TAMAT - Magnolia Secrets

Από fuyutsukihikari

396K 32.3K 2.4K

(The Land of Wind Series #2) VERSI EBOOK SUDAH TERSEDIA DI GOOGLE PLAY/BOOK. LINK E-BOOK ADA DI PROFILE SAYA... Περισσότερα

Prolog
Pengenalan Tokoh
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Keluarga besar Kerajaan Angin
Bab 6
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Pengumuman

Bab 7

10.3K 1.2K 132
Από fuyutsukihikari

Author playlist : The Majesty of Wolf OST

***


Maaf untuk typo(s) yang nyempil di sana-sini. ^^

Source pics : pinterest

***

Enjoy!

***

Zian sudah seperti kehilangan kata-kata. Pria itu masih mengenakan pakaian kebesarannya saat ini. Dia berdiri beberapa langkah di depan Chao Xing yang duduk di sisi ranjang dengan ekspresi murung. Sungguh, Zian tidak suka melihat istrinya berekspresi seperti itu. Chao Xing dunianya. Dia akan bahagia saat wanita itu bahagia, dan dia akan merasa dunianya runtuh saat istrinya bersedih.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" Zian bertanya dengan nada selembut mungkin. Ekspresinya berubah panik saat Chao Xing meneteskan air mata sambil menatapnya lurus. Dewa Langit, sungguh dia tidak tahu apa kesalahannya kali ini hingga membuat wanita yang dicintainya itu menangis.

Zian berjalan cepat ke arah ranjang. Dengan gugup ia mendudukkan diri di sisi ranjang tepat di samping kiri Chao Xing tapi dengan cepat istrinya itu mengangkat kedua tangannya, meminta tanpa kata padanya untuk menjauh darinya.

Keheningan menguasai kamar peraduan yang didominasi warna merah itu. Zian membatu untuk beberapa saat. Ada perasaan terluka saat Chao Xing menolaknya, tapi dengan cepat ia mengingatkan dirinya sendiri jika suasana hati istrinya tengah tidak stabil saat ini.

"Aku tidak tahu apa yang kuinginkan," kata ChaoXing sambil menggelengkan kepala cepat. Air matanya turun semakin hebat hingga kedua bahunya bergetar karenanya. "Seharusnya kau tahu kenapa aku seperti ini," sambungnya membuat Zian semakin kehilangan kata-kata.

Ayolah, jika Chao Xing sendiri tidak tahu penyebab yang membuat emosinya tidak stabil, bagaimana Zian bisa tahu?

"Zian?" panggil Chao Xing ditengah isakannya. Keduanya memang hanya memanggil nama panggilan saat berdua. Mereka berpikir hal itu akan membuat hubungan semakin erat. "Kenapa aku seperti ini?"

Zian tidak langsung menjawab. "Aku tidak tahu."

"Kenapa kau tidak tahu?" Chao Xing terlihat begitu kesal. "Kenapa kau mengerutkan keningmu?" tanyanya lagi semakin kesal. Tangis Chao Xing kembali pecah. Wanita itu bahkan memberikan punggung pada Zian sebelum akhirnya berbaring di atas ranjangnya, mengubah posisinya hingga tengkurap dan menangis keras. "Kau seorang kaisar, seharusnya kau tahu kenapa aku jadi seperti ini."

Kalimat terakhir Chao Xing terdengar begitu lirih. Namun Zian masih bisa menangkapnya karena jarak keduanya memang tidak terlalu jauh. Zian memaki dirinya sendiri di dalam hati. Ia merasa tidak berguna.

"Zian?!" panggil Chao Xing tiba-tiba. Wanita itu menghapus air mata di kedua pipinya dnegan lengan bajunya. Zian tersentak dari lamunannya. Kedua matanya kini menatap lurus istrinya yang sudah duduk di atas ranjang dengan kedua kaki bersila. "Aku mau tao zi," katanya.

Siang ini untuk kesekian kalinya lidah Zian terasa kelu. Demi segala sesuatu yang suci, kenapa istrinya meminta buah itu padanya?

