di dunia ini." Jelasnya. "Buku itu tak terdapat mengandung perang, Jedi, atau hal-hal lain yang berbau kejantanan. Kau ingin tahu apa buku itu?" Tanya dia.

"Apa?"

"Kau... kau adalah buku favoritku. Setiap hari, bersamamu seperti membaca lembaran baru di buku tersebut. Penuh dengan kejutan dan keindahan di setiap frasa katanya, kau juga sama Devonna." Jelasnya dan dia menggenggam tanganku.

"Kau tahu jika ada mata pelajaran menggombal, maka kau akan menjadi bintang kelas dalam pelajaran tersebut." Balasku dan kemudian aku mencium bibirnya yang mempunyai rasa jeruk manis.

"Untuk apa itu?" Tanya dia dengan senyuman bahagia.

"Keberuntungan?" Balasku sembari menaikkan salah satu alisku. "Dan sepertinya penggemarmu mulai memanggan diriku hidup-hidup, tapi aku tidak peduli. Kau harus memenangkan pertandingan ini... bagaimanapun juga!"

"Baiklah dan juga terima kasih atas ciumannya." Ucapnya.

Ryan menarik wajahku kembali, bibir kami kembali berpautan. Bibirnya perlahan terlepas seraya aku membuka kelopak mataku dan melihat wajah Ryan yang ada di depanku. "Kau harus kembali ke lapangan. Teman-temanmu sudah menunggu."

Ryan kembali berlari mendekati teman-temannya dan di sana, Joey telah berdiri entah sekian lama melihat ke arah kami. Dia tidak terlihat menyenangkan atau bersahabat, tapi itu bukan kejutan. Dia memang selalu bersifat seperti itu.

Wasit kembali meniupkan pluitnya dan pertandingan kembali dimulai. Sekolah kami kembali mencetak skor untuk awal pertandingan dan sepertinya Joey mengubah sedikit taktit dari tim ini. Aku mengenggam kedua tanganku erat, jemari-jemariku seakan tersegel oleh lem super kuat. Seruan yel-yel sekolahku tampak beradu balap dengan seruan murid-murid sekolahku yang ikut membakar rasa semangat tim kami. Hingga hal itu terjadi, tim lawan dengan sengaja menabrak Joey hingga keluar dari lapangan hingga tubuhnya mengenai pagar pembatas di saat dia tidak membawa bola.

Wasit tak melakukan apapun kecuali melanjutkan pertandingan, membiarkan Ryan membawa bola football itu sejauh mungkin. Mataku hanya menatap Joey yang sedang kesakitan dipinggir lapangan, dia membuka helmnya dan melempar dengan kencang ke atas lapangan. Joey berjalan mendekati wasit tersebut dan angin berubah menjadi lebih menyakitkan sekarang.

"What the fuck?!" Suara Joey yang terdengar samar dari tempatku duduk sekarang. "Kau seharusnya meniup pluitmu! Dia melakukan itu dengan sengaja."

"Ini adalah football, kid. Itu tidak melanggar." Jelas Sang Wasit yang tampak mengacuhkan Joey.

"Apa kau pikir aku bodoh? Aku tahu peraturan football. Tetapi membawaku ke luar lapangan saat aku tak membawa bola hingga menabrak pagar pengaman? Apa kau pikir itu bukan pelanggaran?" Tukas Joey sembari melepas helmnya.

"Kau harus kembali memakai helmmu atau kau akan mendapatkan pelanggaran." Tegas wasit tersebut.

Joey menatap wajah wasit itu dengan kebencian, tanpa ada sambutan hangat terlebih dahulu, kepalan tangannya mendarat di pipi kiri wasit tersebut. Semua orang terkesiap dan terkejut melihat apa yang baru saja Joey lakukan.

"Oh shit... ." Gumamku kemudian aku langsung berlari mendekati Joey.

