Pemberhentian Terakhir [Publi...

By penacandramawa

293K 28K 3K

[BUKU PERTAMA DWILOGI RIHLAH CINTA | SUDAH DITERBITKAN, PEMESANAN LANGSUNG KE PENERBIT REX PUBLISHING] Bagi R... More

Buku Pertama - Pemberhentian Terakhir
Prolog
Bab 1 - Gerbong Kereta Nomor Delapan
Bab 2 - Mimpi Raelesha dan Permintaan Asma
Bab 3 - Pencarian Virtual
Bab 4 - Bus Kota dan Pertemuan Kedua
Bab 5 - Notifikasi yang Dinanti
Bab 6 - Bukan Makan Biasa
Bab 7 - Mengembalikan Pembatas Buku
Bab 8 - Oke
Bab 9 - Yang Sudah Allah Gariskan
CV | Raf
CV | Rae
Bab 10 - Pertemuan Pertama
Bab 11 - Akad
Bab 12 - 'Berbuka Puasa'
Bab 13 - Titik Awal Rihlah Cinta
Bab 14 - Mewujudkan 'Seperti'
Bab 15 - Keluh-Kesah di Yogyakarta
Bab 16 - Keinginan Asma
Bab 17 - Menjemput Impian
Bab 18 - Obat Sedih Raelesha
Bab 19 - Tentang Takdir yang Sudah Allah Tuliskan
Bab 20 - Tempat Ternyaman
Bab 21 - Pelesir Turki
Bab 22 - Makna Setia dan Peluang Mendua
Bab 23 - Kabar Kehadiran Al-Fatih Kedua
Bab 24 - Kebahagiaan Raelesha
Bab 25 - Berita Duka
Bab 26 - Kesalahan Terbesar Raf
Bab 27 - Tangis Raf dan Rae
Bab 28 - Semua Yang Tidak Baik-Baik Saja
Bab 29 - Menata Ulang Segalanya
Bab 30 - Jarak dan Luka Yang Terobati Pelan-Pelan
Bab 31 - Melepas Rindu
Bab 32 - Kecelakaan dan Pertemuan Tak Terduga
Bab 33 - Raf dan Lubna
Bab 34 - Perasaan Bersalah yang Tak Kenal Lelah
Bab 35 - Perdebatan dan Isak Tangis
Bab 36 - Menunaikan yang Pernah Diucapkan
Bab 38 - Ketidakikhlasan Kita
Bab 39 - Mengulur Waktu, Memahat Luka Baru
Bab 40 - Berjuang, Bersama-sama
Bab 41 - Memaknai Ujian yang Allah Berikan
Bab 42 - Mari Kita Mengeluh
Bab 43 - Cara Bijaksana untuk Menorehkan Luka
Bab 44 - Membangun 'Rumah' Baru
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Epilog
Catatan
Tanya Jawab Pemain
Info Penerbitan (Vote Kover, Info PO, dll.)
Info Pre Order
Info Pre Order (2)
Buku Kedua - Persinggahan Sementara
Info Pre Order PT 2.0

Bab 37 - Mendefinisikan Setia

4.1K 435 70
By penacandramawa

Setelah menelepon Rae berkali-kali dan tidak mendapatkan jawaban, Raf memutuskan unuk pulang ke rumah orang tua Rae. Jika dipikir-pikir, sejak Ilham meninggal, Raf dan Rae memang belum kembali ke rumah. Raf pamit kepada Lukman dan Lubna. Perempuan itu menatap Raf lekat-lekat dan tepat sebelum Raf keluar ruangan, Lubna memanggil Raf dengan suara lirih. "Raf ...."

Raf menoleh. "Ya?"

"Kamu benar-benar akan menikahi aku kan, Raf?" Lubna bertanya dengan suara bergetar. "Kamu nggak akan meninggalkan aku lagi kan? Kamu ... akan buat aku bahagia kan?"

Raf terdiam sejenak. Laki-laki itu membuang napas berat, lantas mengangguk dengan seulas senyum tipis. Setelah itu, Raf melihat senyum Lubna lebih lebar dari sebelumnya. Raf berjalan keluar ruangan dengan perasaan bersalah yang memenuhi dadanya. Sebelumnya, dia pikir dengan menikahi Lubna perasaan bersalahnya akan menghilang. Namun, sekarang justru Raf merasa bersalah kepada istrinya. Dengan langkah tergesa, Raf segera ke parkiran mobil dan melajukan mobil milik Yusuf ke rumah mertuanya.

