KHATA'S POV
“Ya memang. Banyak sekali daerah-daerah pinggir perbatasan Indonesia yang masih sangat kekurangan perhatian.” Kirana membalas perkataanku setelah menaruh badannya bersandar pada sofa hitam bandara di sebelahku.
“Segalanya selalu terpusat dipusat. Sorot lampu perhatian selalu ke arah pusat. Seperti masalah itu hanya berada di sana. Banyak yang melupakan, tumpukan laporan, tumpukan kertas itu merupakan masalah yang benar-benar terjadi di luar sana. Di dunia yang memang membutuhkan uluran tangan langsung.”
“Yup. Parahnya banyak daerah-daerah itu yang malah diperhatikan dari pihak luar, seperti daerah perbatasan Kalimantan dengan Malaysia, fasilitas kesehatan, penerangan, pendidikan, sampai fasilitas jalan darat dan udara di daerah perbatasan masih banyak yang belum memadai dan kurang. Di sisi lain garis tak terlihat perbatasan negara, seluruh fasilitas disediakan.”
“Oh, ya! Itu aku pernah dapet cerita dari temen. Kamu tau di provinsi Kalimantan Utara sana, ada daerah namanya Krayan. Krayan itu daerahnya masih hijau banget, belum dijamah. Buat kesana transportasinya hanya bisa lewat pesawat ‘capung’ yang pesan tiketnya harus sebulan sebelumnya. Pasokan makanan daerah Krayan sebagian besar bergantung dengan Malaysia. Kamu tau, Na? Beberapa bulan yang lalu pemerintah melarang produknya masuk ke daerah itu. Alhasil, kekuranganlah masyarakat Krayan untuk pasokan makanan.”
“Seburuk itu?” Wajah Kirana menunjukkan mimik keperihatinannya atas apa yang baru dia dengar.
“Iya, itu cuma contoh kecil. Dibandingkan kita yang hidup di perkotaan pasti ‘kekurangan makanan’ nggak akan jadi masalah.”
“Padahal makanan itu sudah dasar manusia untuk hidup.”
“Setuju. Makanya kadang juga suka miris sama kebanyakan orang yang bilang ‘makanannya nggak enak, nggak mau makan’ atau bahkan yang sia-siain makanan gitu aja.”
“Di sini kita sibuk memilih makanan yang enak, disana hanya sekedar ingin makan.”
“Tepat! Na, jalan ke waiting room aja yuk”
“Iya ayuk.” Aku mengambil tas ransel yang ada di depan kakiku dan memakainya. Sebelum Kirana berjalan, aku mengambil tas selempangnya yang berisi baju dari pundaknya kemudian memindahkannya ke pundakku. “Aku aja yang bawa. Kamu bawa tas kecilnya.”
Kirana hanya tersenyum pelan ketika aku mengambil tasnya. Kami berdua kemudian berjalan ke arah salah satu ruang tunggu di sebelah kiri. Setelah melewati pintu kaca kami kemudian duduk.
“Nah, itu yang terlihat jelas. Ada nih program Australia dibawah badan Australian Agency for International Development atau yang biasa disebut AusAID namanya ACCESS. ACCESS ini kependekan dari Australian Community Development and Civil Society Strengthening Scheme. Sesuai namannya, ACCESS ini program inisiatif dari pemerintah Australia dan pemerintah Indonesia yang terfokus pada pembangunan kapasitas komunitas lokal dan organisasi masyarakat dengan cara menciptakan pemerintahan yang lebih baik. Program ACCESS ini banyak berpusat di Wilayah Indonesia Timur yang memang belum banyak hmmm, terjamah dengan baik. Sekarang, secara negatif, bantuan yang diberikan dari Australia itu nggak secara cuma-cuma gitu aja pastinya. Mungkin ini terdengar begitu mencurigai, tapi mereka pasti punya agenda tersendiri sampai mau membantu Indonesia.”
“Hahaha. No comment. Itu udah ranahnya temen-temen dari HI untuk bahas soal hubungan dengan agenda-agenda terselubung. Tapi iya, meski mereka nggak punya agenda tersembunyi, masyarakat yang dibantu dari ‘pihak asing’ akan merasakan yang namanya keterasingan dari negeri sendiri. Istilahnya, sama keluarga sendiri nggak dibantu tapi malah dibantunya sama tetangga. Lebih ke arah dampak psikologisnya.” Aku melihat ke dalam mata Kirana. Aku suka sekali ketika dia mulai berbicara serius, suka ketika mimik muka itu berubah serius untuk melakukan pekerjaan-pekerjaannya.
Pipi Kirana tiba-tiba memerah dan dia langsung membuang muka dariku. Aku masih tetap melihatnya dengan kedua mataku dan senyum di bibir. Kirana melirik untuk melihatku.
“Kamu ngapaaaiiiiin siiiih.” Dia mendorong mukaku dengan telapak kirinya untuk menjauhkan tatapanku dari dirinya.
“Aku suka kamu kalo lagi serius gitu, tambah manis! Hahaha.” Kirana menepuk pelan lengan atasku. Mukanya semakin merah seperti kepanasan. Paduan paras keturunan cina dan arab sungguh membuat Kirana terlihat sangat manis.
“Stop jailin aku, Khata!” Pengumuman boarding untuk penerbangan kami terdengar di udara. Aku segera mengambil tas kami dan menggandengnya untuk memasuki belalai yang menghubungkan waiting room dan pesawat.
“Nggak jail kok. Ayo”
Aku terbangun karena guncangan yang mengagetkanku. Pesawat telah mendarat dengan kasar. Kirana yang tadinya tertidur juga bangun karena guncangan tadi. Kami mengumpulkan kesadaran kami dan segera bergegas keluar dari pesawat, melewati ruang pengambilan bagasi dan keluar melalui pintu kaca.
