DIRTY BABY [Rexford Mackenzie]

Per PuspitaRatnawati

21.1M 1.2M 117K

#5 in Romance 05/01/2018 Ketika kau berhadapan dengannya, dia adalah ujian terberat. Aroma tubuh, suara... Més

The Mackenzie
Gracias
VERSI DREAME
Stop Plagiarism!
PROLOG
DIRTY BABY-01
DIRTY BABY-02
DIRTY BABY-03
DIRTY BABY-04
DIRTY BABY-05
DIRTY BABY-06
DIRTY BABY-07
DIRTY BABY-08
DIRTY BABY-09
DIRTY BABY-10
DIRTY BABY-11
DIRTY BABY-12
DIRTY BABY-13
DIRTY BABY-14
DIRTY BABY-16
DIRTY BABY-17
DIRTY BABY-18
DIRTY BABY-19
INFORMASI
DIRTY BABY-20
DIRTY BABY-21
DIRTY BABY-22
DIRTY BABY-23
DIRTY BABY-24
DIRTY BABY-25
DIRTY BABY-26
DIRTY BABY-27
DIRTY BABY-28
DIRTY BABY-29
DIRTY BABY-30
DIRTY BABY-31
DIRTY BABY-32
DIRTY BABY-33
DIRTY BABY-34
DIRTY BABY-35
DIRTY BABY-36
DIRTY BABY-37
DIRTY BABY-38
DIRTY BABY-39
DIRTY BABY-40
DIRTY BABY-41
DIRTY BABY-42
DIRTY BABY-43
DIRTY BABY-44
DIRTY BABY-45
DIRTY BABY-46
DIRTY BABY-47
DIRTY BABY-48
DIRTY BABY-49
DIRTY BABY-50
DIRTY BABY-51
DIRTY BABY-52
INFORMASI
DIRTY BABY-53
DIRTY BABY-54
DIRTY BABY-55
DIRTY BABY-56
Blabla
DIRTY BABY-57
DIRTY BABY-58
DIRTY BABY-59
DIRTY BABY-60
DIRTY BABY-61
DIRTY BABY-62
DIRTY BABY-63
DIRTY BABY-64
DIRTY BABY-65
DIRTY BABY-66
DIRTY BABY-67
DIRTY BABY-68
DIRTY BABY-69
DIRTY BABY-70
DIRTY BABY-71
DIRTY BABY-72
DIRTY BABY-73
DIRTY BABY-74
DIRTY BABY-75
EPILOG
SEQUEL DIRTY BABY
EXTRA PART 01
EXTRA PART 02
EXTRA PART 03
READ!
SEQUEL DIRTY BABY
Publish!
New The Mackenzie's!
NEW STORY

DIRTY BABY-15

305K 14.8K 895
Per PuspitaRatnawati

Malam ini sesuai rencana, Mkzie Spain Group mengadakan pesta untuk merayakan kedatangan penguasa tertinggi Mkzie Group. Acara tersebut di selenggarakan di kota Madrid, bertempat di gedung perusahaan. Undangan diperuntukan untuk seluruh pekerja Mkzie Spain Group, para rekana bisnis dan beberapa orang yang di pilih oleh CEO Mkzie Spain Group. Letak pesta berada di lantai paling atas yang satu wilayah dengan ruang CEO dan meeting. Lantai atas gedung itu di desain khusus, berbeda dari lantai-lantai lainnya. Ada sebuah aula yang sangat luas, berguna untuk seminar atau acara-acara yang di adakan oleh perusahaan.

Para pekerja begitu senang saat Mkzie Spain Group mengadakan pesta. Sudah lama sekali pesta tidak terjadi disana. Lahan parkir luar dan dalam sudah tampak ramai, tamu-tamu sudah berdatangan. Tampak beberapa awak media rela menunggu di depan gedung, mereka siap meliput kedatangan pemilik tertinggi perusahaaan properti itu beserta rombongannya. Namun Allard Mackenzie lah yang lebih ditunggu-tunggu, jarang sekali Allard mempijakan kaki di Spanyol.

