NURANI

By VorellaVe

89K 1.3K 100

Pergumulan nurani yang terbesar... terkadang adalah melawan diri sendiri... melawan keinginan yang salah, mel... More

NURANI
MONICA DAN COYOTE
RYAN TIDAK TIDUR
GELITIK
DATANGNYA UTUSAN BARU
MIRA
MAAF...
SENANDUNG VICTOR
KEJUTAN
MENUNGGU...
MENATAP UNTUK TERAKHIR KALINYA
PERMATA YANG DI TUKAR
ANTONIUS SUDAH BERUBAH...
WELCOME BACK, HEGA...
ANTARA HEGA DAN MIRA...
TATAPAN MIRA
YANG TERISTIMEWA DAN YANG TERABAIKAN...
DETIK-DETIK...
BUAH KESALAHAN
ADAKAH TEMPAT BAGIKU?
MENGEJAR MIRA...
MENDENDAM...
PASCA OPERASI
HARI-HARI MEMBAYAR HARGA
LUAPAN KEBENCIAN MIRA
AWAL YANG BARU
PAHLAWAN HATI
MOTHER'S HEART TERAPHY CENTRE
PERSAHABATAN
HATI BATU
KEMBALI PULANG...
FAJAR DI PAGI HARI
KESEMPATAN BAIK
INDAH PADA WAKTUNYA
TUNTAS...
MERPATI HATI
PESTA
BASA-BASI SEBELUM CIAOOBUUUUT...

HARAPAN DAN PENGORBANAN

1.8K 27 3
By VorellaVe

HARAPAN DAN PENGORBANAN

Raymond melangkah dengan semangat saat memasuki kamar rawat inap VIP tempat Hega berbaring. Tapi saat ia mendapati Hega, berharap Hega akan tersenyum lebih lebar di hari ini,,, ia tak pernah menyangka akan mendapati Hega yang dikenalnya selalu tenang, selalu kuat, selalu mandiri… kini menangis.

            “Bu…” Raymond memanggil lembut sambil cepat menghampiri ke tepi ranjang. Kali ini Hega tak menyembunyikan air matanya. Ia membiarkan Raymond melihat semuanya.

            “Bu Hega kenapa?” Raymond memegangi tangan kanan Hega dengan kuat. Tangan Raymond terasa begitu empuk membungkus tangan Hega yang semakin kurus. Hega tak mau memakan makanannya. Dan tak mau di infus. Wajah bulat Raymond berangsur mengerenyitkan dahi. Mata sipitnya yang cuma segaris menatap Hega lekat-lekat.

Hega menoleh pada Raymond. Membiarkan Wajah Raymond dekat dengannya, menatapnya. “Saya lelah, mon…”, desis Hega.

Raymond sempat salah tingkah, bingung harus melakukan apa. “Ya, udah… ibu tidur aja… saya temenin ya, Bu…”

Hega sudah bisa menggeleng. Menjalani terapi, pengobatan dan operasi selama dua tahun lamanya, membuat Hega sudah bisa mencoba untuk duduk. Tapi ia belum juga bisa berjalan. Perlahan-lahan, hal itu mulai menggerogoti keyakinannya…

            “Saya lelah dengan hidup ini, mon…” air mata Hega terus mengalir.

Raymond terhenyak mendengarnya. “Bu Hega… Ibu gak boleh putus asa. Kan baru... dua taon, bu… selama Ibu hidup, jangan pernah putus asa, ya…”

            “mon”, mulai Hega lagi, “Kamu tau… saya orang yang tepat target. Dokter bilang lima bulan… saya tau kemungkinan adanya penguluran waktu untuk kesembuhan saya… bukan saya gak mensyukuri kemajuan saya… tapi saya berusaha lebih keras… saya rajin ikut terapi… saya minum semua obat… saya juga cari dokter ahli yang lain… tapi beberapa pendapat lain tentang keadaan saya membuat saya lelah…”

            “Memangnya kenapa, Bu? Dokter ada yang bilang apa?”

            “Dokter udah berusaha… saya juga berusaha… saya sudah ke luar negeri… tapi kemajuan saya begitu lambat…” Hega mulai terisak. “Saya lelah, mon…”

            “Ibu gak boleh putus asa, ya… saya akan selalu ke sini setiap pulang kerja…”, kata Raymond terus mengingatkan.