"Zian?!" panggil Chao Xing lagi merajuk.

Zian menghela napas panjang sebelum menjawab dengan nada tenang dipaksakan. "Bisakah kau meminta buah yang lain?" tanyanya, sedikit memohon. Tubuhnya dicondongkan sedikit saat kembali bicara, "Buah jeruk misalnya?"

Chao Xing menggelengkan kepala. "Aku mau tao zi," jawabnya mutlak. "Apa kau tidak bisa membawakannya untukku?"

Zian berekspresi bingung. Susah payah ia menelan air liurnya. Pria itu pun mengulum senyum dipaksakan, berharap Chao Xing berwelas asih padanya untuk kali ini. Ia lalu menjawab gugup, "Buah itu hanya ada di musim gugur Chao—" senyumnya hilang, "ah, baiklah aku akan mencarikannya untukmu," katanya cepat saat melihat Chao Xing kembali menangis. "Aku pasti akan membawakannya untukmu," sambungnya. Zian berbalik, mempercepat langkah, meninggalkan Chao Xing yang tersenyum bahagia di belakangnya.

***

Sementara itu di tempat lain, Yao Zu mendudukkan diri di sebuah kursi yang ada di dalam ruang kerja milik Jenderal Fang. Di belakangnya Nyonya Fang menutup pintu rapat sebelum ikut bergabung bersama suami dan Yao Zu.

"Ada apa, Jenderal Fang?" Pertanyaan Yao Zu memutus keheningan di dalam ruangan itu. Rak-rak penuh dengan gulungan dokumen serta kitab-kitab berdiri di sisi tengah ruangan, tepat di belakang meja kerja milik sang jenderal. "Apa ini berhubungan dengan Yulan?"

Jenderal Fang dan istrinya saling melempar tatapan sebelum ia mengangguk pelan. "Benar. Ini ada hubungannya dengan Yulan." Sang jenderal menjeda untuk menarik napas panjang. Ia pun menggelengkan kepala samar dan kembali bicara, "Bagaimana bisa ada desas-desus mengenai jati diri Yulan?"

Yao Zu tidak menjawab. Pria itu memutuskan untuk mendengarkan sang jenderal.

"Yulan bukan anak haram. Dia tidak pantas dikatakan seperti itu."

Yao Zu tercenung. Ia sama sekali tidak menyangka jika sang jenderal lebih memikirkan perasaan Yulan dibandingkan dengan reputasinya sendiri. Yao Zu menatap istri sang jenderal yang ditangkapnya tengah memegang erat tangan suaminya, seolah memberinya kekuatan.

"Sebenarnya hamba marah besar saat mendengar desas-desus itu," kata Nyonya Fang membuat perhatian Yao Zu terarah padanya. Pria itu menekuk keningnya saat melihat sang nyonya mengulum senyum simpul. "Namun hamba segera diingatkan jika suami hamba tidak setampan Yulan saat muda."

Kalimat itu membuat Yao Zu berdeham pelan. Terlebih setelah ia melihat ekspresi sang jenderal yang sepertinya sedikit tersinggung oleh ucapan istrinya. Yao Zu ingin tertawa, tapi dengan usaha keras ia menahannya. Ia tidak ingin Jenderal Fang semakin tersinggung.

"Kenapa ekspresimu seperti itu?" olok Nyonya Fang pada suaminya. Ia menepuk pelan dada baju suaminya dan kembali bicara dengan nada lembut yang sama, "Kedua orang tua Yulan pasti sangat cantik dan tampan hingga memiliki putra setampan dirinya, dan lagi tubuhnya sangat tinggi." Ia menjeda, berusaha mengingat-ingat, "Seingatku di keluargamu tidak ada yang memiliki postur setinggi Yulan jadi aku yakin jika dia bukan putramu."

Ucapan Nyonya Fang membuat Yao Zu kembali menahan tawa. Wajahnya sedikit membiru karena menahan napas.

