Magic In You

By VVyMeU

32.3K 3.1K 154

Sejak mata ini pertama kali melihatmu, kamu berhasil menyita perhatianku. Kala itu, kalau kamu masih ingat, k... More

Beginning
1. First Sight
2. Ramen Susu Keju
3. Amplop Putih
4. Damn! She's So Stylish
5. I Need You
6. Hanya Kamu
7. Idola
8. Sengatan Itu
9. Don't Touch?
10. Ara Bertanya
11. Aku Bukan Malaikat
12. Unexpected Offer
13. Angel Or Butterfly
14. Malam Tadi
15. Sosok Setengah Dewa
16. Sendu Merindu
17. Aku Ingin Disini
18. Kembali tersenyum
19. Blok Mahakam
20. Just Be Yourself
21. Little Einstein
22. I 💗 U, My Thomas
23. Haters Gonna Hate
24. Anka
25. Mencintai Sangat Dalam
26. Tell Me Everything
27. He'll Be Okay
28. Perhatian Yang Menyenangkan
30. 12 April 2003
31. Doa yang terjawab
32. Surprise
33. Tempramen
34. Tetapkan Keyakinan
35. Kissing Her
36. Bugs & Panda
37. Don't Ever Leave Me
38. Kembali Berjumpa
39. Weekend
40. No Choice
41. I Won't Give Up / So Do I
42. Clement
43. Anka & Kirana
44. I Love You, Always
Pesan Untuk Kirana
Bio dan Q&A

29. Sakit.. Perih..

431 58 1
By VVyMeU

KIRANA'S POV

“Fokus Khata!” Aku kembali menegurnya karena pikirannya yang tidak berada di tugasnya kini.

“Eh iya, sori sori.” Khata akhirnya melihatku kembali melalui kamera web cam yang terhubung skype.

“Ini data kamu kurang, Ta. Kalo mau melakukan survei itu dilihat dulu targetmu, ada aturannya nggak bisa langsung sembarang nyebar.” Aku berbicara panjang lebar mengomentari tugas akhir yang dia sedang kerjakan.

“Terus gimana? Aku nambah orang yang aku survei?” Kamar yang dia tempati sungguh ramai, aku hampir tidak bisa mendengarnya.

“Iya, kalo kamu sibuk nggak apa, aku bisa bantu.” Wajah dia menoleh ke sebelah kiri atas. Kemudian dia tersenyum dan berbicara dengan temannya. Biasanya senyuman itu akan membawaku ke dalam tahap di mana hatiku sangat senang, tapi tidak kali ini.

Aku langsung menutup laptop saking emosinya. Aku merasa sangat tidak dia hargai. Khata memintaku membantunya mengerjakan tugas akhir. Bukan masalah bagiku, topik yang dia ambil tidak terlalu susah, dia pun cukup pintar sehingga aku tidak harus begitu banyak memberi masukan. Namun, sejak kemarin dia sudah berada di Thailand untuk mengikuti ASEAN Student Leaders’ Forum. Bukan hal yang mengherankan, sebagai seorang ketua BEM universitas ternama di Indonesia, wajar bila dia sering menghadri forum-forum internasional. Hal ini sama sekali bukan masalah bagiku. Namun, sejak kemarin ketika kami berhubungan dengan skype dia sangat tidak fokus. Hampir setiap aku selesai menanggapi apa yang kurang dari tugas akhirnya, pikiran dia tidak berada di tempat. Aku sangat kesal. Dia meminta bantuanku akan tugas miliknya, namun dia sendiri seperti malas mengerjakannya. Bukan apa-apa, aku lebih senang ketika mengerjakan tugas dalam jangka waktu yang singkat.

Aku segera mandi, bermaksud mendinginkan kepala dan meredakan emosiku. Ketika keluar dari kamar mandi, dapat aku lihat di luar jendela bulir air dari langit telah turun cukup deras. Hatiku entah mengapa terasa kosong.

