Why Don't We? [alternative ve...

By protagonistark

2.4K 128 170

Devonna Lawrance, perempuan cerdas yang sangat-sangat malas untuk bersekolah, dipaksa ayahnya untuk memasuki... More

Halo semua kembali lagi
Babak Satu: Devonna Irvine Lawrance dan Kemalangannya
Babak Dua: Devonna dan Joey
Babak Dua: Pekerjaan Pertama
Babak Dua: Hampir saja
Babak Dua: Kau Berhak Dicintai
Babak Dua: Rasa Sakit
Babak Dua: Lagi
Babak Dua: Dua Dunia Berbeda
Babak Dua: Sakit
Babak Dua: Pintu masuk ke masa lalu
Babak Dua: Tak Terduga
Babak Dua: Amarah
Babak Dua: Sebuah Permintaan
Babak Dua: Freedy dan permohonannya
Babak Dua: Langkah mundur yang berarti banyak
Babak Dua: Kamping
Babak Dua: Joey Alexander dan Devonna Lawrance
Babak Dua: Permintaan Maaf
Babak Dua: Prasangka
Babak Dua: Perasaan
Babak Dua: Perlombaan.
Babak Dua: Semua orang takut akan hal yang tak mereka tahu.
Babak Dua: Sebuah undangan
Babak Dua: Jamuan Makan Malam
Babak Dua: Mimpi buruk yang menyelinap kembali
Babak Dua: Perjanjian
Babak Dua: Menjauh untuk mendekatkan suatu hal
Babak Dua: Montana
Babak Dua: Motel
Babak Dua: Put A Little Love On Devonna. (1)
Babak Dua: Put A Little Love On Devonna (2)
Babak Dua: Kembali
Babak Dua: Khawatir
Babak Dua: Tak terduga
Babak Dua: Apa yang kau lihat?
Babak Dua: Guardian Shoes
Babak Dua: Keluarga baru
Babak Dua: Bond
Babak Dua: Bertambah
Babak Dua: Sebuah rencana
Babak Dua: Bantuan
Babak Dua: Untuk terakhir kalinya
Babak Dua: Rahasia yang terkuak
Babak Dua: Sebuah Kunjungan
Babak Dua: Kabar di tengah malam
Babak Dua: Pada akhirnya
Babak Tiga: For better, {not} for worse

Babak Dua: Nama dia Joey Alexander

91 3 0
By protagonistark

Sekolah sudah selesai tapi tidak untuk selamanya, hanya hari ini saja dan dengan menyadarinya saja sudah membuatku sangat sedih. Olivia dan aku berjalan bersama keluar dari ruang kelas sembari mengisi setiap langkah kami menuju pintu keluar gedung sekolah dengan obrolan ringan. Dia meramalkan bahwa hari-hariku selanjutnya di sekolah ini akan begitu luar biasa. Bagaimana tidak? keberadaanku yang baru seumur jagung saja sudah meroket dengan bebas menjadi menjadi siswi trending topic di ruang guru dan anak baru pertama yang benar-benar bisa menentang kelompok berpengaruh di sekolah. Ya, aku seorang Devonna Lawrance melakukan semua hal-hal luar biasa itu di hari pertamaku masuk sekolah.

Tetapi, tentu saja aku tidak akan membiarkan hal itu mempengaruhi akal sehatku-walau sebenarnya akal sehatku sudah mulai tergeser semenjak beberapa orang yang tak aku kenal menepuk pundakku dan bilang 'Hey, kau luar biasa girl!' dan rasanya juga tidak sopan jika aku tidak mengangguk balik dan menjawab: 'Aku tahu, aku memang luar biasa.'

Hey, menurutku sombong sesekali di hidupmu tidak akan begitu menyakitkan bukan?

"Devonna Lawrance?" Tanya seseorang lelaki tinggi bercamata dengan aksen India kental di nada bicaranya.

Aku dan Olivia bersamaan melihat lelaki itu. "Baiklah Dev, aku duluan. Ibuku sudah menunggu." Ucap Olivia yang berada di sebelahku.

