LUKA (COMPLETE)

By beliawritingmarathon

637K 49.9K 3.4K

Luka "Rela, demi dapetin hati kamu!" A story by Kusni Esti. Kata orang, saat kita jatuh cinta, kita akan mera... More

1. Ruang BK
2. Pinta Bu Ana
3. Chatting
4. (a) Ekstra Sabar
4. (b) Ekstra Sabar
5. Flashback
6. Pendekatan 1
7. Belajar Lagi
8. Jalan
9. Ngalah itu Penting
10. Pendekatan 2
11. Pernyataan
12. Enggak Peka
13. Copot
14. Puisi
15. Sembilan Puisi Keren
16. Pria Baru?
17. Mulai Berubah
Meet The Cast : Dava Abiyoga 👏
19. Kali Kedua
20. Butuh Piknik
21. Dilema
22. Lapang Dada
23. Putus Cinta mah Bebas
24. Bertemu Kembali
25. Tajhu
26. Kebahagiaan Baru
27. Sebuah Perhatian Kecil
28. Jual Mahal 1
Meet The Cast : Tasya Amara 👏
29. Jual Mahal 2
30. Risih
31. Rindu
32. Weekend
33. Menjelang Ujian
34. Kembali dan ... Kecewa (The End)
Ucapan Terima Kasih

18. Tantangan

11.2K 1K 119
By beliawritingmarathon

Lagi dan lagi. Dava berada di ruangan yang dulu sering didatanginya. Di depannya, duduk seorang wanita cantik yang sangat dihormati Dava, Bu Ana.

"Dav, besok Senin Ujian Akhir Semester sudah dilaksanakan. Ibu harap, kamu bisa membimbing Tasya sebaik mungkin. Ibu lihat akhir-akhir ini Tasya menjadi dekat dengan Bian. Bukannya Ibu tidak percaya pada Bian. Ibu hanya mencoba profesional dengan tetap memilih kamu yang sejak awal sudah menjadi tutor Tasya. Ibu harap kalian juga profesional dengan tidak mengingkari kesepakatan ini. Ini juga untuk kebaikan kalian 'kan? Apalagi Ibu Tasya yang sudah beberapa kali menelepon Ibu demi menanyakan mengapa Tasya sudah jarang belajar lagi. Kamu tidak ingin mengecewakan kami bukan?"

Dava hanya diam. Dia bingung sendiri sekarang. Bukan maksudnya tidak mau belajar lagi dengan Tasya. Tetapi jika yang mau dibimbing saja tidak mau belajar, Dava bisa apa? Dava bahkan sudah menekan egonya, bertanya setiap hari pada Tasya sejak SMS-nya beberapa waktu yang lalu yang ditolak mentah-mentah oleh Tasya. Dava berusaha membujuk Tasya. Tapi jika orangnya saja sudah tidak mau, masa Dava harus mengemis pada Tasya? Tidak elite sekali!

"Dava? Bisa 'kan?" tanya Bu Ana sekali lagi saat tidak mendapat respons dari Dava.

Dava gelagapan. Dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali untuk menutupi kegugupannya. "Emh ... iy–"

"Atau jangan-jangan kalian lagi ada masalah?" tebak Bu Ana, memotong perkataan Dava.

Dava secara spontan menggeleng keras, menolak argumen Bu Ana. "Enggak kok, Bu," elaknya. Dav mencoba untuk bertingkah biasa agar Bu Ana tidak semakin curiga kepadanya.

"Ya sudah. Ibu harap kamu bisa menepati ucapan kamu. Dari dulu Ibu selalu percaya padamu, Dav. Jangan menyia-nyiakan kepercayaan Ibu," tutup Bu Ana yang tatapannya sudah mulai melembut.

Dava mengangguk pelan, tak lupa ikut melontarkan senyum manis andalannya. Dava pamit lalu keluar dari ruang BK. Dlam hati Dava berjanji akan berusaha membujuk Tasya lebih keras lagi agar gadis nakal itu mau belajar seperti dulu.

Dava menghela napas lelah. Dia berjalan pelan untuk kembali ke kelas. Lagi, lagi, Dava berpapasan dengan dua makhluk yang kini menempel bagaikan prangko. Dava mendengkus keras-keras agar mereka menyadari kehadirannya.