Orang-orang sekitarku mungkin selalu mengerti aku dalam data dan fisik belaka. Tak banyak yang aku harapkan, aku sungguh tidak mampu dapat bersosialisasi seperti kebanyakan orang. tidak, aku tidak mengalami keterbelakangan memang, aku masih bisa membangun sebuah hubungan selama itu dalam batas pekerjaan. Hanya saja, perasaan tidak nyaman selalu menghampiriku ketika harus bergaul dengan orang lain. Terkadang, bila diharuskan, aku memaksakan diriku, membentuk sebuah refleksi dari ekspektasi mereka.

Aku banyak menyimpan kisahku dalam diriku sendiri. Hanyalah Khata, sebuah pengecualian besar. Dia selalu menjadi pengecualian. Bersamanya aku bisa tertawa lepas, menjadi diriku sendiri. Diriku yang memiliki kekurangan dan cacat, bukan sebuah ekspektasi kesempuraan yang maya. Bersama dirinya pula, aku merasa diharapkan, merasa spesial.

Apakah aku terlalu berlebihan bertindak? Terlalu berlebihan menanggapi apa yang Khata lakukan? Aku mencintainya, menyanginya. Mungkin karena itu aku bertindak berlebihan untuk kesekian kalinya. Mungkin memang aku tak mampu menempa sebuah hubungan sama sekali.

~~~

Satu Bulan Kemudian

Langit terlihat sangat gelap, padahal jam baru saja menunjukkan pukul empat sore. Aku baru saja masuk ke mobil ketika hujan lebat mulai turun. Hujan ini membawa alunan melankolis dalam jiwa. Kosong yang aku rasa beberapa hari ini tak terobati. Sudah sebulan lamanya sejak aku bertemu dengannya. Dia sungguh sibuk sekali. Sejak hari tiba di Jakarta. Bahkan kado ulang tahun yang aku persiapkan tidak bisa aku serahkan. Dia berulang tahun beberapa hari yang lalu. Aku tidak yakin dapat menyerahkan padanya.

Setelah kejadian kemarin, Khata menghubungi ku secara intens. Mengingatkan makan dan hal hal kecil lainnya. Namun, perasaan ini tumpul, entah mengapa. Aku mengharapkan dia datang ke rumah. Bertemu dengannya, itu saja. Walau memang ini tak kusampaikan, namun biasanya dia sangat mengerti.

Hujan masih juga belum berhenti ketika aku sampai di rumah. Aku tak mempedulikan lagi perihal hujan setelah aku melakukan ritual pulang kerjaku. Mandi, makan, kemudian mengerjakan pekerjaan yang aku bawa pulang.

Pukul sembilan lewat lima belas menit, aku selesai mengerjakan pekerjaanku. Hujan yang semula mereda kini mulai mengamuk lebih dahsyat. Petir mulai menyambar dan guntur pun mengikuti dengan gemuruhnya yang memekakan telinga. Berkali-kali listrik di langit sana membuat aku dan bibi tekaget-kaget.

Suara klakson mobil mengalahkan derasnya hujan. Pak Purno telah datang dengan anak-anaknya. Saat seperti ini, aku biasa memang meminta Pak Purno membawa anak-anaknya untuk bermalam di sini. Pak Purno dan Bibi memiliki dua orang anak laki-laki yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Aku tidak akrab dengan mereka memang, namun mereka berdua sudah menganggapku sebagai seorang kakak, aku pun sebaliknya begitu.

Petir-petir ini mengingatkanku akan kejadian malam itu. Malam di mana Khata sangat tersiksa. Aku mencoba menghubungi ponsel Khata, namun tidak diangkat. Tidak tahu lagi harus bagaimana mencari info apakah Khata masih baik-baik saja membuatku frustasi.

Dalam sebulan terakhir, hujan kali ini dapat di bilang sangat-sangat mengerikan. Hujan petir ini benar-benar parah. Apakah Depok juga separah ini? Apa Khata baik-baik saja?