Aku tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Olivia segera berjalan menghampiri ibunya yang berdiri di samping mobil sedan model lama sembari merokok, riasannya tampak seperti remaja 80-an yang tidak rela memasuki masa tua mereka. Aku menarik nafas pendek dan menganggguk sambil melambaikan tangan. "Hati-hati." Lirihku, aku kemudian menoleh ke arah lelaki itu. "Ada sesuatu yang bisa aku bantu?"

"Sepertinya kau yang membutuhkan bantuanku." Jelasnya lalu mengeluarkan sebuah kunci dengan gantungan angka. Dia tersenyum. "Perkenalkan namaku Indra dan aku akan mengantarmu menuju dorm-mu. Mari ikut aku."

Aku mengangkat kedua alisku. "Okay, silahkan pimpin jalannya, Indra." Balasku lalu kami berdua berjalan melawan arus balik sekolah yang begitu ramai dan padat. Kami seperti ikan salmon yang menerjang arus hulu sungai hanya untuk melakukan reproduksi dan setelah itu mati. "Hei, apa namamu seperti Indra saja atau Indra Sang Dewa Indra?" Tanyaku yang kini berjalan di sebelahnya.

"Namaku diangkat dari Sang Dewa Indra." Jelasnya.

"Woah, pasti menarik mempunyai nama setara seorang Dewa." Balasku.

"Hm... aku pikir tidak. Kau harus bisa menjaga nama ini tetap bersih dan tak ternodai. Sebagai manusia biasa dan tak sempurna, aku masih berlatih melakukan itu." Tukas Indra.

"Kau tahu? aku tak percaya dengan orang suci di era seperti ini. Kita semua pasti pernah melakukan hal kotor dan berdosa tanpa kita sekalipun menyadarinya. Tetapi aku yakin kau bisa melakukan itu Indra." Balasku dengan senyuman. "Hey, kau anggota intra sekolah kan? Apa kau tahu kegiatan di daerah sini yang memghasilkan uang?"

"Apa kau sedang bercanda padaku?" Tanya dia sembari terkikih.

"Aku tidak pernah bermain-main jika berbicara tentang uang." Jelasku meniru logat mafia-mafia dalam film hollywood.

Indra tersenyum dan kemudian mengangguk. "Um... let's see. Aku tinggal cukup jauh dari sekolah, jadi tidak terlalu tahu tentang keadaan di sini. Hanya saja seingatku ada supermarket yang membutuhkan karyawan, letaknya di turunan jalan dan entahlah. Aku pikir kau bisa magang di sekolah. Terkadang jika kau membantu tukang cleaning service kau akan mendapat hadiah."

"Kau tahu Indra?" Tukasku. Kami kini sudah berada di pavilun depan dorm milikku. Indra memasukkan kunci ke dalam lubang pintu. "Aku mulai berpikir bahwa sekolah ini mempunyai banyak sekali uang yang bertebaran di manapun. Tetapi tak bisa memberikan makan siang yang bergizi dan baik untuk muridnya. Geez, setidaknya mereka harus memperbanyak tempat duduk kafetaria."

Pintu yang terkunci di depan kami akhirnya terbuka. Indra menarik gagang pintu dan mendorong pintu tersebut ke dalam. Seketika pemandangan bagian dalam dormk-u terbentang layaknya pemandangan indah—seperti panama tetapi tutunkan ekspetasimu sebanyak sembilan puluh persen. Dorm ini terlihat sama menyedihkannya dengan ruangan kepala sekolah yang suram.

"Selamat datang di dorm milikmu." Ucap Indra dengan semangat sembari melihatku.

Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumahku—secara harfiah. Seluruh barang-barangku masih terkemas rapih di dalam kardus-kardus yang memenuhi ruang televisi. Aku berjalan mendekati salah satu kardus yang di sebelahnya tersandar sebuah frame foto persegi panjang menyender di kardus tersebut. Aku bertekuk lutut di depan frame tersebut dan menyentuh permukaan kaca dengan jemari tanganku perlahan. Mataku melihat senyuman besar yang indah di dalam sana dan jari telunjukku bergerak mengikuti lekukan senyum di bibir yang terbalut oleh lipstick warna merah muda itu.

"Jika tidak ada sesuatu lagi, aku harus pergi. Kebetulan aku harus mengikuti rapat." Jelas Indra di belakangku.