"Dulu aku setampan Yulan," kata Jenderal Fang membela diri. "Bukankah karena alasan itu kau memilihku?" sambungnya membuat istrinya memutar kedua bola matanya. Ekspresi sang jenderal kembali serius setelahnya, "Tapi Yulan bukan putraku. Aku tidak mau dia dicap sebagai anak haram. Itu tidak adil untuknya."

Yao Zu mengangguk paham. "Masalahnya kita tidak bisa menghentikan mereka," katanya, menyesal. "Mereka akan terus mengembuskan desas-desus itu untuk mengganggu Anda." Ia menjeda untuk menarik napas. Terkadang ia ingin membunuh para bangsawan dan pejabat yang secara sengaja mengembuskan desas-desus hanya untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya. "Mereka ingin membuat Anda malu dan menyingkirkan Anda."

Jenderal Fang pun mengangguk samar. Dia paham betul akar permasalahannya, tapi tetap saja dia merasa tidak adil untuk Yulan.

"Yulan harus diberitahu mengenai hal ini," kata Yao Zu. Ia balas menatap sang jenderal lekat. "Jangan lupa, tidak lama lagi raja akan memanggilnya dan memberinya pekerjaan di dalam istana sesuai dengan janjinya."

Jenderal Fang dan istrinya mengembuskan napas secara bersamaan. Mereka telihat cemas. Keduanya tahu betul jika raja mereka sangat licik. Raja tidak mungkin memberikan pekerjaan mudah untuk Yulan di dalam istana. "Sebenarnya hamba lebih tenang jika Yulan berada di sini."

Yao Zu tidak menjawab.

"Kecuali?"

"Kecuali?" beo Yao Zu, penasaran.

"Kecuali jika Yulan bekerja untuk Anda," jawab Jenderal Fang serius.

Yao Zu pun terdiam. Ia berpikir keras dan menjawab, "Aku akan bicara pada raja untukmu, Jenderal Fang," janjinya membuat sang jenderal bisa sedikir bernapas lega.

***

Qiang bukan sosok yang banyak bicara. Dari ketujuh saudaranya bisa dikatakan jika dia paling pendiam kecuali saat ia berhadapan dengan Chao Xing. Adik perempuannya itu selalu berhasil memancingnya untuk banyak bicara yang terkadang membuat keenam saudaranya yang lain terkaget-kaget.

Seperti saat ini, pria itu hanya duduk diam sambil menikmati teh hangatnya sementara ketiga tamunya duduk di sisi kiri dan kanannya, memperhatikannya. Keheningan di dalam ruangan itu tidak mengganggunya, sebaliknya Qiang sangat menyukai kesunyian ini.

"Apa kau tidak akan bicara?"

Pertanyaan Yingji membuat Qiang meletakkan gelas tehnya di atas meja. "Apa yang ingin Anda ketahui, Pangeran Keenam?"

Yingji pun sama bingungnya. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ditanyakannya pada Yulan tapi dia tidak tahu harus memulai dari mana. Pangeran keenam melirik pada saudarinya yang bersikap tak acuh. "Kamarmu bagus," kata Yingji basa-basi. Dia lalu mengangkat gelas tehnya dan menyeruput isinya dengan cepat.

"Jenderal Fang sangat baik hati," kata Qiang tenang. "Beliau memberikan kamar ini pada hamba."

"Sebenarnya kamar Yulan tidak senyaman ini pada awalnya," sambar Chunhua cepat. Ia melempar tatapannya ke seluruh penjuru ruangan. "Tapi Yulan berhasil menyulapnya hingga seperti ini." Ada nada penuh pujian yang terselip dalam suara Chunhua saat mengatakannya.

Memang benar, kamar itu tidak terlihat seperti kamar seorang pelayan. Qiang mengeluarkan barang-barang yang menurutnya tidak diperlukan dan menambah beberapa barang untuk menghiasi kamarnya dengan menggunakan barang yang sudah tidak terpakai dan tersimpan lama di dalam gudang.

Dibantu oleh beberapa pelayan pria, Qiang memperbaiki barang-barang lama tersebut dan dengan dibantu beberapa pelayan wanita, ia mendapatkan kain layak pakai untuk seprai dan selimut yang sesuai dengan seleranya.

