Magic In You

By VVyMeU

32.3K 3.1K 154

Sejak mata ini pertama kali melihatmu, kamu berhasil menyita perhatianku. Kala itu, kalau kamu masih ingat, k... More

Beginning
1. First Sight
2. Ramen Susu Keju
3. Amplop Putih
5. I Need You
6. Hanya Kamu
7. Idola
8. Sengatan Itu
9. Don't Touch?
10. Ara Bertanya
11. Aku Bukan Malaikat
12. Unexpected Offer
13. Angel Or Butterfly
14. Malam Tadi
15. Sosok Setengah Dewa
16. Sendu Merindu
17. Aku Ingin Disini
18. Kembali tersenyum
19. Blok Mahakam
20. Just Be Yourself
21. Little Einstein
22. I 💗 U, My Thomas
23. Haters Gonna Hate
24. Anka
25. Mencintai Sangat Dalam
26. Tell Me Everything
27. He'll Be Okay
28. Perhatian Yang Menyenangkan
29. Sakit.. Perih..
30. 12 April 2003
31. Doa yang terjawab
32. Surprise
33. Tempramen
34. Tetapkan Keyakinan
35. Kissing Her
36. Bugs & Panda
37. Don't Ever Leave Me
38. Kembali Berjumpa
39. Weekend
40. No Choice
41. I Won't Give Up / So Do I
42. Clement
43. Anka & Kirana
44. I Love You, Always
Pesan Untuk Kirana
Bio dan Q&A

4. Damn! She's So Stylish

1K 100 3
By VVyMeU

KIRANA'S POV

“Ce, aku cinta banget sama cece. Mau nggak cece jadi pacarku?” Edo berteriak sehingga satu ruangan mendengarnya. Tak sampai sedetik, ruangan sudah gaduh dengan suara-suara suitan dan ‘perintah’ untuk menerima. Mengapa harus di tengah ruangan BEM sih, belum lagi semua anggota sedang berkumpul di sini untuk persiapan besok.

“Bisa nggak kita bicara di luar, Do?” aku langsung berjalan keluar ruangan, kemudian dia mengikutiku dari belakang. Meskipun di luar, aku tau kuping dan mata teman-teman di ruangan masih mengikuti kami.

“Jadi gimana, ce?” Tanyanya setelah berhenti di depanku.

“Aku nggak bisa jadi pacarmu. Maaf, Do. tapi aku nggak ada feeling apa-apa” Aku menjawab jujur. Mukanya yang tadi ceria langsung berubah seperi habis mendengar berita duka.

“Karena aku junior ya, ce?” Dia terlihat memaksa dirinya untuk bertanya. Aku berteriak dalam hati, tiga tahun lebih muda dari rata-rata temanku, dua tahun lebih muda dari dia, apa akan pengaruh dia junior apa bukan? Tetap saja aku lebih muda dari pada dia intinya.

“Nggak, cuma cinta nggak bisa dipaksa hadir.” Aku menjawab santai.

“Cece pacaran sama ko Stevan?” Dia seperti menanyakan pertanyaan semua orang. Belum terkumpul kata yang mau kusampaikan, Stevan sudah berlari dari lorong arah aula.

“Kalian ngapain di sini? Ayo masuk, kita mulai rapat persiapan besok” dengan santainya Stevan menggiring kami berdua masuk ke dalam ruang BEM. Edo sudah masuk duluan dengan tampang anak kecil yang tidak dibelikan boneka, ketika Stevan membisiki aku.

“Menolak untukku ya?” Tanpa perlu jawabanku, dia langsung melangkah masuk. Ruangan BEM terlihat tidak normal, seperti firasatku tadi, semuanya pasti habis menguping.

Stevan memang pernah menyatakan cintanya, tapi dari hari pertama melihat dia dengan BMW pink-nya aku sudah ilfeel lebih dulu. Bukan aku melihat dari penampilannya saja, tapi matanya yang seperti kembang api saat bertemu perempuan mengenakan rok mini itu juga yang buat aku merasa tidak senang dengannya.