Ada dua awak media yang mendapat undangannya. Rex mengundang mereka karena acara pesta tersebut ia gunakan untuk memperkenalkan Litzi kepada publik. Apakah Litzi tahu? Gadis itu tidak mengetahuinya, Rex sengaja menyembunyikannya. Ngomong-ngomong dimana Litzi? Gadis itu masih ada di mansion. Keluarga Mackenzie pun belum pergi ke gedung. Dan ya, Litzi harus menghadapi orang asing lagi. Setelah Allcia, Rex, Kharel, Allard dan Harsha; tadi siang saat pulang sekolah, Litzi dikejutkan dengan dua sosok yang wajahnya mirip di dapur. Lengkap sudah, keluarga Mackenzie ada di dalam mansion itu. Waktu itu Litzi hendak mengambil minuman di dalam kulkas, tapi dia kaget begitu melihat si kembar Mackenzie.

Dua pria kembar itu baru tiba dari USA. Mereka adalah Laiv dan Elroy Mackenzie, si kembar yang saling bertolak belakang. Laiv pria yang jarang tersenyum, misterius tapi perduli. Sedangkan Elroy pria humoris, jahil dan dikenal baik. Di ketahui brother's Mackenzie itu dua pria single, tapi mereka juga punya mantan. Kesendirian kembar itu pun di manfaatkan para wanita untuk berlomba-lomba mencuri hati mereka, namun Laiv sulit di dekati, sama seperti Rex.

"Hey, dimana gadis bernama Litzi itu?" tanya Elroy.

Kharel yang tengah mengenakan dasi kupu-kupu tersenyum, "Kenapa kau menanyakannya?"

"Aku mau minta maaf padanya," jawab Elroy.

"Karena kau sudah menuduhnya maling," timpal Kharel tertawa pelan.

Elroy tertawa, "Bukan menunduhnya! Niatku bercanda saja. Aktingku bagus kan?"

"Ya! Beralihlah jadi aktor! Kau ini, suka sekali menjahili orang."

"Intropeksi sebelum bicara!"

Kharel cengingisan. Elroy yang duduk di tepi ranjang membayangkan kejadian tadi siang. Sungguh, itu hal yang lucu baginya dan menjengkelkan untuk Litzi. Litzi di teriaki maling saat melihat Litzi berdiri diambang pintu ruang makan oleh Elroy, ekspresinya pun benar-benar serius. Laiv yang saat itu mengunyah apel hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kejahilan adiknya itu. Laiv juga kasihan melihat Litzi yang terpaku dengan kedua mata terbelalak saat Elroy meneriakinya maling. Kehebohan itu sampai memancing banyak orang. Mereka semua datang ke ruang makan untuk melihat apa yang telah terjadi. Mereka bertanya pada Litzi dimana malingnya dan Elroy sungguh menyebalkan! Ia menujuk Litzi sambil menggigit apelnya, bahkan ekspresi Elroy mendukung sekali. Seakan-akan Litzi benar-benar malingnya.

Berada di posisi itu, Litzi panik! Ia meyakinkan mereka bila ia tidak melakukan apapun dan tidak mengerti dengan Elroy yang tiba-tiba menuduhnya. Tetapi Elroy terus saja memojokan Litzi bila gadis itu adalah pencuri. Melihat Litzi pucat pasi, Rex menegur Elroy untuk menghentikan kejahilannya. Rex tahu bagaimana sikap adik keduanya itu. Elroy tergelak dan membongkar kepura-puraannya sendiri. Mengetahui hal itu, Litzi berlari pergi. Ia merasa kesal dan konyol berada di keadaan itu. Rex pun mengejarnya untuk menjelaskan sikap Elroy. Semua orang yang ada disana, termasuk Allard dan Harsha geleng-geleng kepala. Mereka heran dengan Elroy. Candaan yang dilakukannya bisa saja berakibat fatal, dia bisa membuat kondisi menjadi tegang. Elroy memegang telinganya, ia ingat ketika Harsha menghampirinya dan menjewer telinganya meski tidak terlalu sakit. Harsha tidak marah, dia memperingatkan Elroy untuk tidak bercanda berlebihan. Elroy bahkan mencubit pipi Ibunya itu dengan gemas. Membuat Laiv, Allard, Allcia dan para pelayan tertawa.