Hal itu berhasil. Tasya menoleh sekilas dan dari tatapannya, Dava melihat keterkejutan yang sangat kentara. Tasya menghentikan langkahnya, yang membuat langkah seseorang di samping Tasya ikut berhenti. Mereka berdua kompak menatap Dava yang kini mengibas-ngibaskan kerah bajunya, seolah kepanasan. Tentu saja bukan panas dalam artian yang sebenarnya. Hatinya yang memanas melihat Tasya yang lagi-lagi jalan berduan dengan Bian.

"Kamu di sini, Dav? Sejak kapan?"

Pertanyaan polos Tasya membuat Dava ingin menjedorkan kepalanya ke tembok. Setelah sekian lama, kenapa pertanyaan tidak bermutu itu yang keluar dari bibir Tasya?!

"Sejak Nabi Adam belum ketemu sama Siti Hawa!" jawab Dava dengan ketus.

Tasya mengerjap pelan. "Emang saat itu kamu udah lahir?" tanyanya. Kepalanya tampak sedang berpikir keras. "Berarti kamu udah tua dong! Kok nggak keliatan?! Jangan-jangan ... kamu vampir?!" terka Tasya semakin menjadi-jadi.

Dava mendengkus kesal. Kesal dengan kepolosan Tasya yang semakin hari bukannya berkurang justru semakin bertambah.

"Iya, Sya, aku vampir! Siap-siap aja nanti malam kamu bakal aku gigit!" seru Dava sambil memperagakan seorang vampir yang akan menggigit mangsanya.

Bola mata Tasya membulat. Refleks tangannya langsung menampar Dava saat laki-laki itu mencoba mendekat untuk menakuti Tasya.

"Aduh! Kok ditampar sih, Sya?!" pekik Dava tidak terima. Dia memegangi pipi sebelah kirimya yang baru saja mendapat salam manis dari tangan Tasya.

"Y-ya ... abis kamu mau gigit aku sih! Bukan salahku dong!" bela Tasya dengan gemetaran.

"Bian, kamu tahu nggak mantra buat musnahin vampir yang ditulis di kertas-kertas itu?" tanya Tasya kepada Bian. Tetapi matanya tetap awas menatap Dava yang masih mengelus pipinya.

Bian yang sedari tadi hanya diam menonton pun mengernyit bingung mendapat pertanyaan dari Tasya.

"Enggaklah. Buat apa, Sya?"

Tasya mendengkus kesal. "Ya buat musnahin vampir Dava-lah, Bian!" pekiknya yang mulai kesal.

Mendengar itu, Dava berdecak kesal. "Aku bukan vampir, Sya! Astaga," gerutu Dava. Dia menatap sebal kepafa Tasya yang kini kembali mengerjapkan matanya.

"Loh, katanya tadi vampir! Kok Dava plin-plan sih?!" ujar Tasya sambil mencebikan bibirnya. Dia menghentakkan kedua kakinya tanda sudah sangat kesal.

"Ya ampun! Nih, pegang pipiku! Rasain, dingin nggak?!" suruh Dava sambil memajukan wajah sisi kirinya ke arah Tasya.

Tasya yang polos pun mencoba menyentuh pipi Dava ragu-ragu, mengelusnya perlahan sampai membuat Dava memejamkan matanya; menikmati sesuatu yang belum tentu akan didapatkannya lagi.

Sepertinya modus Dava berhasil.

Baru saja Dava ingin bersorak dalam hati, tetapi sentuhan itu sudah tidak terasa lagi. Dava membuka matanya dan mendapati jika tangan Tasya sudah digenggam erat oleh Bian.

"Kamu ngapain sih, Sya? Nggak usah diladenin orang gila kayak dia! Tangan kamu jadi kotor 'kan!" Terdengar jelas nada geram dari suara Bian. Dia mengusap telapak tangan Tasya dengan sapu tangan yang selalu dia bawa.

"Loh, emang Dava banyak kumannya ya, Bian?" tanya Tasya. Untuk ke sekian kalinya, Dava rasanya ingin membenturkan kepalanya ke tembok.

"Iya dia banyak kumannya. Udah sana, kamu masuk kelas duluan! Nanti aku susul," suruh Bian yang langsung diangguki oleh Tasya.

"Dav, aku–"

"Udah sana!" Bian memotong ucapan Tasya lalu mendorong bahu gadis itu untuk segera beranjak dari sana.