Kadar stress-ku yang sebelumnya di bawah garis merah kini meningkat seratus kali lipat ketika dia melakukan itu. Joey benar-benar seperti apa yang dikatakan oleh Mr. Powell, dia melakukan apapun dengan ototnya bukan otaknya dan itu menyebalkan sekali. Dia bisa membuat kami dipanggil lagi ke kantor kepala sekolah, bahkan lebih parahnya mungkin kali kepala sekolah tak akan membiarkan dirinya untuk tetap bertahan di tahtanya, kemungkinan kali ini dia benar-benar bisa dikeluarkan dari sekolah.

"Devonna... Devonna kau ingin kemana?" Seru Ryan yang sempat memegang tanganku tetapi aku tak mengacuhkannya saat aku melewati bangku pemain.

Aku langsung menempatkan diriku di antara wasit dan Joey, aku langsung menatap lurus ke mata coklat milik Joey yang terlihat begitu kosong akan rasa belas kasihan dan simpati, hanya ada kemarahan dan kemurkaan yang terpancar dari matanya itu.

"Apa kau sudah tidak waras!!" Tegasku dan aku menoleh kebelakang. "Please stay away... ." Lirihku.

"Move Devonna... ." Lirihnya perlahan dengan nada kesal.

"Dan apa yang akan kau lakukan? Kau akan memukul dia lagi? Menurutmu itu adalah sesuatu yang bijak untuk dilakukan!? Joey pikirkan apa yang pernah aku katakan padamu. Kau tak ingin kita berada di dalam masalah lagi, bukan begitu?" Tegasku.

"Aku bilang minggir" Seru dia mendorong tubuhku dengan kencang kesamping hingga diriku jatuh ke atas rerumputan.

Salah satu anggota tim kami langsung menabrak tubuh Joey hingga dia jatuh ke atas rerumputan dan kembali mengerang kesakitan. Aku melihat Joey yang sedang memejamkan matanya dan terlihat bulir air mata keluar dari sudut matanya, bercampur dengan bulir keringat yang keluar dari pori-pori wajahnya. Ryan membantukku untuk berdiri.

"Kau baik-baik saja?!" Tanya dia khawatir.

"Ya... aku baik-baik saja." Jawabku lalu melihat Joey yang masih tersungkur di atas rerumputan. "Kau harus membantunya, dia kesakitan."

Ryan melihat Joey. "Hey... bawa dia ke UKS sekarang!" Serunya dan dengan sigap beberapa tim medik sekolah kami segera berlari dengan membawa tandu. "Aku antar kau pulang, okay?"

"Okay... ." Ucapku sambil menggangguk pelan.

Selagi aku dan Ryan berjalan, aku menoleh kebelakang, melihat tubuh Joey yang perlahan diangkat ke atas tandu dengan bantuan beberapa orang. Aku dapat mendengarkan teriakkan pelan akan kesakitan yang dia alami dan esoknya kami berdua datang untuk menghadap kepala sekolah, tetapi kali ini Joey dengan ibunya yang terlihat sudah rapi dengan baju kerjanya. Joey hanya duduk terdiam saja sembari menatap ke arah lain.

"Nyonya Alexander, kami sudah tidak mengerti apa yang harus kami lakukan dengan anak anda." Jelas Kepala Sekolah. "Pemukulan yang dilakukannya kepada wasit merupakan puncak dari semua ini. Setelah rapat bersama dengan para guru, saya sangat amat menyesal bahwa anak anda terpaksa harus dikeluarkan dari sekolah kami." Ucapnya.

"Please, Sir. Berikan dia satu kesempatan lagi." Ucap Ibunya.

"Kami sangat meminta maaf bahwa kami tidak bisa lagi menghadapi perilaku anak ibu. Apa yang Joey lakukan sangatlah merugikan nama baik sekolah." Balas Kepala Sekolah.

"Tidak masalah, Mom... . Aku minta maaf karena mengecewakanmu." Ucap Joey.