"Kharel, hubungan Rex dan Litzi itu spesial tidak ya?" tanya Elroy.

Kharel mengangkat kedua bahunya, "Entah! Kenapa kau berpikir begitu?"

"Aku lihat, Rex begitu perhatian padanya. Apa karena dia serius dengan keputusannya untuk mengurus Litzi?"

"Jika dia tidak serius, gadis itu takkan mungkin ada disini. Lagipula, dia sangat perhatian pada gadis itu. Biasanya dia jarang di mansion, tapi semenjak gadis itu ada disini, dia lebih sering pulang awal dan betah di sini. Tiap waktu, dia mengurus gadis itu."

"Romantis sekali," Elroy tampak menerawang, "Jika dia wanita, dia cocok jadi Ibu. Ibu yang penuh perhatian. Seperti Mommy kita," tambahnya.

"Jika Rex diposisi sebagai kekasih gadis itu, wanita mana yang tidak menjerit? Bahkan ku pikir-pikir, Rex lebih romantis dibandingkan aku."

"Kau romantis, tapi sayang... cuma modal dusta!" Elroy meledek adiknya itu.

Kharel melempar kakaknya itu dengan botol farfumnya, Elroy tertawa karena berhasil melesat.

"Sekarang kau bebas mengataiku. Tapi lihat suatu saat nanti!" kata Kharel menantang Elroy.

Elroy tertawa, "Bicara saja itu hal yang mudah! Semua orang juga bisa! Buktikan kata-katamu, jangan cuma bilang, lihat suatu saat nanti! Tapi hasilnya... nol! Payah!"

"Serius! Tunggu hari itu tiba! Aku kan di nobatkan menjadi pria paling setia di bumi ini!" Kharel menyanjung dirinya sendiri.

Elroy mengangkat satu alisnya, "Yakin bisa mengalahkan posisi Daddy? Kau tahu kan kisah cintanya itu langka di dunia ini, di luar angan-angan."

"Tapi itu nyata kan? Misalkan itu cuma cerita atau fiktif belaka, takdir Tuhan siapa yang tahu?"

Elroy mengangguk dan kembali ke topik Litzi dan Rex. "Jadi?" tanyanya.

"Tidak tahu. Aku sudah pernah bertanya pada Rex, tapi dia malah menjawab... apa urusanmu? Begitu," jawab Kharel lalu mematut diri di cermin.

Elroy mendengus, "Misterius. Menurutmu, Laiv?"

Tak ada satu patah kata pun terlontar dari mulut Laiv. Elroy dan Kharel mengernyit menatap Laiv. Tampaknya Laiv sedang melamun di dekat jendela, dia berdiri di sana dan cool dengan tuxedo yang ia pakai.

Litzi berada di walk in closet bersama puteri Mackenzie, Allcia. Gadis remaja itu tampak memandangi kedua gaun yang modelnya sama namun berbeda warna. Yang satu putih dan satunya lagi hitam. Kedua gaun itu dibelikan oleh Rex ketika ia dan si tampan itu jalan-jalan sore. Saat itu Litzi memilih gaun putih, namun Rex malah membeli warna hitam juga.

"Kenapa? Aku bebas menggunakan uangku secara cuma-cuma bila itu untukmu."

Litzi mendesah, ia ingat ucapan pria itu. Meski dengan tampang dan nada angkuh yang dibuat-buat. Sungguh, lemari penuh dengan pakaian baru. Namun lagi-lagi Rex menambahnya. Seakan-akan isi lemari itu adalah koleksi. Sepatu pun dari berbagai jenis punya ruangan tersendiri di walk in closet, sebab disana penuh dengan puluhan sepatu bermerk. Dan itu, suatu keberuntungan lagi untuk Litzi. Sebenarnya Litzi tidak mau di perlakukan dengan cara yang berlebihan, tapi kalian tahu kan bagaimana Rex? Seandainya Litzi tahu sesuatu apa di balik sikap dan perilakunya kepada dirinya itu.