Aku menoleh dan mengangguk. Indra tersenyum kemudian dia menutup pintu di belakangku. Kini hanya tinggal aku dan frame foto yang terukir oleh kenangan kelam ini. Aku menarik nafas panjang dan termenung sesaat memikirkan fakta bahwa aku tak punya cukup banyak foto untuk mengingatkanku akan kenangan manis yang mungkin pernah terjadi di hidupku bersama orang tuaku—terutama ibuku. Aku bahkan tak ingin berdiri di depan lensa lagi semenjak aku bertumbuh dewasa, hidupku dihabiskan dengan segala kesedihan yang bisa kau bayangkan dan mungkin pada akhirnya aku meninggalkan dunia ini dengan kesedihan juga.

"Mom... sepertinya aku mempunyai banyak tugas yang menungguku sekarang. Aku akan bertemu lagi denganmu dan menggantungmu di sudut terbaik di dorm baruku. Ya jangan menyesal, dorm ini memang tidak apa-apanya dibanding rumah ayah." Jelasku lalu aku melihat wajahnya. "Ya... aku tahu, ayah yang pasti membawamu ke sini."

—oOo—

Sudahlah...

Ini memang bagian kehidupan yang terburuk yang pernah aku alami di hidupku.

Selamat pagi untuk seorang Devonna Lawrance sebatang kara dan juga untuk bangunan megah sekolah dari luar jendela kamarku. Mungkin aku satu-satunya orang pertama yang bangun sepagi ini. Sekarang pukul empat dini hari, sebenarnya ini adalah waktu yang aneh bagi orang Amerika terutama untuk sebagian kulit putih memulai aktivitas mereka. Memang, jika dipikir-pikir, sebenarnya diriku bisa memilih bangun seperti orang-orang pada umumnya, tetapi kemudian semua ini melekat pada diriku dan menjadi kebiasaan.

Tetapi aku merasa beruntung karena dapat bangun sepagi ini, mungkin jika aku telat beberapa jam saja aku bisa menggila karena mengetahui bahwa air di dorm sialan ini tidak berfungsi sama sekali. Aku sedang menyusun skenario percakapanku yang panjang lebar kepada pihak sekolah akan masalah ini. Seluruh keran airku tidak mengeluarkan apapun kecuali debu karat dan juga suara aneh yang biasanya kau dengar ketika memutar keran di rumah tua yang sudah lama tidak mendapatkan jamahan mesra tangan manusia.

Aku terpaksa harus berlari membawa handuk dan ember kecil berisi sabun, sikat gigi dan sampo menyebrangi wilayah dorm-ku menuju gym sekolah—karena kebetulan hanya tempat itu saja yang tidak terkunci. Aku meminjam ruang bilas yang terlalu besar untukku sendiri selama beberapa saat. Setelah selesai, aku mengeringkan tubuhku dengan handuk dan memakai seluruh pakianku. Celana jeans, t-shirt yang terbuat dari cotton tipis dan juga jaket—tak lupa dengan dua sepatu yang melindungi kaki mungil ini. Aku berjalan keluar dengan rambut yang terbalut oleh handuk putihku.

"Duh...!" ucapku refleks ketika menabrak sesuatu di depanku.

"Maaf." Ucap seseorang lelaki yang ada di depanku dan aku melihatnya. "Jujur saja aku tak melihatmu di situ." Balasnya lalu dia melepaskan genggaman tangannya.

"Ini salahku juga, aku seharusnya lebih hati-hati." Balasku dengan senyuman.

Dia menganggukkan kepalanya. Lelaki itu menyelipkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana panjang merah yang ia gunakan. "Ini pukul enam pagi, jarang ada wanita di gym sekolah sepagi ini. Apa yang kau lakukan?" Tanya dia dengan mimik wajah penasaran, tetapi dia tidak terlihat curiga sama sekali kepadaku

"Um, sebenarnya ini memalukan tetapi jika kau berpikir aku melakukan sesuatu yang kriminal di sini tolong jangan pikirkan lebih jauh lagi." Balasku lalu mengangkat ember yang aku genggam dengan tangan kananku. "Aku rasa ada yang menyumbat pipa air di dorm-ku dan aku meminjam ruang bilas di gym. Jika kau ingin memarahiku, aku tidak masalah."