"Kau bahkan diizinkan untuk mendekorasi kamarmu?" ada nada tidak percaya dalam suara Liqin saat mengatakannya. Wanita itu heran karena sang jenderal dan nyonya besar memberikan Yulan kebebasan hingga sebesar itu.

Pandangan mata Liqin yang tajam menyapu wajah Yulan yang balas menatapnya tanpa ekspresi. Kedua tangan wanita itu terkepal erat. Dia tidak suka mendapati kenyataan jika diantara mereka berdua hanya dirinya yang terpengaruh oleh sebuah perasaan aneh yang hingga saat ini tidak dimengertinya. Namun begitu mengganggunya.

"Sebenarnya apa yang ingin Anda katakan, Tuan Putri?"

"Berani sekali kau bertanya dengan nada tidak sopan kepadaku!"

Yingji menelan kering. Kemarahan saudari perempuannya membuatnya terkejut. "Kak, ada apa denganmu?" bisiknya pada Liqin. Ia melakukannya sambil menarik-narik lengan baju kakaknya itu.

Liqin pun menoleh, menatap sinis adiknya yang langsung menarik tubuhnya ke belakang dan mengangkat kedua tangannya di depan dada sebagai bentuk perlindungan diri dari amarah kakaknya. "Kenapa kau membelanya?"

"Aku tidak membelanya," jawab Yingji setelah berhasil mendapatkan suaranya kembali. "Aku hanya tidak mengerti kenapa kau marah pada Yulan," sambungnya dalam satu tarikan napas. Yingji menggelengkan kepala samar dan kembali bicara dengan suara lebih tenang, "Kenapa kau bersikap seperti ini?"

Suara gebrakan meja membuat Yingji dan Chunhua terperanjat kaget. "Kau bahkan berhasil mempengaruhi adikku?" desis Liqin tidak suka. Tatapan tajamnya masih terarah lurus pada Yulan yang terlihat tidak terpengaruh.

"Dan kau Nona Chunhua," kata Liqin lanjut bicara, tatapannya beralih pada Chunhua yang menggigil di tempat duduknya karena takut. "Kenapa kau diam saja saat pria asing ini membuat kekacauan di keluragamu?"

Chunhua pun menekuk keningnya dalam. Ia memiringkan kepala. Ketakutannya lenyap digantikan oleh kebingungan yang terlihat jelas pada wajahnya. "Maksud And apa, Tuan Putri?"

"Dia," tunjuk Liqin pada Yulan. "Dia membuat nama ayahmu tercoreng."

"Kak?!" Yingji kembali bicara untuk memperingatkan kakak perempuannya. Namun kemarahan Liqin sudah tidak tertahan. Dia hanya ingin mengeluarkan amarahnya pada pria yang membuat hatinya berdebar tidak karuan selama beberapa hari ini. "Kau terlihat konyol," bisiknya, suaranya semakin tertelan saat Liqin memberikannya tatapan mengancam.

Chunhua meremat sapu tangan sutra dalam genggamannya. "Apa maksud Anda, Tuan Putri?" tanyanya. Suaranta bergetar.

"Nona Chunhua, bukankah sekarang sudah saatnya Anda pergi ke ruang belajar?"

Pertanyaan Qiang mengalihkan perhatian Chunhua. Gadis remaja itu terlihat bingung. Ia ingin tetap tinggal untuk mendengar jawaban Liqin tapi dilain sisi dia memang harus segera pergi atau gurunya akan memebrinya hukuman karena terlambat.

Terlihat tidak rela ia pun akhirnya berdiri. Chunhua memberi salam pada Liqin dan Yingji sebelum berjalan pergi, meninggalkan ketiga orang di belakangnya dalam suasana yang terasa berat.

"Berani sekali kau memotong pembicaraanku dengan Chunhua."

Yulan tidak langsung menjawab. Keberaniannya menghadapi Liqin membuat Yingji memujinya dalam hati. "Hamba tidak akan mengizinkan Anda mengatakannya pada Nona Chunhua."