“KAKEK!” Aku langsung berlari dan mengambil tangan lelaki kurus yang kulitnya telah terlihat keriput di mana-mana. Aku mencium tangan itu kemudian menyamping, berusaha memberi area untuk memperlihatkan Kirana pada Kakek.
“Kek, ini Kirana.” Kirana kemudian mengikuti langkahku untuk mencium tangan kakek.
“Wah, ini yang namanya Kirana to. Cantik sekali ya.”
“Makasih” Kirana berkata pelan dan malu-malu.
“Ayo.” Kakek kemudian memberikan kunci mobil padaku. Aku dan Kirana mengikuti di belakang Kakek jalan menuju mobil terparkir.
Keluar dari bandara aku menempuh jalan yang bisa terbilang sepi siang ini. Debaran hatiku menandakan gelisah yang aku rasa. Kirana akan bertemu Anka. Bagaimana bila Kirana tidak bisa menerimanya dengan baik? Anka adalah segalanya untukku. Segala sesuatunya akan bergantung padanya. Aku satu-satunya saudara yang bisa dia gantungkan dan pasrahkan. Selama ini aku tidak pernah mengenalkan dia pada teman-teman karena takut akan penolakan mereka.
Mobilku sudah rapi terparkir pada parkiran rumah sakit tempat Anka di rawat. Aku mengenal rumah sakit ini dengan cukup baik. Tidak hanya satu dua kali aku ke sini. Entah ini sudah kunjungan keberapa.
Kami bertiga berjalan ke dalam rumah sakit menuju kamar Anka. Diam ada diantara kami. Kakek sama tahunya dengan aku, membawa orang baru untuk berkenalan dengan Anka akan jauh lebih susah dibanding dengan yang dibayangkan. Entah bagaimana keadaan yang akan terjadi nanti.
Lift mengantarkan kami ke lantai ruang Anka berada. Keringat dingin mengalir di tengkukku. Debaran yang aku rasa semakin kencang. Aku dapat melihat Nenek duduk menghadap ke ranjang memegang sendok di tangannya.
“TATA!” Suara bening adik tercinta yang selalu aku rindu memanggilku dengan riangnya. Aku segera berlari dan memeluknya. Kepalan tangan langsung menghantam pundakku. Not a smart move Khata dalam hati aku berucap sendiri. Dia masih belum juga dapat menerima rangsangan sentuhan dari orang lain.
“Nggak!” Anka berkata keras tepat ditelingaku. Ya, dia mengatakan ketidak inginannya dengan sangat jelas.
“Aku kangen. Kamu kangen nggak?”
“Iya.”
“Ka, kenalkan ini teman kakak. Namanya Kirana. Ayo kenalan.” Mata Anka mulai bergerak kesana kemari menandakan ketidak-nyamanannya. Kepalanya menoleh ke arah Kirana, tapi tidak dengan perhatiannya. Dia termakan dengan angannya kembali.
“Kasi Kirana senyum, Anka.” Anka pun tersenyum lebar memperlihatkan gigi putihnya. Rambutnya yang gundul dan senyumnya yang lebar mengundang tawa untuk aku, Kirana, Kakek dan Nenek.
“Kirana.” Kirana balas tersenyum ke arah Anka dan mendekatkan badannya. Oh Tuhan, semoga tidak ada adegan apa pun selanjutnya. Dadaku bergemuruh. Ini benar-benar pertama kali aku memperkenalkan dia dengan temanku. Aku sangat cemas Anka belum mendapatkan kemajuan di kemampuan interaksi sosialnya.
Kirana tanpa sengaja memegang tangan Anka dibalik selimutnya. Dan skenario terburuk yang aku bayangkan terjadi. Anka mengamuk sejadi-jadinya. Aku langsung memposisikan badanku di depan Kirana. Infus di tangan Anka terlepas membuat tiang tempat infus itu berada jatuh mengenai Nenek. Anka mengambil nampan tempat makan siang dan melemparkannya padaku.
Kening tempat nampan itu mendarat mengeluarkan darah. Aku langsung mengantarkan Kirana keluar ruangan dan berlari kembali untuk menenangkan Anka. Aku mengosongkan meja di sekitar Anka, menaruh diluar jangkauannya.
“Anka itu nggak boleh! Nggak baik lempar barang ke orang!.” Aku dengan pasrah menerima kepalan-kepalan tangan yang mengepal ke tubuhku.
“Nggak mau. Nggak suka.”
“Bicara sayang. Hei, hei tatap mataku.” Aku memaksanya untuk menatapku. Satu-satunya hal yang berhasil menenangkannya adalah ketika sudah melihat mata orang, yang mana sangat susah untuk membuatnya melakukan itu.
“Tenang ya.” Aku tersenyum kepadanya dan terus menemaninya di sana bergumam. Kakek dan nenek masih di luar menemani Kirana. Di keluarga, aku paling mampu untuk dapat mengendalikan Anka. Aku selalu menjadi sasaran kebengisannya, tapi juga penenangnya.
Setelah sekitar setengah jam, Anka tertidur. Aku keluar kamar untuk menemui Kirana. Dia terduduk di salah satu sofa ditemani nenek. Untung saja tidak ada luka di dirinya. Mungkin ini bodoh membawa Kirana bertemu Anka. Sungguh apa yang aku pikirkan.
Kakek kemudian menyuruhku untuk pulang ke rumah bersama Kirana. Kami berdua disuruh istriahat. Memang yang terbaik untuk saat ini Kirana aku bawa pulang ke rumah. Sekarang, bagaimana aku harus mulai menjelaskan tentang Anka padanya? Sungguh aku tidak tahu harus mulai dari mana.