Lelaki itu tertawa pelan. "Oh... kau pasti anak baru itu ya?" Tanya dia dan aku mengangguk. Lelaki itu tersenyum lebar, memajang gigi putihnya terbaris rapih di dalam mulutnya. Dia merentangkan tangannya ke arahku. "Aku Ryan, sudah mendengar banyak tentang dirimu di hari pertama kau masuk sekolah. Sebuah kehormatan bisa bertemu Sang Legendanya secara langsung." Lanjutnya dengan senyuman.

Aku terkikih pelan, "Kau terlalu berlebihan. Kau bisa panggil aku Devonna atau Dev jika kau ingin."

"Mau aku antar balik ke dorm-mu?" Tanya Ryan.

"Tidak perlu... jalanan menuju dorm tidak sederas arus air terjun Niagara Falls." Balasku.

Ryan tersenyum dan mengangguk. Kami berpisah begitu saja dengan cepatnya. Aku kembali ke dorm-ku. Melepaskan lilitan handuk dari kepalaku yang masih basah, menyisirnya di depan kipas angin yang berada di sebelah tempat tidurku agar rambut ini lebih cepat mengering. Selesainya, aku memasukkan seluruh buku pelajaran untuk hari ini ke dalam tas pink yang ayah belikan spesial untuk merayakan sekolah umum pertamaku, tapi setelah dilihat-lihat sepertinya dia hanya ingin mempermalukan diriku.

Aku berjalan keluar dari dorm dan mengunci pintunya, memeriksa sekali lagi hanya untuk memastikan pintu tersebut terkunci dengan baik walaupun aku tak membawa barang-barang yang berharaga bersamaku untuk pindahan kali ini. Awalnya aku berencana untuk membawa permainan konsol tercintaku a.k.a playstation 4, tetapi ayah berdiri di ambang pintu kamarku dengan postur tubuh tegap sembari melipat kedua tangannya dan berkata 'Kau tidak akan membawa itu, nona muda.'  Dia tahu, jika aku membawa mainan itu aku tak akan keluar dari dorm-ku untuk bersosialisasi dengan teman-temanku dan itu sebenarnya membuat aku sedikit berpikir tentang suatu hal. Pasalnya, mendengar pernyataannya itu berarti ayahku mengirim seorang keluarga Lawrance ke sekolahan publik hanya untuk mencari teman, bukan ilmu.

Aku berjalan sembari merundukkan kepalaku, tidak berniat untuk melihat wajah-wajah orang yang tak aku kenal di pagi ini. Aku memeriksa kertas jadwalku dan melihat bahwa jam petama hari ini diawali dengan kelas biologi. Kini aku tengah berjalan di lorong sekolah yang penuh sesak dengan ratusan anak-anak ABG dengan segala macam aroma parfume yang menempel di tubuh mereka. Sesekali aku melihat papan yang tergantung di setiap pintu, berharap mendapatkan papan yang bertuliskan 'Biologi' di sana, sehingga menyelesaikan pencarianku melewati lorong neraka ini.

"Hey, Devonna." Suara Olivia disertai rangkulan pada pundakku. "Kau kelas apa?"

"Um... ." Aku melihat secarik kertas di tanganku. "Biologi."

"Sangat kebetulan kita searah dan kau sangat beruntung, setidaknya kau tak mengawali pagimu dengan sejarah yang membosankan serta bagaimana Napoleon Bonaparte menaklukan dunia." Jelas Olivia sembari terkikih.

Aku ikut terkikih lalu melipat kertas jadwalku sebelum memasukkannya kembali ke saku jaket. Kami berjalan bersama dan setelah aku sampai di ruang biologi, Olivia langsung melanjutkan perjalanannya menuju kelas sejarah. Aku melihat beberapa murid yang menatapku dan kemudian berbisik kepada teman yang duduk di sebelahnya. Aku menarik nafas panjang dan berjalan memasukki kelas. Aku mengambil bangku barisan ke tiga, dekat dengan jendela yang langsung memberikan pemandangan keluar dengan langit biru yang secerah kepala The Rock ketika terkena cahaya.