Hega geleng-geleng lagi. “Gak usah ngerepotin diri kamu, mon…”

Raymond juga langsung menggeleng-geleng dengan cepat. “Saya gak ngrasa repot, bu! Bener!!!”

            “Kamu berharap apa dari saya, mon? Maaf, mon… gak ada manusia di dunia memberi tanpa pamrih…”

Raymond terhenyak mundur. Kalimat itu cukup menyilet hatinya. “Bu…”, katanya lemah. “Kok, ibu bilang gitu… Saya tau, Ibu tau perasaan saya… tapi saya gak picik, Bu… saya selalu menganggap diri saya berharga. Dan saya layak dicintai dengan murni. Bukan karna balas budi kalo itu yang mengganggu pikiran ibu…”

Hega menatap mata Raymond lagi lekat-lekat. “Saya nyerah”, katanya. “Saya akan melepas semua ambisi saya… saya cuma mau hidup dengan orang yang mencintai saya… apa kamu mencintai saya?” Hega menatap, menunggu dengan mata yang terus berlinang.

Raymond terdiam. Merunduk dengan raut sedih. “Saya tau hati Ibu… Ibu gak mencintai saya… saya selalu menemani Ibu hanya sebagai seorang saudara, Bu…”

Hega terdiam terpaku sampai beberapa saat. Sampai tangisan mengerang mulai keluar bertahap dari mulutnya… Hega menangis dengan lebih nyata. Sungguh-sungguh menangis. “Jadi… kamu pun… menolak saya?” Hega bertanya dengan nafas mulai tersengal. Kram dan sesak nafas mulai menyerangnya. Suaranya berubah parau…

Raymond menatap Hega dengan mata yang juga sudah mulai basah dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia menggeleng-geleng dengan cepat. “Bukan, bukan itu,-“

            “Karena kamu liat sekarang saya lumpuh… saya udah terbuang kan…?” Hega memotong kalimat Raymond sambil menangis semakin menjadi.

Raymond menggeleng lagi. “Ibu salah berpikir… Ibu gak cinta sama saya! Ibu pikir saya gak akan terluka nantinya?”

            “Kamu takut terluka? Kamu cinta saya tapi gak mo bayar harganya?!”, erang Hega setengah berteriak.

Raymond menggenggam tangan kanan Hega lebih kuat. “Ibu gak liat,,, saya bayar harga setiap hari menemani Ibu! Tanpa berharap,,, ibu mau jadi milik saya karna balas budi!!! Karna cinta Ibu itu berharga!!! Begitupun cinta saya!!! Gak bisa, bu… itu di buat sembarangan…” Raymond juga setengah berteriak.

            “Bullshit!!! Itu alesan!!! Karna saya lumpuh!!! Saat saya sempurna,,, kamu mengagumi saya!!! Sekarang kamu memandang saya menyedihkan!!! Ya kan?!!! Jawab!!!” Hega membentak di tengah tangisnya.

            “gak bener, bu!!! Itu salah!!!”

            “Cinta itu bersyarat!!! Kamu juga mencampakkan saya seperti semua orang!!!”

            “Gak bener, bu…” Raymond mulai meringis. Ia juga mulai menangis.

            “ngapa’in kamu nangis?!!! Nangisin saya?!!! Gak perluuuu!!! Kamu! Orang tua saya!!! Antonius!!! Pak Daniel!!! Semua sama aja!!! Orang-orang hanya dateng sama saya di saat keadaan saya baik! Hebat!!! Saya cape jadi orang hebat!!! Saya cuma ingin dicintai!!! Apa itu begitu mustahil bagi saya?!!!” Hega berusaha bangkit untuk duduk. Raymond mencoba membantunya. Tapi Hega menepis tangannya dengan kasar. “Gak usah!!!”, jeritnya. Dua orang suster mulai masuk menapaki ruangan. “Ada apa? Ibu, tenang, bu…”, kata suster.