"Nak Rafaz?" Yusuf yang sedang duduk di depan teras bangkit saat Raf baru saja keluar dari mobil.

Raf segera menyalami Yusuf, lantas menanyakan di mana Rae sekarang. "Rae sedang di kamarnya. Dia pulang dengan mata sembab dan belum cerita apa pun sama Ayah. Ayah nggak tahu persis apa masalah kalian dan Ayah nggak mau ikut campur karena yakin kalian bisa menyelesaikan masalah ini sendiri, tapi ... apa yang terjadi? Baru kali ini Ayah melihat putri Ayah menangis dan terlihat sangat sedih. Sebelumnya Ayah nggak pernah kecewa sama kamu, Raf, tapi kali ini ...." Yusuf menggantungkan kalimatnya, lantas menarik napas pendek. "Apa pun yang terjadi, kamu harus segera menyelesaikan masalah ini, Raf. Keadaan Rae baru saja membaik dan Ayah nggak mau dia terpuruk lagi. Ayah bicara ini bukan sebagai mertua kamu, Raf, tapi sebagai Ayah dari Rae."

Raf mengusap wajahnya, mengangguk pelan. Ia memasuki kamar dan melihat Rae sedang mengemasi barang-barang milik Raf ke dalam koper. "Ra? Kita mau ke mana? Kenapa kamu mengemasi barang-barangku?"

"Bukan kita yang ke mana, tapi kamu yang ke mana." Rae menjawab dingin, lantas menutup koper Raf dan menyeretnya ke depan laki-laki itu. "Aku lagi nggak mau ketemu kamu dulu, Mas. Tolong ... pergi dulu. Maaf kalau aku nggak sopan dan terkesan mengusir kamu. Kita sedang di Bandung dan aku nggak bisa ke mana-mana. Jadi, tolong ... kamu yang pergi."

Raf menggeleng pelan. Ia hendak memeluk Rae, tetapi perempuan itu segera menghindar. "Aku bisa pergi dari hadapan kamu kalau kamu nggak mau ketemu aku, Ra. Aku bisa pergi pagi-pagi sekali dan pulang larut malam untuk menghilang dari pandangan kamu, tapi tolong, Ra, biarin aku tetap di sini. Memastikan kamu baik-baik aja."

"Aku nggak akan pernah bisa baik-baik aja setelah kamu bilang akan menikahi perempuan lain."

"Jadi, kamu meminta aku pergi cuma karena Lubna?"

Rae tertawa sumbang lantas setelahnya satu tetes air matanya kembali keluar. "Cuma?" Ia mengambil jeda sejenak, menelusuri sorot mata Raf. "Kamu akan menikahi perempuan lain dan kamu bilang ... cuma? Aku benar-benar nggak mengerti jalan pikiran kamu, Mas. Apa rumah tangga kita sebercanda itu menurut kamu?"

"Bukan begitu, Ra. Aku bisa jelasin," lirih Raf. "Kamu harus tahu alasan aku ingin menikahi Lubna."

"Apa?" balas Rae sambil menatap Raf dengan gusar. Wajahnya merah padam. "Apa alasannya? Karena kamu kasihan sama Lubna?"

"Bukan, Ra. Aku—"

"Oh, jadi, kamu sebenarnya masih cinta sama Lubna?" potong Rae. "Dulu kamu sama Lubna pernah pacaran kan?"

"Itu benar, tapi bukan itu alasan aku menikahi Lubna. Aku—"

"Terus apa, Mas? Karena aku nggak bisa hamil? Karena kamu nggak mau menghabiskan sisa pernikahan kamu berdua sama aku? Apa? Apa alasan kamu?"

Raf duduk di tepi ranjang. Ia menatap Rae yang saat ini sudah menitikkan air matanya. "Hidup Lubna hancur, Ra. Dulu aku meninggalkan Lubna saat aku sudah janji akan selalu mendampingi dia. Dia melewati masa-masa sulit tanpa aku dan saat dia mau memulai semuanya dari awal, aku lagi-lagi menghancurkan hidupnya. Aku nggak bisa melihat Lubna terluka."

"Dan kamu pikir keputusan kamu ini nggak buat aku terluka?" tanya Rae dengan suara parau. "Aku yang lebih terluka, Mas! Kamu nggak mikirin perasaanku? Kenapa kamu lebih peduli dengan perasaan perempuan lain? Apa aku sudah nggak penting lagi buat kamu?"