Liqin tertawa hambar. Ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Walau bukan dari mulutku dia pasti akan mendengarnya dari orang lain," ujarnya ketus. Liqin terdiam sejenak. "Apa kau takut dia membencimu?"

Yulan tersenyum tipis dan menjawab tegas, "Hamba tidak ingin dia sakit hati."

Jawaban itu menohok Liqin dengan keras. Ia benar-benar tidak suka dan terganggu oleh perhatian yang diperlihatkan oleh Yulan pada Chunhua. Tidak. Ini tidak benar. Kenapa dirinya harus merasa terganggu?

"Aku benar-benar muak kepadamu!" bentak Liqin sambil berdiri dan melenggang pergi. Langkah kakinya disusul oleh Yingji yang masih terlihat terkejut oleh sikap kakaknya yang tidak biasa.

Yingji berjalan semakin cepat, menyusul langkah kakaknya lalu menarik pergelangan tangan Liqin dan bertanya, "Apa kau cemburu?"

Liqin mendengus. "Apa?"

Yingji melepas napas panjang sambil mengurut pelipisnya. "Sebaiknya kau sembunyikan perasaanmu itu dengan baik, Kak. Ayahanda akan membunuhnya jika tahu kau menyukai Yulan."

"Tapi aku tidak menyukainya," desis Liqin sambil mengangkat kedua tangannya ke udara, "aku membencinya. Dia mempengaruhi semua orang termasuk dirimu."

Yingji tidak menjawab. Penyangkalan Liqin membuat kecurigaannya semakin meruncing walau ia tahu jika kakak perempuannya masih belum menyadari secara pasti perasaannya sendiri. "Jangan membuat Yulan dalam bahaya. Jauhi dia!"

Liqin berkata sengit, "Enak saja. Justru dia yang harus menjauhiku," ujarnya yang hanya bisa ditimpali gelengan kepala oleh Yingji.

***

Kemarahan Raja Song menggemparkan seluruh penjuru Kerajaan Air siang ini. Sang raja tidak bisa membendung kemarahannya saat seorang abdinya melaporkan jika kapal pengangkut upeti untuk Kerajaan Air dibajak oleh Kelompok Hitam satu minggu yang lalu.

Kelompok Hitam merupakan kelompok bajak laut yang paling ditakuti di empat wilayah kerajaan. Setelah Kerajaan Angin dikuasai oleh Pejabat Liang, kelompok tersebut mulai berani mengganggu di wilayah laut yang dikuasai oleh Kerajaan Angin.

"Mereka berani membajak kapalku?!" raungan Raja Song membuat bala irung Istana Kerajaan Air hening seketika. Para abdinya hanya bisa menundukkan kepala, bersiap menerima amarah panjang dari sang raja. "Kenapa berita ini baru sampai di telingaku?" tanyanya geram.

Sang abdi yang merupakan seorang prajurit berpangkat rendah itu hanya bisa berlutut dengan tubuh bergetar hebat. Ketakutannya membuat suaranya gemetar, "Lapor Yang Mulia, seorang anak buah kapal berhasil menyelamatkan diri dan melaporkan kejadian ini pada seorang prajurit yang berjaga di pantai barat." Ia menjeda untuk mengambil napas, "Sayangnya prajurit itu pun tewas setelah melaporkan berita itu. Luka-lukanya terlalu parah untuk bertahan hidup."

Raja Song berteriak keras mendengarnya. Ada hal lain yang dikhawatirkannya saat ini. "Raja Xi pasti akan murka jika tahu upeti Kerajaan Air terlambat datang," katanya. Raja Song memang berjanji akan memberikan upeti setiap tahunnya pada Raja Xi sebagai imbalan karena Kerajaan Lang membantunya untuk menaklukkan Raja Jian Guo pada perang yang lalu. Namun kejadian yang tidak terduga ini membuatnya cemas bukan kepalang. Kemarahan Raja Xi sama sekali tidak diinginkannya.