Sangat membosankan menununggu pelajaran dimulai, tetapi aku tidak ingin keluar dan membuat hidupku semakin rumit. Hanya saja suasana kelas ini sudah membuatku tak nyaman. Begitu kelam sekali, banyak hewan-hewan mati yang diawetkan dalam zat kimia, memajangnya di dalam toples dengan mata kelabu. Seakan hewan-hewan itu menatap langsung ke dalam jiwaku dan membongkar seluruh dosa terbesar yang aku kubur di dalam diriku. Selain itu anak-anak di kelas ini bodoh, maksudku mereka benar-benar bodoh. Mereka membicarakanku, hampir seluruhnya. Aku bisa mendengar mereka berbisik 'Hey itu cewek yang menantang Loli dan kelompoknya kemarin di cafeteria, bukan?' dan kemudian dilanjutkan dengan kalimat 'Aku harap Loli menendang bokongnya. Dia anak baru yang sombong, aku tak suka dengannya. Loli dan kelompoknya harus memberikan pelajaran untuk dia.'

Apa yang mereka pikirkan, kenapa otak mereka begitu rumit. Kemarin mereka memujiku karena pada akhirnya ada seseorang yang dapat mempermalukan Loli dan kelompoknya, kemudian dengan secepat membalikkan telapak tangan—aku adalah tokoh jahatnya.

"Selamat pagi anak-anak." Ucap seorang guru wanita kulit hitam berjalan memasuki ruang kelas.

"Selamat pagi Miss. Connie." Ucap beberapa murid selagi mereka duduk di tempat mereka masing-masing.

"Hey boleh aku duduk di sini?" Tanya murid perempuan yang tiba-tiba berada di sebelahku.

Aku hanya tersenyum dan menggeser bokongku di atas kursi panjang licin ini. Pelajaran dimulai dengan Miss. Connie menjelaskan teori dan juga tata cara praktikum karena kebetulan hari ini adalah hari praktikum. Kami memakai sarung tangan karet dan mulai memotong-motong planaria dengan pisau bedah lalu meletakannya di dalam cawan petri yang berisi air. Aku membiarkan teman sebangku baruku menuliskan laporan praktikum kami. Aku terlalu malas untuk menulis, lagian aku sudah bekerja sedari tadi ketika ia mengobrol dengan teman sebelah bangku kami.

"Aku sangat bosan di sini." Ucapku tanpa ada rasa semangat.

"You don't say." Balas perempuan itu dengan senyuman.

"Aku harus keluar, mencari udara. Di sini penuh dengan aroma kematian dan aku tidak suka dengan aroma kematian. Seakan membangkitkan kenangan buruk atau—" Aku melihat keluar dari jendela dan melihat langit kini berubah menjadi kelabu dengan perlahan. "—memang sebenarnya sudah bangkit sejak lama."  Aku memandang langit, dahiku mengkerit. "Wow... cuaca di sini cepat sekali berubah, seakan kau mengajak seorang perempuan pergi ke restoran dan dia akan bilang seterah tetapi tak ingin menu manapun yang kau bilang dan sedetik kemudian dia merajuk."

"Selamat datang di Denver." Jelasnya.

Aku bangkit dan berjalan melalui setiap anak murid yang mengerjakan tugas praktikum mereka, tetapi sebenarnya sebagian besar dari mereka hanya berbicara dan mengobrol. Miss.Connie tidak melakukan apapun dengan keadaan kacau balau di kelas biologi. Sekolah publik memang sebuah lelucon, dia sedari tadi memainkan ponselnya dan tertawa seperti orang gila. Jadi aku berasumsi Miss.Connie tidak akan merasa kehilangan karena aku sedang berencana untuk keluar dari kelasnya dan membolos.

Sejujurnya itu sangat mudah, bahkan benar-benar mudah. Tidak ada rasa adrenalin yang memacu sama sekali di dalam darahku. Kau tahu? Ketika aku SMP aku harus mengetahui menit keberapa tititk kelemahan guruku dan aku bisa membolos sambil merasakan adrenalin yang mengalir deras di seluruh tubuhku. Terutama sangat mengasyikan ketika kau bisa mendaur ulang scene pada film James Bond di dunia nyata dan kau merasa benar-benar seperti mata-mata yang sebenarnya.