Gosip aku berpacaran dengan Stevan memang sudah lama, sejak awal kepengurusan. Hal itu gara-gara keanehan bagaimana aku yang seorang pendiam bisa diberi jabatan GM divisi media.
Jujur saja, aku sama sekali tidak ingin jabatan di kepengurusan Stevan. Senior-seniorlah yang memaksaku menerima permintaan Stevan, dan Stevan sendiri pastinya sudah terlebih dahulu konsultasi dengan senior lainnya. Saat aku bertanya mengapa harus aku--pada senior, mereka berkata pekerjaanku yang paling bagus dari seluruh anggota divisi, sayang jika aku tidak melanjutkan. Mengikuti organisasi ini sebenarnya hanya jalan paling mudah untuk memenuhi poin kegiatan untuk bisa lulus. Aku memang suka menghabiskan waktuku di bidang media, alasan utamanya adalah pekerjaannya menempatkanku dibelakang layar, tidak harus bertemu dengan orang. Bagiku media itu seperti jembatan, menghubungkan seluruh aspek dan menyalurkan dari internal ke eksternal begitu pula sebaliknya. Wajah suatu organisasi itu ujung tombaknya adalah media, contohnya saja, perusahaan seperti coca cola tanpa mengiklankan produknya apa bisa dia mendunia?
Semua itu lah yang membuatku sekarang tersangkut di sini, menjadi salah satu petinggi BEM FEB. Menjadi GM ternyata tidak susah seperti bayanganku. Aku mampu mengontrol anggotaku dengan baik, memberi pujian atau ‘hadiah’ ketika mereka bekerja dengan baik dan memberi evaluasi ketika terdapat kekurangan. Cara seperti ini terbukti efektif, divisi media jauh bekerja lebih baik dibandingkan dengan divisi lain. Seperti malam ini, divisiku sudah bisa pulang lebih cepat. Persiapan kami sudah selesai dari siang tadi.

Seminar hari ini akan diadakan pukul sembilan, registrasi mulai pukul delapan dan panitia harus datang pukul tujuh. Ketika aku sampai di kampus, wajah-wajah mengantuk mulai sibuk menyiapkan ruang aula. Aku mencoba mencari angggotaku, mengumpulkan mereka untuk briefing hari ini. Sepuluh orang anggotaku aku bagi menjadi lima kelompok. Yang pertama untuk mengurus keperluan pers yang kami undang, yang kedua untuk update media sosial dan live streaming, yang ketiga untuk keperluan power point dan video untuk materi seminar, yang keempat untuk fotografi dan yang kelima untuk jurnalistik.
Ketika peserta seminar datang, aku dan teman-teman GM harus membeli permintaan mendadak pemateri untuk simulasi. Sungguh menyebalkan, tidak tahu apa Jakarta itu macetnya bagaimana. Peralatannya memang tidak banyak jenisnya, tapi kami harus membeli sebanyak peserta yang hadir, yaitu sekitar 250 orang. Setelah seluruh permintaan dari pemateri bisa kami beli, kami masih harus memotong-motong dan menempelkan.

Hampir dua jam waktu kami habis untuk seluruh kehebohan itu, sungguh melelahkan dan menjengkelkan.
Aku harus segera ke anggotaku, sedari tadi aku belum sempat menanyakan kabar mereka. Bukannya aku tidak percaya atas kemampuan mereka, tapi memang itu tanggung jawabku untuk mengawasi mereka. Yang pertama kuhampiri adalah Reno, dia bertanggung jawab di bagian fotografi. Belum sampai aku menghampirinya, dia sudah berjalan mendekatiku. Dia memiliki model rambut pompadour yang sangat menarik perhatian, meski begitu rambut model itu cocok pada wajahnya yang lonjong dan segar.

“Ce, kemana aja sih! Aku sudah dari tadi nyari cece!” dia menghampiriku di depan pintu.

“Siapin peralatan permintaan pemateri. Ada masalah, No?” aku bertanya harap-harap cemas.

“Nggak kok, tadi ada yang nitipin surat buat kamu, ce.” Dia membuka tas kameranya, mengaduk-aduk isinya, kemudian mengeluarkan sebuah amplop putih. Dia kemudian menyerahkan surat itu padaku.

“Dari siapa ini, No?” Aku mengamati amplop surat tersebut. Putih polos, tidak ada tulisan dari siapa atau untuk siapa. Aku terheran-heran, mengantisipasi adanya surat cinta di dalam amplop ini.

“Cewek cantik namanya Khata. Kenalin dong, ce!” Aku tersentak mendengar namanya, heran bagaimana dia masih menyempatkan waktunya untuk datang ke seminar ini. Stevan memang minta ada perwakilan dari seluruh kampus di Jakarta, aku yakin dia pasti minta dari kampus Khata juga. Sudah hampir dua minggu kabar BEM kampusnya ‘mengacak-acak’ ketenangan para pejabat kampus, dan setahuku dia adalah salah satu yang berperan penting.

Aku mulai mencarinya di ruangan ini, melihat keseluruh penjuru ruangan. Dia duduk diantara dua wajah yang aku kenal sewaktu kunjungan, mereka pasti teman kuliahnya. Mukanya tetap ceria seperti terakhir yang aku lihat, namun sedikit kantung mata terlihat di bawah matanya. Aku rasa dia pasti mengalami dua minggu yang cukup melelahkan.