Raja Song berpikir keras. "Kita akan mengirim upeti dengan jalur darat," katanya setelah terdiam lama. "Dan aku akan mengirim surat padanya. Kita harus meminta bantuannya untuk melenyapkan kelompok bajak laut sialan itu."

Sementara di tempat lain, Bo Fang tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya karena ia dan anak buahnya berhasil mendapatkan rampasan besar dalam satu minggu terakhir ini. Kapal besar yang dibajaknya ternyata milik Raja Song dari Kerajaan Air. Pria itu sudah bisa membayangkan bagaimana reaksi raja dari Kerajaan Air saat mendengar kapalnya dibajak.

"Hidangkan semua arak terbaik yang ada!" serunya disambut oleh teriakan gembira anak buahnya. Ruang pesta itu begitu hiruk pikuk. Tawa dan denting suara gelas yang bersulang memenuhi udara. Bo Fang tertawa begitu keras saat seorang panglima tempurnya mengangkat cawan arak dan bersulang untuknya.

Para penari dan pemain musik membuat pesta semakin meriah. Bo Fang mengatakan jika pesta akan berlangsung hingga besok pagi dan itu berarti semua orang di dalam ruangan itu hanya boleh meninggalkan tempat pesta dalam keadaan mabuk, sayangnya kedatangan seorang anak buahnya menghentikan pesta yang tengah berlangsung dengan meriah itu.

Pria itu datang tergopoh-gopoh. Napasnya putus-putus saat melaporkan jika diluar Lei tengah berduel dengan beberapa anggota muda kelompok hitam.

Yun Ru yang mendengar laporan itu menjadi orang pertama yang keluar dari aula besar itu untuk melihat keadaan Jian Lei. Bo Fang yang melihatnya hanya bisa menahan diri. Pria itu tidak mau lepas kendali karena amarahnya akan melenyapkan semua kebahagiaan yang tengah dirasakan oleh anak buahnya.

"Ayah mau kemana?" Qiu Heng melayangkan protes saat melihat ayahnya beranjak dari tempat duduknya dan mulai melangkah keluar.

"Aku akan melihat kondisi adikmu," jawab Bo Fang tenang. Selain keluarga inti, tidak ada yang pernah melihat wajah dari putra ketiga ketua kelompok hitam.

Bo Fang selalu mengatakan jika putra ketiganya terlalu lemah untuk berjalan-jalan keluar. Selama sepuluh tahun ini dia dan anggota inti merahasiakan sebuah fakta jika putra ketiganya sudah tiada. Mereka juga tidak pernah menyebut nama putra ketiga untuk menjaga perasaan Yun Ru yang selama sepuluh tahun ini terus menyalahkan dirinya sendiri atas kematian adik bungsunya.

"Lei!!!" teriakan Yun Ru membuat tiga orang pemuda yang tengah melawan Jian Lei menepi, ketakutan. Sementara Lei tetap berdiri di tempat, tanpa ekspresi. Pakaian putihnya kotor dibeberapa bagian, luka pada pipi dan sudut kanan mulutnya membuat Yun Ru mengepalkan kedua tangannya, marah. "Kau baik-baik saja?"

Lei tidak menjawab hingga Yun Ru melemparkan tatapannya pada empat orang pemuda yang terkapar di atas tanah dalam kondisi babak belur. "Apa yang kalian lakukan pada adikku?" bentaknya parah. Tiga pemuda lainnya hanya bisa menunduk dalam. Mereka tidak mengira jika olokan itu akan membuat putra ketiga pemimpin mereka marah besar dan menyerang mereka.

Mereka hanya tahu jika putra ketiga pemimpin mereka sangat lemah hingga mereka berani mengolok-oloknya. Dalam kelompok mereka, sang ketua tidak pernah memandang status seseorang berdasarkan ikatan kekeluargaan. Semua diperlakukan sama, hanya kemampuan yang membedakan derajat diantara mereka.

"Kalian mau mati?"