            “Keluar!!!”, Hega menjerit dengan suara kencang. Belum pernah Raymond melihat ataupun mendengar Hega seperti itu. Bahkan di saat Hega masih menjadi atasannya. Hega selalu bersikap santun. Marah pun tak pernah lepas kontrol. “Keluarrrr!!! Pergi kalian semua!!!” Hega masih bersusah payah menahan kram pada perutnya untuk bisa duduk. Saat ia tersandar sedikit, meski belum sepenuhnya duduk, tangan Hega menggamit sepiring makan malamnya dengan cepat dan melemparkannya ke Raymond. Raymond menunduk tepat waktu. Piring itu pecah menghempas ke dinding. Dan makanannya berhamburan berantakan di dinding dan ke lantai ruangan. Kedua suster mulai berpencar ke kiri dan ke kanan Hega, berusaha menenangkannya. Raymond terpaku di tempat. Tampak terpana melihat apa yang baru saja dilakukan Hega. “Keluaaaaaarrrrr!!! Pergiiiii!!!! Jangan balik lagi!!!”, jerit Hega sambil meronta. Tapi gerakannya begitu terbatas. Ia merasakan kram hebat pada perutnya. Ia terus menangis, sesekali merintih kesakitan, lalu mengerang… Salah satu suster meminta Raymond untuk keluar dulu agar Hega tenang. Dengan berjalan mundur dan nafas tersengal-sengal,,, serta air mata berderai di pipinya yang bulat, Raymond menjauh dengan perlahan. Masih terus menatap Hega yang menjerit-jerit padanya.

            “KELUAAAAAAAAAARRRRR!!!”

Raymond pun berbalik memalingkan wajahnya dan berlari kecil keluar. Didengarnya samar-samar suara Hega yang mengerang pilu di dalam kamar. “Biar pergi semuanya!!! Kali ini aku yang mengusir kalian semua!!!”, terdengar tangisan,,, lalu tersambung lagi dengan jeritan, “Bukan aku yang selalu di usir!!! Pergi semuanya!!! Pergi suster!!! Saya mo sendiri!!! Pergi kalian!!! Kalian ada di sini untuk saya, karna saya bayar rumah sakit ini!!! PERGIIIIIIIIIIIIIII!!!”

Satu orang suster lainnya tampak setengah berlari mendatangi kamar tempat Hega di rawat. Di tangannya ada peralatan suntik. Dua orang suster lainnya juga datang menyusul di belakang suster tadi. Hega tampak mengamuk sejadinya di dalam. “PERGIIIIIIIIIII!!! MAU APA KALIAN?!!! MAU MEMBUNGKAM SAYA, HAH?!!!” terdengar suara keributan yang teramat sangat di dalam kamar itu. Raymond tersandar lunglai di dinding luar kamar, sekitar sepuluh senti saja jaraknya dari pintu. Ia menangis melihat keadaan Hega.

Hega sudah berkali-kali berangkat keluar negeri, berbagai cara dan beberapa operasi ditempuhnya. Ia terus mempertanyakan, waktu sudah lewat dari lima bulan, bahkan setahun dan menjejak dua tahun lamanya... mengapa kemajuannya tak bertambah lagi… Sudah begitu banyak uang yang dikeluarkannya… Ia terus memutuskan untuk di rawat di rumah sakit karena tak ada yang bisa merawatnya selama 24 jam sehari. Ia belum terbiasa mengatasi kelumpuhannya. Ia tidak bisa merasakan bila tiba-tiba ia buang air besar ataupun buang air kecil. Semuanya keluar begitu saja tanpa bisa dikontrolnya… Ia yang selalu merasa mampu menangani dan mengatasi semuanya sendiri, tiba-tiba jadi bergantung dengan orang lain. Untuk duduk pun ia merasa kesulitan. Ia harus mengenakan popok seperti bayi. Setiap ia memaksakan dirinya bergerak atau bila kakinya bergerak sendiri, perutnya akan merasakan kram hebat dan nafasnya akan terasa sesak. Ia merasa begitu merindu pada Antonius. Tapi Antonius benar-benar sudah mencampakkannya. Uang di rekeningnya semakin menipis. Dan ia tak bisa bekerja lagi. Ia ingin memulai usaha tapi uangnya sudah tak cukup. Ia seorang diri. Dan ia tahu,,, ia akan tiba ke suatu hari di mana ia tidak bisa lagi membayar rumah sakit tempatnya di rawat ini. Rumahnya pun sudah di jual untuk menambah biaya banyaknya operasi bedah saraf yang ia tempuh. Tapi penjelasan dokter berbeda-beda. Para dokter seperti kebingungan sendiri dengan penyebab kelumpuhannya yang sepertinya permanen. Ia merasa Tuhan menghukumnya tanpa ampun. Tidak ada ampun untuknya. Tidak ada tempat untuknya. Hega berpikir ia akan berakhir menjadi gelandangan di jalan. Dan Raymond… baru saja menolaknya…