"Aku memikirkan kamu lebih sering daripada aku memikirkan diriku sendiri. Situasianya sulit, Ra. Lubna akan menikah dan gara-gara kecerobohanku dia gagal menikah. Dia sampai depresi dan hampir mencelakakan dirinya sendiri, belum lagi ... dia keguguran. Aku hanya berusaha menyelamatkan kehidupan seorang perempuan, Ra."

Rae tertawa sumbang. Ditatapnya Raf tepat di manik matanya. "Jadi, kalau kamu menabrak sepuluh laki-laki yang akan menikah dan membuat kesepuluh laki-laki itu meninggal, kamu akan menikahi sepuluh perempuan itu dengan alasan ingin menyelematkan kehidupannya?"

"Nggak seperti itu, Ra. Kamu nggak paham maksudku."

"Aku memang nggak pernah bisa paham jalan pikiran kamu, Mas," balas Rae dengan lirih. "Kamu sendiri yang bilang sama aku, bagaimana pun keadaannya, kamu nggak akan pernah mendua. Aku ingat bagaimana kata-kata kamu tentang tidak akan pernah menambah bilangan sebagai wujud kesetiaan kamu sama aku. Ini yang kamu bilang setia?"

"Ra, setia itu bukan masalah angka."

"Lalu setia itu tentang apa?"

"Setia itu tentang menua bersama dan bertemu kembali dalam surga-Nya!" balas Raf dengan nada yang cukup meninggi. "Dan itu yang sedang aku praktikkan bersama kamu. Apa pun kondisi kamu, aku ingin menua bersama kamu, beribadah sama kamu, berdoa agar Allah mempertemukan aku dan kamu lagi di surga-Nya. Kalau kamu hanya mengaitkan setia dengan sebuah angka, lantas kamu mau mengatakan Rasulullah yang punya sembilan istri itu tidak setia?"

"Itu beda, Mas. Setiap Rasulullah menikahi seorang perempuan, ada urgensi yang memang harus dilaksanakan dan itu adalah perintah Allah melalui firman-Nya. Beda dengan kamu! Aku belum bisa mengatasi rasa cemburu. Aku belum mampu ikhlas kalau kamu nantinya akan berbagi. Lagi pula, kamu yakin bisa memperlakukan aku dan Lubna dengan adil?"

Raf terdiam sejenak. "Aku bisa belajar," ujarnya lirih. "Kamu guruku selama ini. Aku bisa belajar sama kamu."

Rae menggeleng. "Aku nggak akan sanggup mengajari kamu adil terhadap sesuatu yang menyakiti diriku sendiri."

"Ra—"

"Aku nggak mau bicara soal ini, Mas," potong Rae. Ia memalingkan wajahnya dan menghindari tatapan Raf. "Kalau kamu tetap mau menikahi dia ... kamu harus menceraikan aku."

"Istigfar, Ra! Semudah itu kamu bilang kata cerai? Kamu pikir pernikahan kita main-main?"

"Harusnya juga kamu mikir, Mas! Semudah itu juga kamu mau menikahi perempuan lain? Justru kamu yang menjadikan pernikahan kita main-main!"

Raf menghela napas berat, memejamkan matanya, lantas menarik koper pelan-pelan. "Sepertinya kita memang butuh waktu untuk sendiri dulu," lirihnya, "tapi kamu harus tahu kalau aku nggak pernah bermaksud menyakiti kamu."

Raf melangkah pergi keluar dari kamar. Sementara itu, Rae melihat punggung Raf yang menjauh dengan matanya yang sudah penuh dengan air mata. Tapi sekarang kamu melakukannya, Mas.

Continue Reading

You'll Also Like

6.6M 573K 72
|| FiksiRemaja-Spiritual. || Rabelline Maheswari Pradipta. Wanita bar-bar, cuek dan terkadang manja yang terpaksa masuk pesantren sang kakek karena k...
2.4M 145K 118
[FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!] ✋🚫[PLAGIATOR JANGAN MENDEKAT!!!] Peringatan!!! Hanya orang-orang tertentu yang bisa membaca cerita ini hingga tamat...
6.8M 482K 59
Apakah seorang anak Kiai harus bisa menjadi penerus kepemilikan pesantren? Ya. Namun, berbeda dengan seorang Haafiz Alif Faezan. Mahasiswa lulusan sa...
476K 39.6K 40
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...