"Jadi Litzi, kau pilih yang mana?" tanya Allcia.

"Menurutmu bagus yang mana?" Litzi bertanya balik.

"Kenapa aku? Ayo, pilih sendiri! Pilih dia atau aku?" kata Allcia, "Eh! Aku jadi ingat iklan di televisi Indonesia," tambahnya dengan tertawa pelan.

Litzi mengernyit, "Sungguh, itu terdengar ambigu. Gaun tak ada kaitannya dengan dia dan dirimu."

Allcia masih tertawa pelan. "Oh ya, jadi kau pernah ke Indonesia?" tanya Litzi.

Allcia mengangguk dengan semangat, "Pernah! Itu sudah lama sekali. Waktu itu Mom and Dad mengajakku ke kota Jakarta untuk urusan bisnisnya dan.. sebuah kota bernama.. emm... sebentar biar ku ingat-ingat. Ah, ya! Bogor!"

Litzi mengerutkan dahi, "Apa? Bwo.. bo.. guour."

Allcia yang mendengarnya lantas terkekeh. Tawanya bahkan memenuhi seisi walk in closet. Siapa yang tidak tertawa? Siapapun pastu tertawa ketika mendengar gadis berlogat Spanyol menyebut kota Bogor dengan sebutan bwo-guour.

"Kenapa kau tertawa? Apa aku salah menyebutnya?" tanya Litzi kebingungan.

"Litzi, Litzi! Jika Rex mendengarnya, dia juga pasti menertawaimu! Hahahah! Aduh! Perutku sampai sakit," kata Allcia di tengah tawanya.

Litzi menahan rasa malunya, "Em.. aku.. aku susah mengucapnya."

"Itu mudah. Biasakan saja. Dengarkan dan ikuti aku! Seperti ini, Bo. Tanpa haruf W ya. Bo. B and O. Bo!"

"Bo."

"Nah, itu bisa! Ayo lanjut! Gor. Cukup huruf G, O dan R. Gor!"

"G.. go.. gor!"

"Nah! Sambungkan! Bogor! Bo and gor, Bogor!"

Litzi menarik nafas dan menghembuskannya pelan, "Bo.. bogor!"

Tiba-tiba saja Allcia bertepuk tangan dengan senangnya. Ia memuji Litzi yang akhirnya bisa mengucapkan kata Bogor dengan benar. Yahhh, meski hanya terdengar satu kali saja. Allcia juga mengatakan bila lucu mendengar orang menyebut nama kota itu dalam logat Spanyol. Padahal sederhananya, pengucapannya biasa. Namun itu hal yang dimaklumi karena Allcia dulunya juga begitu, tapi lama kelamaan juga terbiasa. Allcia menceritakan pada Litzi bila waktu itu mereka ke kota Bogor, Indonesia, untuk memenuhi undangan pernikahan anak rekan bisnisnya.

"Eh, sudah! Kenapa jadi bahas kota Bogor? Ayo! Pilih gaunnya dan aku akan mendandanimu," kata Allcia.

Litzi tetap jatuh pada pilihan pertamanya yakni gaun berwarna putih itu. Gadis itu pun menyalin bajunya dengan gaunnya. Allcia terkesima, tanpa make up saja Litzi terlihat menakjubkan bagaimana di tambah riasan? Luar biasa! Allcia menyuruh gadis itu duduk dengan tenang. Ia akan mengikuti permintaan Litzi untuk meriasnya tidak terlalu berlebihan. Allcia juga sebenarnya atas suruhan kakak tertuanya, Rex. Tapi Allcia tidak keberatan, justru merasa senang. Untuk urusan make over ataupun make up Allcia Mackenzie juaranya, kedua hal itu adalah hal yang kecil untuknya. Ia suka mendandani orang, tapi jarang merias dirinya sendiri. Allcia hanya berdandan untuk urusan tertentu saja, salah satunya ketika dia ada sesi pemotretan atau fashion show.