Hega mulai merasakan kesendirian dan ketakutannya… tidak ada tempat untuknya… tidak ada seorangpun yang mau menerimanya lagi… ia selalu dicampakkan… sejak ia remaja hingga sekarang… ia baru saja melewati ulang tahunnya yang ke-35… tanpa pasangan, tanpa bekal masa depan, tanpa karir dan kini… tanpa fungsi dari kedua kakinya…

Ia mulai merasa,,, tidak ada harapan untuknya…

Raymond masih tersandar di dinding kamar sebelah luar. Menahan isaknya dengan tubuh bergetar. Ia tak sanggup melihat keadaan Hega. Sebetulnya ia sendiri pun meragu apakah Hega bisa kembali normal. Selama dua tahun ia terus mendampingi Hega. Ia mengambil cuti kantor hanya untuk menemani Hega ke Jerman. Berharap ada dokter dan tekhnologi yang bisa menyembuhkan Hega. Tapi kelumpuhan Hega ini seperti tak terjelaskan. Hega yang terbiasa memakai logikanya semakin tidak bisa menerima semua kenyataan yang harus ia dengar. Berkali-kali Hega tidur menceracau memanggil-manggil nama Antonius. Setiap Raymond pulang kerja, saat Raymond begitu kelelahan, ia masih mau terjaga setiap tengah malam hanya untuk menenangkan Hega. Ia jarang pulang ke rumahnya sendiri. Ia selalu membawa pakaian untuk menginap di rumah sakit, tidur di sofa di seberang ranjang Hega. Merasakan patah hatinya setiap kali Hega menceracau memanggil-manggil nama Antonius. Terkadang Hega memanggil-manggil papa dan mamanya. Setiap kali Raymond menenangkan Hega, hatinya selalu harus teriris dengan banyak kecamuk di pikirannya, antara tersayat melihat keadaan Hega, rasa cemburu mendengar-dengar nama Antonius selalu disebut-sebut dalam tidur Hega,,, juga merasa letih sendiri karena cintanya tak berbalas… Ia tahu ia takkan mendapat apapun dari Hega. Ia hanya ingin mendampinginya. Meski ia sendiri merasa lelah dan kesepian. Ia tidak punya kehidupan lain selain bekerja dan menemani Hega. Papanya sudah mengultimatumnya untuk tidak lagi menemani Hega. Papanya sudah menjodohkannya berkali-kali agar ia cepat menikah. Usianya sekarang sudah 26 tahun. Ia belum juga punya pasangan. Dan ia belum pernah merasakan indahnya punya pasangan. Ia merasa tidak menarik secara fisik. Tapi ia punya impian… ia ingin sekali mempunyai toko roti di Australia dan hidup bahagia bersama Hega. Tapi hati Hega belum jatuh padanya. Ia sudah bersiap-siap sejak jauh-jauh hari… mungkin selamanya Hega tak akan pernah mencintainya. Mungkin ia harus terus sendiri merawat Hega tanpa mendapatkan cintanya. Ia hanya membatin pada dirinya sendiri… biarlah… yang terjadi, terjadilah…

Raymond selalu menganggap, cinta itu adalah pengorbanan…

Tak lama kemudian,,, kebisingan di dalam kamar sudah reda. Hega tampak terlelap di bawah pengaruh obat bius…

Semua suster sudah keluar ruangan dengan teratur. “Sus”, Raymond memanggil salah satu suster, “Saya boleh masuk?”

Si suster menggeleng. “Jangan dulu, ya… Biar dia istirahat dulu. Pak Raymond temu’in dokter aja dulu, ya. Dokternya dah sampe. Beliau minta ditemui di ruangannya…”

Raymond mengangguk. Ia sempat mengintip melewati celah di pintu yang belum merapat penuh… memandangi Hega yang terbaring di ruangan yang lampunya sudah dimatikan. Ia bisa merasakan kesepian hati hega. Ia bahkan mulai merasakan kalau rasa sepinya sama seperti Hega…

            Raymond sudah menapak masuk ke ruangan Dokter yang menangani Hega.