"Sikapmu terlalu berlebihan Yun Ru!" tegur Bo fang dari tangga teratas. Tangga itu memiliki sepuluh anak tangga yang terbuat dari batu sungai berwarna hitam legam. Suasana pun berubah mencekam. "Apa kau tidak lihat adikmu berhasil menghajar mereka?" tanyanya. Tatapannya tertuju pada empat orang anak buahnya yang masih terkapar di atas tanah, tak sadarkan diri.

"Ayah, Lei bisa terluka," kata Yun Ru.

Namun Bo Fang berpendapat lain. Dia bisa melihat kemampuan Lei dan hal itu membuatnya tertarik. "Adikmu baik-baik saja," sahutnya tenang. Yun Ru menggertakkan gigi. Amarahnya masih belum mereda terlebih saat melihat noda darah pada pakaian Lei. "Adikmu bisa mengatasi masalahnya sendiri," sambungnya.

"Qiu Lei?!" panggilnya membuat Lei menoleh ke arahnya. "Melihat semangat bertarungmu kurasa ini saat yang tepat bagimu untuk mendedikasikan diri terhadap kelompokmu."

Yun Ru terlihat tidak setuju. Ia baru saja ingin mengutarakan protes tapi dengan cepat ayahnya mengangkat satu tangannya memintanya untuk tidak memotong ucapannya.

"Kakak keduamu akan mengajarimu segala sesuatu yang kau butuhkan untuk bertahan selama berada di lautan," kata Bo Fang tenang. Ia melayangkan pandangannya pada semua anak buahnya yang mulai berkumpul di pelayaran markasnya yang luas. "Mulai saat ini, putra ketigaku akan bergabung bersama kalian," ucapnya. "Dia akan menyumbangkan keringatnya untuk bisa makan dan menikmati kemewahan yang selama ini dia dapatkan dari hasil jerih payah kalian," sambungnya tegas. "Kuharap kau tidak membuatku dan kedua kakakmu malu, Qiu Lei!"

Lei sama sekali tidak mengatakan apa pun saat Bo Fang pergi diikuti oleh Qiu Heng di belakangnya. Yun Ru yang mengomelinya pun sama sekali tidak digubrinya.

Kepalanya serasa mau pecah. Lei tidak tahu apa dia harus jujur pada Yun Ru atau tidak? Dalam mimpinya dia seringkali memimpikan seorang wanita muda yang terus memanggilnya 'Lei'. Suara wanita itu terasa begitu tidak asing tapi ia tidak tahu di mana pernah mendengarnya.

"Jadi sekarang kau memilih mengabaikanku?"

Lei mengerjapkan mata. Lamunan singkatnya buyar seketika. "Kak, apa aku punya kakak perempuan?"

Yun Ru tidak langsung menjawab. Untuk beberapa saat ia merasa tenggorokannya tercekat. "Apa maksudmu?" ia balik bertanya dengan tawa hambar. "Kau hanya memiliki aku dan Kak Heng. Tidak ada saudara atau saudari lain. Mengerti?"

Lei mengangguk pelan walau batinnya masih terus mempertanyakan wanita dalam mimpinya itu. Sayangnya sosok wanita itu selalu tidak jelas. Mungkin karena ingatannya hilang hingga ia melupakan wajahnya.

"Jangan melamun!" olok Yun Ru sambil menarik leher hanfu yang dikenakan oleh Lei. "Otakmu sudah bermasalah," sambungnya dengan senyum lebar. "Aku tidak mau adikku menjadi bodoh karena sering melamun."

Hening.

"Apa leluconku tidak lucu?"

Lei memutar kedua bola matanya. Ia memukul lengan Yun Ru keras dan membalas ketus, "Sama sekali tidak lucu," ucapnya sambil berlalu pergi meninggalkan Yun Ru yang tertawa keras di belakangnya.

***

Sore ini Zian berjalan penuh kebanggaan menuju paviliun peraduan selir. Di belakangnya dua orang dayang membawa dua nampan emas buah tao zi yang terlihat sangat menggiurkan.