Tiba-tiba kilatan petir terlihat membutakan mata dan gemuruh guntur tak selang berapa lama membuat jantungku berpacu cepat. Sial, kalau di Depok seperti ini juga, apa dia tidak apa-apa? Aku terus menerus mencoba menelponnya, dan tetap tak ada jawaban. Hingga tiga puluh menit kemudian aku langsung meminta Pak Purno mengantarkanku. Tidak ada rasa sakit hati lagi, aku terlalu khawatir dengannya. Sangat khawatir.

Aku mejelaskan pada Bibi dan Pak Purno kenapa malam begini dan dalam keadaan hujan aku bersikeras pergi ke rumah Khata. Bibi dan Pak Purno pun ikut khawatir, yang kemudian menyetujui untuk mengantarkanku ke Depok.

Suara hujan yang menghantam kaca depan pengemudi terasa mengerikan. Bulir-bulir itu menghantam dengan keras pada kaca depan. Petir juga tak henti-hentinya menyambar sepanjang jalan. Pepohonan besar dipinggir jalan telah banyak yang tumbang, terbelah dua atau dahan yang telah retak menunggu beban air yang menghantam membuatnya jatuh. Pak Purno mengemudikan dengan hati-hati.

Tak kalah, banjir pun sudah berada di beberapa ruas jalan yang mau tidak mau kami harus lewati. Keadaan memburuk ketika sampai ke jalan tol. Bisa aku lihat, jalanan sangat licin, diperparah jarak pandang yang sangat minim hingga harus menggunakan lampu hazmat. Pak Purno pun berjalan pelan, hingga angin yang sangat kencang meliukkan pohon di kiri jalan dan membuat mobilku merasakan angin tersebut. Pak Purno segera berhenti dan menaikkan rem tangan. Angin kencang terus mengenai mobil. Suara yang ditimbulkan sungguh mengerikan. Di depan, mobil-mobil juga berhenti menghindari hal yang tak diinginkan. Perjalanan ke Depok ini sungguh tidak ada dua nya.

Kami akhirnya sampai di rumah Khata, entah dengan perjalanan berapa lama. Aku langsung mengetuk pintunya. Tak ada jawaban. Apa Khata tidak dirumah? Tapi lampu dari rumah terlihat bahwa ada penghuni di dalamnya. Kemudian aku teringat Khata menyimpan kunci cadangan rumahnya di bawah salah satu batu paving yang berada dekat dengan mobilnya. Segera kuambil kunci itu dan membuka pintu depan rumah tersebut. Aku melihat ke penjuru rumah, tidak ada tanda-tanda keberadaan Khata. Lampu di lantai atas terang benderang menyala. Kakiku langsung berlari menaiki tangga.
Benar saja, kutemukan Khata seperti dulu. Terduduk mendekap lututnya dengan kedua tangan. Dia mengenakan headphone, tapi aku tetap dapat merasakan ketakutannya. Aku berjalan pelan menuju arahnya. Dia tidak menoleh, mungkin sama sekali tak sadar akan kehadiranku di situ. Aku membelai pelan lengannya. Ia segera menoleh ke arahku, mata yang semula sangat ketakutan itu kemudian menemukan suatu kedamaian. Lengannya kemudian ia tautkan ke belakang leherku. Dia memelukku. Tangisannya pecah. Khata meraung-raung, tangisan yang sangat menyakitkan. Suatu perasaan perih menyelinap dalam hatiku mendengarnya menangis seperti ini. Aku hanya dapat mengelus pelan punggungnya yang bergetar hebat karena tangisannya tersebut.

“Na..” Dia berkata lirih di sela tangisannya yang sedikit mereda.

“Iya, Ta?” Aku berkata sembari terus mengelus belakang kepalanya. Berselang senyap beberapa lama, Khata baru berkata kembali.

“Sakit.. Perih...”