Aku melihat mimik wajah Joey yang tampak sedih. "Sir... ." Lirihku. "Aku menonton pertandingan kemarin dan aku tak tahu apa yang dijelaskan oleh wasit itu, tetapi yang jelas Joey juga merupakan pihak yang dirugikan di sini. Aku tidak bermaksud melawan kuasa yang berlaku di sini, hanya saja aku melihat apa yang tim lawan lakukan kepada Joey itu tidak pantas. Dia mendorong tubuh Joey hingga keluar lapangan di saat dia tak.membawa bola dan membuat dirinya menabrak pagar pembatas, di mana itu membuat Joey memar sekarang. Aku tidak membenarkan apa yang Joey lakukan, tetapi aku tahu Joey membela dirinya sendiri. Wasit itu yang salah, dia tidak netral dalam memberikan keputusan, bahkan jika aku ada di posisi Joey saat itu... aku pasti akan melakukan hal yang sama."

Kepala sekolah melihat ke arahku dan Joey tertawa pelan, "Kau tak perlu berbaik hati, Lawrance." Ucap Joey dengan nada kesal.

"Sir... kau meminta aku untuk selalu mengawasi Joey, maka aku lakukan itu dan inilah laporanku akan kejadian tadi malam. Aku akan membela Joey, apapun yang akan kau lakukan." Balasku.

Kepala Sekolah menarik nafas panjang dan melepas kacamata yang dia kenakan. Dia memijat perlahan bagian di antara dua alisnya. "Jika begitu, aku akan kembali mengadakan rapat bersama para guru lagi. Keputusan akan di berikan beberapa jam lagi dan aku harap ketika keputusan sudah ada di tanganku, apapun keadaannya kau harus bersiap."

Aku bersama dengan Joey serta ibunya berjalan keluar dari kantor kepala sekolah. Aku berjalan mendekati jendela koridor gedung sekolah yang langsung menyuguhkan aku pada pemandangan halaman depan sekolah yang begitu sepi, hanya terdapat bus serta sepeda murid yang terparkir dengan rapih. Joey berdiri di sebelahku, aku menoleh sekilas sebelum kembali menatap keluar jendela lagi.

"Kau tak perlu mengeluarkan energimu untuk membelaku di depan kepala sekolah. Itu yang banyak orang mau dan seharusnya kau juga—aku keluar dari sini." Jelasnya.

"Aku tak akan terdiam saja ketika mengetahui bahwa ada kebenaran yang aku ketahui tentang sesuatu yang salah. Kau tahu? itulah problem di dunia sekarang, kau takut untuk berbicara tentang kebenaran yang murni hanya karena kau ingin menyelamatkan dirimu. Itu sangat egois dan keanak-anakkan." Balasku dan melihat Joey yang berdiri di sampingku. Rambut hitam panjangnya tergerai di atas pundaknya. "Dan alasan diriku membelamu adalah karena ibumu. Always remember Joey, when you want to punch someone... kau membuat satu masalah bukan hanya untuk dirimu, tapi keluargamu—ibumu."

"Terima kasih" Lirihnya dan aku menoleh ke arah Joey dengan perasaan terkejut. "Thank you for saving me." lanjutnya. Joey mengarahkan tangannya kepadaku.

Aku dapat melihat bahwa cahaya keemasan membanjiri kami dengan kehangatannya. Aku meraih tangannya dan kini kami saling berjabat tangan dalam satu frame jendela dengan pemandangan yang sama. Joey tersenyum tipis dibalik bayangan yang dihasilkan oleh rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya.

"Sekarang kita tunggu hasil rapatnya." Lirihku.

Continue Reading

You'll Also Like

233K 15K 30
fiksi 18+++ "Ouh Tuhan, jangan katakan bahwa pria itu barusaja keluar dari kamar yang sama dengan Grisella! Apa yang mereka lakukan dari semalam? ber...
2.5M 7.7K 11
SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK PDF DAN PLAY STORE Eveline Stewart adalah seorang gadis berusia 16 tahun yang memiliki ibu pesakitan dan seorang adik lak...
1.1K 255 15
Buku misterius itu terus membuatku tertarik. Tanpa kuketahui bahwa ada hal aneh didalamnya dan betapa terkejutnya aku saat mendapati seorang pria asi...
1M 23.5K 30
21++ #highrank 1 in rios [11/09/20] #highrank 1 in jason [11/09/20] #highrank 2 in fara [11/09/20] #highrank 1 in hot (26/10/20) Mulai menulis [ 7 Ja...