Beberapa menit kemudian, Allcia pun selesai. Ia gemas melihat pantulan Litzi di cermin rias, Litzi sangat cantik. Litzi pun mengenakan sepasang sepatu ber-heels yang dipilih oleh Allcia. Lalu gadis remaja itu pun mematut seluruh tubuhnya di depan cermin yang berukuran besar itu. Litzi tersenyum, dia baru sadar kalau dirinya cantik. Selama ini ia tak perduli dengan dirinya sendiri. Sering berdandan ketika masih menjadi sexy dancer, jangankan untuk mengaca, mengetahui fakta dia adalah sexy dancer saja ia sudah muak dengan dirinya sendiri.

"Eres muy hermosa!" ucap Allcia dengan decak kagum.

"Gracias. Tapi aku tak secantik dirimu. Aku sendiri kagum dengan kecantikanmu," kata Litzi.

Allcia merangkul Litzi, "Tidak. Muy bien. Kita sama-sama cantik."

*(Eres muy hermosa : kau sangat cantik, Gracias : terimakasih, Muy bien : baiklah).

Litzi tertawa bersama Allcia. Entahlah, Litzi sendiri tidak tahu kapan ia dan adik trillionaire itu akrab. Litzi tak lagi merasa canggung dengan mereka berdua. Kecuali untuk Allard, Harsha, Kharel, Laiv dan Elroy.

Ah, mengingat adik kembar trillionaire itu.. aku jadi panas dingin begini. Bagaimana jika diluar aku bertemu dengan mereka? Apalagi dengan Elroy, batin Litzi.

Litzi sedikit terkejut saat Allcia menarik tangannya. Mereka keluar dari kamar itu. Sepanjang lorong, Litzi memikirkan trillionaire itu. Ngomong-ngomong kemana Rex? Sosok Alejo yang menghampiri mereka, membuat mereka menghentikan langkah kaki. Sejenak Alejo menatap Litzi dari atas sampai bawah, memuji kecantikan gadis itu di dalam hati. Alejo pun mengatakan apa yang kan dia katakan, kepala pelayan itu memberitahu Allcia dan Litzi bila Allard, Harsha, Laiv, Elroy dan Kharel telah menunggu di limousine. Allcia menyimak, sedangkan Litzi justru mengabaikan perkataan Alejo, ia melirik sana sini untuk mencari Rex sampai menatap lantai bawah yang terlihat dari lantai dua tempat ia berpijak.

"Litzi, ayo!" ajak Allcia tanpa menggandeng Litzi.

Litzi mengekori Allcia. Begitu keluar dari lift, Litzi masih saja mengedarkan pandangannya untuk menemukan sosok Rex. Ketika Allcia sibuk berkutat pada ponselnya seraya tertawa, tiba-tiba saja dari arah lorong seseorang mencekal lengan Litzi dan menariknya dengan cepat.

"Aaaa!"

Allcia lantas menoleh, "Litzi!"

Allcia mengerutkan dahi, kenapa Litzi tiba-tiba menghilang? Barusan ia mendengar suara teriakan tepat di belakangnya. Suaranya mirip dengan Litzi.

"Litzi!" Allcia mencoba memanggilnya.

Allcia melihat suatu bayangan bergerak di dinding lorong, ia dengan cepat berlari ke arah lorong itu dan memanggil Litzi. Namun.. kosong, tak ada seorang pun. Allcia membalikan badan dan terlonjak kaget karena tiba-tiba saja Alejo ada di belakangnya.

"Paman! Mengagetkanku!" kata Allcia dengan jantungnya yang berpacu cepat.

"Maaf, Nona. Nona Allcia, aku melupakan sesuatu. Tadi Tuan Rex bilang padaku kalau dia--"

"Pasti Litzi bersamanya!" potong Allcia dengan senyum lebarnya.

Alejo mengernyit, "Bagaimana, Nona tahu?"

"Mudah untuk ditebak!" balas Allcia, "Pria satu itu tak gentar untuk mempertahankan Litzi selalu di sampingnya!" tambahnya sembari melenggang pergi.