“Mana yang sakit, Ta? Disebelah mana yang perih?” Tak ada jawaban dari Khata beberapa lama. Tangisan yang semula mereda seiring hujan itu kembali menyayat hati. Khata terus menangis hingga nafas nya tersenggal. “Hei, hei, tenang aku di sini.” Aku mengambil sembarang kain yang bergantungan di sekitarku dan menyeka bulir air mata dan membersihkan ingusnya. Khata kemudian terbatuk-batuk di sela tangisnya. Astaga, bagaimana caraku menenangkannya.
Aku membiarkannya menangis kembali hingga reda. Terus kuulang doa yang sama seperti dahulu. Di selanya aku terus mengingatkannya aku di sini untuknya, dia aman, tidak akan ada yang menyakitinya. Terus dan terus hingga tenggorokanku terasa kering. Aku diam untuk beberapa saat. Tangisan Khata akhirnya mulai tinggal sesenggukan kecil. Lelah pada badanku kini mulai terasa dan aku yakin begitu pun Khata.

“Ke tempat tidur yuk, Ta?” Aku tidak melihat Khata mengiyakan, namun badannya terasa sangat lemas dipelukanku. Badanku berdiri sembari membantunya pula. Dia berjalan dengan aku yang membopongnya, yang mana tidaklah mudah karena badannya yang lebih tinggi dariku.

Badannya kemudian aku baringkan di tempat tidur, dia hanya menurut saja. Setelah aku menyelimuti badannya dengan selimut, aku kemudian mematikan lampu. Aku menengok ke bawah, Pak Parno terlihat tertidur di sofa putih. Sungguh, aku harus banyak berterima kasih pada Pak Parno karena di malam buruk seperti ini masih mau mengantarkanku.

Aku kemudian menyelinap di bawah selimut di sebelah kiri Khata. Mataku sudah hampir menutup ketika Khata memelukku atau mungkin lebih tepatnya dia yang berada dalam pelukanku. Kepalanya kembali bersembunyi di dadaku. Semoga saja dia tidak mendengar detak jantungku yang sudah seperti selesai melakukan lari maraton.

“Perih..” Dia lirih berkata padaku.

“Mananya Ta? Biar bisa aku obatin”

“Bawah..” Suaranya sangat kecil, aku hampir saja tidak dapat mendengar apa yang dia katakan.

“Sebelah mana? Bilang, Ta.” Pikiranku menerawang memikirkan obat perih, menebak pula bagian mana yang dia rasakan perih. Dan sebuah jawaban pahit mengalir seperti sebuah pisau bedah yang tipis tapi sungguh tajam.

“Bawah..” tangannya kemudian mengarahkanku ke bagian yang sungguh membuat detakku hampir berhenti. Tidak. Apa Khata?

Dia semakin merapat dalam pelukanku. Aku tak dapat berkata-kata. Berbagai pikiran mengalir begitu saja. Seluruh pikiran buruk, sangat buruk. Aku telah curiga sedari awal mengetahui keengganan dia bersentuhan, tapi ini sebuah kemungkinan yang paling buruk. Tidak.

“Aku pernah..” Dia mencoba untuk berbicara. Nada itu begitu berat. Aku merasakan getir dalam nada itu. Hatiku terasa sangat perih. Sial. Dalam hati, aku masih berdoa semoga bukan itu yang terjadi. Tolong Tuhan. Semoga bukan kata itu yang meluncur dari mulutnya. Bukan itu yang pernah terjadi padanya.

Continue Reading

You'll Also Like

607K 7.7K 29
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
72.3K 5.1K 50
INTELLIGENCE, not because you think you know everything without questioning, but rather because you question everything you think you know. First Pub...
102K 7.5K 37
Baru kenal emang cuek juga dingin. Kalau udah deket dan tau sifat asli nya mah kaget sendiri dah. Dan kebencian bisa jadi cinta... You Are Mine
9.2K 646 20
berawal dari Haechan yang ngecrushin Na jaemin dari lama, hingga akhirnya cintanya terbalaskan. tetapi haechan harus melewati penghalang - penghalang...