“Duduk, Pak…”, kata Dokter Firman. “Saya mo ngomong yang penting sama Pak Raymond…”

Raymond mengambil posisi duduk berhadap-hadapan dengan Dokter Firman. Dokter Firman membetulkan posisi kacamatanya saat ia mulai membuka mulut, sambil tangannya menyodorkan sehelai kartu nama kepada Raymond. “Saya prihatin sama keadaan Bu Hega…”, katanya, “Kalau dia di sini terus… dia akan makin depresi… Beberapa malam saat Pak Raymond gak dateng…”

            “Oh, saya ada outing, Pak…” Raymond langsung menjelaskan. Karena posisinya sekarang sudah menjadi seorang supervisor junior.

            “Iya, iya…”, Dokter Firman mengangguk-angguk. “Saat Pak Raymond gak ada itu,,, mungkin Bu Hega merasakan kesendiriannya lebih parah. Ia mengamuk beberapa kali… Saya menyarankan agar Ibu Hega supaya di terapi di tempat kenalan saya…” Dokter Firman menunjukkan kartu nama di tangannya dengan lebih jelas ke hadapan Raymond. Raymond membaca tulisan yang paling atas di kartu itu. “MOTHER’S HEART THERAPY CENTRE”.

Dokter Firman kembali menjelaskan…

            “Tempat ini bersifat sosial… menampung orang-orang cacat,-“

            “Cacat?!” Raymond memotong dengan cepat. Dengan sinar mata yang terkejut.

Dokter Firman mengangguk. “Ada hal yang janggal dengan keadaan Bu Hega. Jujur saja, belasan tahun jadi dokter ahli, baru kali ini saya tidak mengerti apa yang menyebabkan kelumpuhan Ibu Hega… Saya tidak mau Bu Hega menunggu dengan percuma di sini. Itu panggilan nurani saya untuk memberitahukan apa adanya. Saya sudah berusaha. Rekan-rekan yang saya referensikan pada Bu Hega pun sudah berusaha… tapi di tempat yang satu ini, ada penanganan konseling dan terapi. Bu Hega bisa di rawat tanpa harus membayar biaya apapun. Kebetulan, pemiliknya adalah teman saya. Hidup dia berkelimpahan sekarang… dia terbeban untuk para orang-orang cacat. Jadi ia tidak memungut biaya… Banyak orang-orang yang cacat di tempat itu, sekalipun tidak bisa kembali normal secara fisik… tapi mentalnya di bangun. Juga di beri skill dan pengetahuan bahkan teknologi... Banyak dari mereka yang tadinya putus asa,,, akhirnya keluar dari situ dan memiliki hidup yang sukses. Bahkan mereka kini turut menopang biaya untuk tempat itu. Tapi,,, saya gak yakin,,, Bu Hega mau… coba tolong Pak Raymond bujuk Bu Hega… berhubung, tidak ada satu pun saudaranya yang hadir menjenguknya…”

Raymond merunduk lesu. Ia tak yakin Hega mau melihatnya lagi. Tapi tak ada orang lain yang bisa mendampingi Hega. Raymond cukup merasa kelelahan… tapi ia tak bisa meninggalkan Hega. Sampai ujung, ia membatin.

            “Kalau ada yang mau di tanya lebih lanjut”, mulai Dokter Firman lagi, “Telpon aja ketua yayasannya, ya… ini kartu namanya…” Dokter Firman menyodorkan sebuah kartu nama lainnya. Raymond membacanya nama yang tertera di situ…

            “MONICA SEVINA".

Raymond memicing sedikit, merasa familiar dengan nama itu… Tapi ia hanya mengangguk-angguk pada Dokter Firman. Lalu bersalaman dengan Dokter Firman sambil melontarkan pertanyaan yang dianggapnya sangat penting, sepenting menjaga nyawanya… “Dok… apa saya boleh nemenin Bu Hega lagi? Saya gak mau dia ngerasa sendirian…”

Dokter Firman hanya terenyuh mendengarnya. “Ya… temani Bu Hega. Tidak seharusnya seseorang yang sedang dalam keadaan terpuruk itu sendirian…”

Raymond mengembangkan senyumnya. Ia berbalik hendak melangkah keluar ruangan sewaktu Dokter Firman memanggilnya kembali. “Pak Raymond…”

            “Ya?” Raymond menoleh.

Dokter Firman juga tersenyum sambil mengatakan,

“Tak ada buluh yang terkulai… dipatahkanNYA…”

Raymond hanya tersenyum kembali untuk meresponinya. Aku percaya, ia membatin sebelum melangkah pergi.

Continue Reading

You'll Also Like

15.5M 875K 28
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...
2.9M 145K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
13.2M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...