Kedatangan kaisar diumumkan dengan lantang oleh penjaga pintu paviliun. Zian bahkan tidak bertanya kenapa selirnya tidak menyambut kedatangannya sore ini.

Niu yang baru saja keluar dari dalam kamar Chao Xing langsung memberikan salam dan mengatakan jika selir tengah berbaring di dalam kamar.

Zian pun mengangguk. Tanpa kata dia melangkah masuk ke dalam kamar. Ia memerintahkan dua orang dayang itu untuk meletakkan buah tao zi di atas meja lalu memerintahkan keduanya untuk pergi. "Aku membawa buah yang kau minta," katanya penuh kebanggaan.

Chao Xing masih berbaring di atas ranjang. Kepalanya terasa sangat pusing. Ia menutup hidungnya saat mencium aroma Zian yang membuatnya semakin mual.

"Kau harus menghabiskannya!" perintah Zian tegas. "Permintaan tidak lazimmu ini membuatku harus mengerahkan dua batalion untuk mendapatkan buah ini," katanya tapi Chao Xing terlalu pusing untuk dibuat terkesan.

Chao Xing akhirnya mendudukkan diri di sisi ranjang. Dengan malas ia menatap buah yang tersaji di atas meja.

"Kenapa kau menatapnya seperti itu?" tanya Zian dengan satu alis diangkat. "Bukankah kau menginginkannya?"

Chao Xing mengangguk. "Benar, siang tadi aku memang menginginkannya tapi sekarang tidak lagi."

Zian tidak bisa berkata-kata. Kalimat yang sudah berada di ujung lidahnya kembali ditelannya kembali. "Apa kau tidak mendengar apa yang kukatakan tadi?" tanyanya dengan nada begitu lembut tapi penuh penekanan.

"Terlalu lama," keluh Chao Xing sambil melambaikan tangan di depan wajah. "Sekarang aku ingin pi pa."

Tubuh Zian langsung lemas mendengarnya. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya. Dengan suara pelan dia bertanya, "Apa ada buah lain yang kau inginkan?"

Chao Xing menggelengkan kepala. "Tidak. Aku hanya ingin pi pa."

Zian pun tertawa dalam hati. Ia harus mengerahkan dua batalion tentaranya demi mendapatkan buah tao zi yang hanya berbuah saat musim gugur dan sekarang istri tercintanya meminta buah pi pa yang juga sama hanya berbuah pada musim gugu? Apa Chao Xing sedang menguji kesabarannya.

"Ah, satu lagi," ujar Chao Xing saat Zian membalikkan badan berniat untuk pergi dari kamar itu. "Aroma badanmu membuatku mual," sambungnya melukai harga diri Zian. "Tidak seperti aroma Niu. Aromanya sangat wangi. Niu membuatku sangat nyaman."

Dengan harga diri yang tersisa Zian pun melangkah keluar. Pria itu mengendus dirinya sendiri. Demi dewa Langit, dia baru saja mandi dan Chao Xing mengatakan jika bau badannya tidak enak? Yang benar saja.

"Perintahkan pasukan untuk mencari buah pi pa!" seru Zian lantang. Ia melemparkan tatapan tajam pada Niu yang berdiri di sisi ruangan bersama para sepuluh dayang lainnya.

Niu yang melihatnya hanya bisa menekuk keningnya dalam.

"Dan siapkan kolam mandi mawar untukku!" tambahnya masih dengan nada keras yang sama.

Kasim Han yang mendengarnya tentu saja keheranan. Dia memberanikan diri untuk bertanya, "Yang Mulia, Anda baru saja mand—"

"Aku mau mandi lagi," potong Zian cepat dengan ekspresi keruh.

***

TBC

Συνέχεια Ανάγνωσης

Θα σας αρέσει επίσης

27.5K 1.9K 46
ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ✔ ✒Cerita tentang seorang laki-laki yang bahagia di sisa hidupnya, bertemu dengan gadis yang mampu membuatnya jatuh cinta lagi setelah membe...
1.7M 133K 102
Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Thalia mengalami kecelakaa...
886K 86.2K 30
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
886K 74.1K 34
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ___...