Melihat itu membuat Dava mendengkus keras-keras. Dasar posesif!

Setelah Tasya benar-benar sudah tidak terlihat, Bian mengalihkan perhatiannya pada Dava yang masih berdiri di tempatnya. Tatapan Bian seolah mengajak permusuhan, yang membuat Dava menyeringai kecil.

"Lo nggak usah mimpi buat dapetin Tasya! Dia itu milik gue. Selamanya milik gue! Dan gue nggak akan pernah diem saat lo deketin Tasya dan ganggu dia lagi!"

Ucapan bernada ancaman itu sama sekali tidak mempengaruhi Dava. Dia justru terkekeh kecil mendengar perkataan itu.

"Saat kamu nggak ada, Tasya udah nyaman sama saya. Dan karena kamu kembali, Tasya jadi mulai menjauh dari saya. Ke mana aja kamu selama ini, sampai Tasya pernah merasa nyaman sama orang lain selain kamu? Tasya bukan milik siapa-siapa. Jadi bukan hak kamu buat ngelarang saya dekat sama Tasya!"

Dava membalas ucapan Bian dengan kata-kata yang mungkin membuat Bian bertambah geram. Bodo amat! Dava tidak peduli. Yang dia pedulikan adalah dia bisa dekat lagi dengan Tasya. Apalagi dua hari lagi Ujian Akhir Semester akan dilaksanakan.

Bian menyeringai licik. Dia mendekati Dava dan berbisik tepat di depanwajah Dava. "Kalau lo berani, lawan gue abis pulang sekolah. Kita duel di lapangan belakang sekolah. Siapa yang menang, dia yang akan dapetin Tasya!"

Dava balas menyeringai. Dia mendorong kedua bahu Bian dengan sedikit kasar. "Sorry, Bro. Tasya bukan barang. Dia nggak bisa dijadikan ajang taruhan kayak gitu. Lagian, beranten itu nggak baik. Apa untungnya kamu berantem? Bukannya dapetin Tasya, kamu malah akan luka-luka dan bisa aja Tasya jadi benci sama kamu! Nyelesaiin masalah itu bukan hanya dengan berantem. Dengan kepala dingin, tanpa tenaga, aja bisa, kenapa harus ngekuarin tenaga yang nantinya ngerugiin diri sendiri?!"

Ya. Dava benar. Dia memang tidak ingin Tasya dijadikan seperti barang yang bisa untuk ajang taruhan. Tasya lebih spesial dari itu. Lagi pula, berkelahi tidak akan menyelesaikan masalah, justru menambah masalah. Dari dulu Ayah Dava selalu memperingatinya untuk tidak berkelahi apa pun kedadaannya.

Setelah mengatakan hal tersebut, Dava membalikkan badan lalu berjalan meninggalkan Bian yang masih terbalut emosi. Dia berjalan dengan santai sampai suara Bian menghentikan langkahnya.

"Dasar pengecut!"

Dava kembali berjalan. Tidak menghiraukan umpatan yang masih terdengar jelas di telinganya. Untuk apa mendengarkan orang tidak waras? Dasar orang kota!
  
    
   
  
****
TBC.

Holla...
Gimana sama bab ini? 😅

Oh ya, jangan lupa vote dan komen ya teman-teman. Siapa tahu kamu salah satu pemenang yang akan mendapat hadiah dari Beliawritingmarathon. 😍😘

Sampai jumpa di bab selanjutnya....

Continue Reading

You'll Also Like

2.1M 249K 44
Mimpi adalah bunga tidur. Namun bagaimana jika mimpi menghantuimu, mengekangmu pada setiap sudut kesunyian, menjebakmu tanpa tahu jalan keluar? Mimp...
170K 18.1K 35
DILARANG PLAGIARISME. "Apa lagi?" "Jangan pernah deketin cewek di SMK 58, pawangnya ngeri" "Hm? Si Jeno kan"
222K 33.5K 36
[Book 1] "Kursinya kosong nggak?" Emma mendongak dan melihat seorang anak laki-laki bertubuh tinggi sudah berdiri di sampingnya. Emma pun merubah pos...
1.9M 178K 44
[Sudah Terbit] "Gue pasti bisa bikin lo jatuh hati sama gue. Liat aja nanti!" Hidup Ghazi Airlangga berada di ujung tanduk saat rahasia memalukannya...