Lorong sekolah begitu sepi, seakan keramaian yang terjadi sebelumnya hanya sejarah dan kemudian terhapus begitu saja selama jarum jam berputar menambah waktu yang kita habiskan di muka bumi ini. Aku berjalan menyusuri lorong sepi dan panjang ini, melihat-lihat setiap sudut dan sisi bangunan sekolah yang unik. Menemukan sticker-sticker antik di depan loker murid dan aku mengambilnya untuk aku jadikan koleksiku. Gambar-gambar penis di loker lainnya. Sekolah ini memang benar-benar tidak waras.

Aku beri tahu kepada kalian. Saat kalian melihat gedung sekolah,  diri kalian seakan masuk ke dalam pusat pemerintahan yang sangat disiplin, di mana semua orang mengangguk dengan opinimu dan apa yang kau suarakan. Tak ada musyawarah, hanya ada persetujuan satu pihak. Tetapi ketika kau memasuki gedung sekolah, keadannya berubah. Seperti klub malam dengan berbagai ras di dalamnya, berpesta ganja dan berdansa ria diiringi lagu yang berisi tentang kesedihan. Kau melukisnya di kanvas besar dan namakannya sebagai 'Danser sur la souffrance.' karena hidup adalah penderitaan dan sekolah merupakan bagian dari derita itu.

"Pssstt..." Aku menoleh dan melihat perempuan dari balik jendela ruang unit kesehatan sekolah. "Kau tidak akan selamat dari serangan zombie bernama pengawas sekolah jika berkeliaran tanpa penyamaran seperti itu di lorong sekolah sebelum jam istirahat berlangsung. Kemarilah."

Aku berjalan memasuki ruangan tersebut. Berdiri di ambang pintu sembari menatap perempuan itu dari ujung kaki hingga kepalanya. Dia memakai heels hitam, baju hitam, eyes shadow hitam, lipstick ungu tua, hidung yang ditindik, dan rambut yang tercukur meninggalkan beberapa senti saja di kepalanya.

"Kau tak pernah melihat dokter sepertiku, kids?" tanya dia mengeluarkan permen tongkat dari dalam mulutnya.

"Jujur saja, dari sekian banyak dokter yang aku temui belakangan ini di hidupku. Kau satu-satunya yang aku tahu seperti ini." Jelasku dan kini dia meletakan kaki kanannya di atas kaki kirinya. "Apakah kau bahkan dokter?" tanyaku dengan nada curiga.

"Tidak, aku hanya dibayar untuk berpura-pura saja." Jelas dia lalu dia menunjuk lolipopnya ke belakang, tepatnya ke arah bingkai yang berisi sertifikat ke dokteran. "Jika di sana tertera nama Hailee, maka itu aku."

Aku menatap sertifika itu dan menarik nafas panjang. "Maafkan aku." Jelasku kemudian duduk pada bangku yang berada di depannya. "Kau sudah lama bekerja di sini?"

"Ini tahun ke empatku dan aku mendapatkan kabar menarik jika kau adalah anak baru yang menyebabkan sedikit kegaduhan di kafeteria kemarin?" Jelasnya.

"Kabar benar-benar menyebar." Lirihku sambil tertawa pelan.

"Jangan salahkan, dinding-dinding ini berbicara, sayang... ." Balasnya. "Naiklah ke atas kasur pemeriksaan, mari kita lihat apa yang kau alami sehingga kau berkelana di jam pelajaran pertama." lanjutnya. Hailee berjalan ke arah kasur pemeriksaan dan dia berdiri sembari melihatku.

"Kau tak perlu repot-repot, diagnosanya sudah kau dapat lihat di depan wajahku. Kebosanan." Jelasku.

"Naiklah, setidaknya ketika pengawas ke sini kau terlihat seperti orang yang sakit." Balasku.

Aku memutar kedua bola mataku dan melakukan apa yang dia minta. Aku naik ke atas kasur pemeriksaan dan Hailee dengan kasar menarik baju bagian belakangku ke atas. Dia mendaratkan permukaan stetoskop yang dingin di permukaan kulitku dan membuat diriku sedikit terkejut.

"Aku tak bisa bilang kau sakit, tetapi aku juga tidak bisa bilang bahwa kau sehat." Jelasnya.