Surat ditanganku rasanya menarikku untuk membukanya. Aku membuka pelan amplopnya, menarik secarik kertas dan benar-benar terkagum akan isinya. Ini... gambar sketsa mukaku... sedang tidur dan tersenyum... Dibawahnya terdapat tulisan yang sangat rapi berbunyi “Semangat buat seminarnya, ingatlah buat tersenyum : )”

ASTAGA! Aku segera menutup bibirku, menutupi senyumku yang benar-benar tidak bisa kutahan lagi. Darah rasanya mengalir deras ke sudut-sudut mukaku, menghangat membuat wajahku memerah. Aku malu bagaimana dia melihatku sewaktu tidur, tapi aku juga sangat gembira bahwa dia mengingatku. Dia orang yang sibuk, bertemu orang baru setiap saat, dan dengan kabar yang kudengar belum lama ini, dia masih sempat-sempatnya memperhatikan aku yang hanya bertemu dengannya sekali. Aku benar-benar tidak bisa berhenti tersenyum. Bagaimana bisa kamu tidak tersipu malu ketika seseorang yang dikagumi banyak orang memberi sketsa wajahmu dan memberikan semangat di saat kamu membutuhkannya?
Aku menoleh ke arahnya, menatap wajahnya yang gembira itu. Dia kemudian tertawa tanpa suara seperti senang sekali bisa melihat wajahku memerah. Sudut-sudut lelah di mukanya sama sekali tidak terlihat sekarang, aku yakin hal itu juga berlaku padaku saat ini. Penat dan lelahku terangkat begitu saja, seperti dia telah memberikan obat paling mujarab untukku.

Dua jam terakhir aku tidak bisa berhenti tersenyum. Hampir semua anggota BEM bertanya padaku mengapa aku begitu sumringah. Aku bahkan tak bisa menjawab mereka, sungguh aku terlalu gembira sekarang.

Ketika seminar selesai aku langsung izin untuk beranjak lebih dulu, aku harus berterima kasih padanya. Anehkah diriku bila aku merasa bahagia mendapatkan perhatian darinya? Itu memang secarik kertas, tapi aku merasa goresan yang ada di kertas itu dan berasal dari salah satu orang yang aku dan banyak orang kagumi, membuat kertas itu berarti lebih. Perhatian yang sudah lama sekali tidak pernah aku dapatkan, ada di secarik kertas itu.

Aku melihatnya berdiri di lorong sedang mengutak-atik ponselnya. Dia mengenakan kemeja putih dengan suspenders dan bow tie berwarna merah ditutupi dengan jas hitam yang digulung sampai siku, celana skinny jeans hitam dan sepatu brogue warna merah gelap. DAMN! She’s so stylish!  Mimpi apa aku semalam, mendapat perhatian oleh orang sesempurna ini.

“Hei Khata. Terima Kasih.” Aku mendekatinya, berkata dengan pelan.

“Sama-sama. Kamu keliatan lebih cantik kalo tersenyum, kamu tau?” Dia memandangku lekat-lekat, seperti puas akan senyum yang sedari tadi mengembang di bibirku. Mukaku yang sudah mereda kini mulai hangat kembali mendengar pujiannya. Aku belum sempat membalasnya ketika ponselnya berbunyi dan dia izin padaku untuk menjawabnya.

“Hai Anka!” dia melangkah ke taman, wajahnya yang cantik tersiram sinar matahari.

“...”

“Ada apa sayang?” kerut muncul di keningnya.

“...” dia sedikit menjauhkan telinga dari ponselnya, sepertinya sang penelpon berteriak.

“Iya, nanti aku bikinin. Sekarang nurut, jangan teriak-teriak lagi dong.” Dia berjalan semakin jauh dari pendengaranku. Sekitar dua menit setelah dia mengangkat telpon, dia berjalan ke arahku kembali.

“Kamu masih ada kerjaan lagi habis ini? Mau makan siang bareng sama aku?” dia menghembuskan nafas seperti terlihat lega percakapan dengan sang penelpon berakhir.

“Nggak ada. Temen-temen kamu?” tidak kulihat memang teman-temannya yang tadi duduk di sebelahnya berada di sekitarnya sekarang.

“Mereka mau nonton konser, ROCK bukan aliranku” dia memberi penekanan pada kata rock sambil tertawa kecil. Kemudian aku mengangguk mengiyakan ajakan makan siangnya. “Oke, aku yang nyetir ya!” menanggapi anggukanku.

Selama berjalan ke parkiran, aku bertanya-tanya dalam hati tentang sang penelpon tadi. Anka kalau aku tak salah dengar Khata memanggilnya. Seperti apa ya cowok yang berhasil merebut hati malaikat seperti dia. Tapi kenapa dia seperti terlihat lega ketika panggilan itu berakhir? Apa hubungannya tak berjalan mulus?

Continue Reading

You'll Also Like

114K 5.1K 52
"Don't judge someone just because they sin differently than you!"
86.5K 1.3K 3
Hanya chapter yang tidak di publis dengan beberapa alasan. Di buang sayang jadi simpan sini aja
13.6K 1K 65
Kalau aku bukan jodoh mu, setidaknya biarkan aku terus berada di dekatmu.
102K 7.5K 37
Baru kenal emang cuek juga dingin. Kalau udah deket dan tau sifat asli nya mah kaget sendiri dah. Dan kebencian bisa jadi cinta... You Are Mine