Aku tersenyum tipis. "Ya... aku tidak terkejut akan hal itu. Jika kau mendengarkan caraku bernafas, tenanglah... aku memang bernafas seperti itu. Dokter bilang itu tidak masalah." Balasku

Hailee menurunkan kembali bajuku. Dia berdiri di depanku, menarik troli besi yang berisi tensi darah di atasnya. Hailee menggulung lengan bajuku, dia menatapku dengan kebingungan di wajahnya.

"Apa kau mempunyai riwayat sakit yang serius hingga dokter mengatakan itu?" Tanya Hailee.

"Aku bukan manusia super, duh." Jelasku.

Ketika matanya menatap lengan tanganku yang sudah terulur dan siap untuk di tensi, Hailee terdiam. Aku menatapnya dengan perasaan sedikit bersalah.

"Oh... ini penyebabnya." Lirihnya dan kemudian dia memasangkan tensi itu di lenganku.

"Itu sudah lama." Ucapku.

"Aku bisa melihatnya." Balas Haile lalu dia mulai memompa tensi tersebut. "Apa itu hanya ada di tanganmu saja?" Tanya dia.

"Tidak." Lirihku. Aku terdiam sejenak sembari melihat tanganku. "Ada di bagian lain tubuhku dan tentunya yang memberikan efek paling cepat." Lanjutku.

Hailee mengangguk, aku melihat alat tensi yang mulai menurun setelah Hailee behenti untuk memompanya. Dia melepas tensi tersebut dari tanganku dan berjalan mendekati mejanya. Hailee membuka toples yang berisi banyak permen di dalamnya, dia memberikan salah satu permen tersebut kepadaku.

"Aku tahu itu sudah lama, tapi bisa aku tahu seberapa lama spesifiknya?" tanya Haile.

"Hampir lima tahun atau bahkan mungkin sudah lima tahun lamanya. Aku tidak ingin menghitungnya lagi pula." Balasku.

"Ya, tidak ada oramg yang suka menghitung ataupun mengingat kejadian buruk. Bukan begitu?" Balas Hailee.

Aku membuka plastik yang membungkus permen tersebut lalu memasukkan permen tangkai ke dalam mulutku. Aku mengangkat wajahku dan menatap keluar ruangan. Lelaki yang sama aku temui kemarin saat bersama Olivia, berlalu melewati ruangan ini. Dia berjalan, tetapi begitu cepat.

"Kau tahu dia siapa? Aku bertemu dengannya kemarin siang." Ucapku.

"Um... maksudmu yang baru saja lewat?" Tanya Hailee dan aku mengangguk. "Dia Joey Alexander, dikenal dengan nama Joey. Dia sedikit pendiam, auranya begitu misterius. Kau tidak ingin berurusan dengannya."

Aku mendesah panjang dan membetulkan posisiku. "Kita lihat saja, biasanya masalah mendatangi diriku." Balasku.

—oOo—

Istirahat kedua untuk diriku di sekolah ini. Keadannya masih sama, ramai dan banyak sekali mata yang melihatku tertutama Loli dan teman-temannya. Kali ini Olivia dan aku duduk di bagian tengah, benar-benar jauh dari kelompok terkutuk itu. Kami menikmati spaghetti yang terlihat enak, tetapi aku sudah tidak ingin memakan sphagetti itu sejak suapan pertama. Rasanya aneh, spagettinya juga sangat dingin. Kafetaria ini tidak menyajikan makanan untuk manusia sepertinya.

"Joey!" Seru beberapa orang yang baru masuk ke dalam Kafetaria mengikuti Joey yang berjalan dengan cepat.

Perhatianku tertuju pada lelaki itu. Joey berdiri di belakang seorang lelaki yang duduk dan memakan makanannya dengan santai dan penuh ketenangan, tetapi semua itu berubah ketika Joey mengangkat tubuhnya dengan begitu mudahnya—dan lagi, dia melemparnya ke atas lantai kafeteria. Beberapa teman-temannya mencoba untuk menahan Joey, tetapi tenaga mereka kalah telak dengan kemarahan yang sudah tergambar di wajah Joey.

Joey meremas kerah  baju lelaki itu, menariknya agar dia kembali berdiri dari lantai. Lelaki yang ada di depannya terlihat tertawa dan sejak saat itulah Joey melayangkan tinjuan bebas ke pipi kanan lelaki tersebut. Perkelahian terjadi dengan cepat, beberapa murid terlihat senang akan tontonan live action perkelahian yang gratis itu. Sebagian dari mereka mengeluarkan ponsel dan merekam kejadian bersejarah itu. Aku melihat Olivia yang masih memakan spaghettinya dengan tenang.

Aku mengeritkan dahiku, melihatnya aneh. "Bagaimana kau bisa memakan itu tanpa terganggu dengan keadaan seperti ini?"

Olivia melihat ke arah perkelahian dan memakan makanannya lagi. "Dev, ini selalu terjadi. Secara harfiah ini adalah makanan sehari-hariku juga." Jelas Olivia lalu ia menoleh kebelakang kembali dan mendesah. "Joey... dia selalu membuat onar. Jadi bukan kejutan lagi buatku. Andai saja dia tidak seperti itu lagi mungkin...."

Aku menatap Olivia dengan aneh, aku bisa melihat kekecewaan melanda dirinya dan kemudian aku tersadar. Aku terkikih pelan. "Percaya padaku, jangan menyukai pembuat onar." Ucapku. Olivia menatapku dengan tatapan terkejut. Aku tertawa. "Tidak ada yang baik dari seorang pembuat onar, kau tahu?"

"Entah apa yang kau bicarakan, tapi sudahlah jangan dipikirkan." Balas Olivia dengan kesal. Dia merundukkan wajahnya, mencoba menutupi kemerahan yang mewarnai wajah putih itu. Tetapi bagaimanapun aku tetap bisa melihatnya.

Tak lama kemudian, pasukan keamanan sekolah masuk dan melerai mereka berdua. Tentu keadaan lelaki yang mendapatkan tinjuan romantis dari Joey terlihat begitu berantakan, tetapi dia masih bisa tersenyum dan mengangkat jari tengahnya kepada Joey. Membuat Joey lebih kesal dan bisa melayangan satu tinjuan lagi ke wajah lelaki itu hingga pingsan. Petugas keamanan sekolah membanting tubuh Joey ke atas meja, tak memperdulikan lagi dengan adanya makanan yang belum tersantap di atasnya. Dia menekan kepala Joey di atas meja dan mata coklat lelaki itu berpautan dengan mataku.

Kami saling menatap satu sama lain. Aku bisa melihat kebencian di sana dan kemudian penjaga sekolah mengangkat tubuhnya lagi.

"Ayo jalan!" Seru petugas keamanan dan akhirnya Joey berjalan dengan tangan yang terborgol di belakang tubuhnya.

"Wow... kalian memang mahluk-mahluk liar." lirihku

"Kau baru tahu? Lihat saja wajah-wajah anak-anak ironi di sini." Balas Olivia.

Aku menoleh kebelakang melihat Joey yang terus berjalan dengan pengawalan ketat petugas keamanan. Dia menoleh ke arahku dan kemudian berbalik lagi. Aku melihat lelaki yang sebelumnya pingsan kini tersadar dengan bantuan beberapa murid yang mengasihaninya. Dia kehilangan sebelah matanya akibat pembengkakan dekat pelipis matanya.

Anak murid membantu lelaki itu menuju ruang kesehatan sekolah. Keadaan kafetaria kembali seperti biasa, petugas kebersihan membereskan makanan yang berserakan.

"Ayahku sepertinya salah memasukkan aku ke sekolah ini." Pikirku dan aku menyingkirkan piring berisi sphagetti.

Continue Reading

You'll Also Like

6.8M 257K 29
Menjadi cantik dan seksi adalah dambaan semua wanita. Tetapi mereka tidak mengetahui bahaya apa saja yang selalu mengintainya. Vella Rich Russell,19...
1.4M 24.3K 34
apa yang akan kamu lakukan jika orang tua mu tidak pernah menganggapmu ada dan pacarmu selingkuh dengan sahabatmu sendiri? warning : cerita ini men...
SOSOK SAGA By Ans

Teen Fiction

9.2K 1.7K 22
- BUDAYAKAN FOLLOW SEBELUM BACA,VOTE DAN KOMEN SETELAH BACA! - Ester memang keras kepala, selalu ingin menang sendiri, dan merasa kalau hanya dirinya...
146K 12.5K 74
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...