Pria itu membawa tubuh mungil Litzi ke dalam lift. Litzi tadi panik saat seseorang menarik tangannya, bahkan sempat berteriak, namun mulutnya di tutup erat, begitu juga matanya. Litzi meronta-ronta, berusaha lepas dari pria itu. Sosok pria terlintas dipikirannya ketika ia menghirup aroma maskulin yang familiar, akan tetapi ia berpikir bisa saja seseorang yang bersamanya adalah orang lain.

"Emm!!" Litzi masih meronta dan berusaha menarik tangan pria itu.

"Litzi."

Dalam sekejap, gadis itu terdiam saat mendengar suara pria itu di telinganya. Nadanya lembut sekali. Ia merasakan mulutnya tidak dibekap lagi.

"Mr. Rex." Nama itulah yang keluar dari mulut Litzi.

"Tepat pada sasaran," balas Rex seraya tersenyum.

Litzi menarik tangan Rex ketika ia merasakan kedua tangan yang menutup mata dan mulutnya melemah. Litzi lantas mendongak dan bertemu dengan tatapan lembut trillionaire itu. Dilihat dari bawah saja ketampanannya terlihat jelas, pesonanya pasti dapat dilihat dari segala arah.

"Hola, baby!" ucap Rex dengan senyum manisnya.

Mendengar kata mesra pada ujung ucapan itu, tatapan Litzi terpaku dan ia lantas beringsut menjauh.

"Em.. Mr. Rex, ku pikir kau siapa," ucap Litzi dengan memalingkan wajahnya.

Rex mengulas senyum ketika melihat Litzi yang berusaha menyembunyikan salah tingkahnya. Dalam hati Rex juga memuji keindahan makhluk ciptaan Tuhan yang ada di depannya. Ia senang melihat Litzi mengenakan gaun yang ia belikan, gaun putih sebatas paha dengan pita hitam yang melingkar di bagian pinggangnya dan manik-manik seperti berlian dibagian kerahnya. Litzi masih memalingkan wajahnya, ia rasa kedua pipinya merona. Entahlah, tiap kali pria itu mengucapkan kata manis, ia jadi salah tingkah.

Pintu lift terbuka, lift itu telah sampai mengantar mereka ke lantai paling bawah. Rex lebih dulu keluar, Litzi mengekorinya seraya meremas jari jemarinya di belakang tubuhnya. Jantung Litzi masih berpacu cepat. Litzi tersentak dan spontan menabrak punggung Rex saat pria itu tiba-tiba saja berhenti. Rex membalikan tubuh dan pergerakan tubuhnya menyenggol bahu Litzi, sehingga gadis remaja itu siap untuk jatuh. Tapi bukan Rexford Mackenzie namanya kalau tidak sigap, apalagi menyangkut soal Litzi. Dengan cepat Rex mendorong punggung Litzi sampai gadis itu ada dalam dekapannya. Rasa sakit di kening dan hidungnya ketika menabrak dada bidang Rex, seolah-olah tidak terasa saat ia tahu tubuh siapa yang ditabraknya. Ditambah dengan memeluknya.

Egh! Kenapa aku malah memeluknya? batin Litzi.

Litzi memundurkan kepalanya supaya menjauh dari dada bidang Rex, kemudian melepaskan pelukannya. Namun lagi-lagi Rex membuatnya membeku saat pria itu sendiri merengkuh pinggangnya dan mendorongnya sampai kembali merapat. Untuk menahannya, Litzi menekan dada Rex dengan kedua tangannya.

"Peluk saja aku," kata Rex.

"Hah?" Litzi bertingkah seakan-akan tidak mendengar ucapan barusan.

"Tak ku sangka, kau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan," gumam Rex.

"Maksudmu?" tanya Litzi tanpa menatapnya.

"Maksudmu apa dengan tiba-tiba memelukku?" Rex balik bertanya.

"Me.. melukmu? Itu.. itu aku refleks! Itu karena salahmu sendiri. Kau berhenti secara tiba-tiba lalu membalikan badan dan aku--"

"Apa?" potong Rex, "Aku apa, hem? Sengaja mau jatuh agar aku menjadi superhero begitu? Supaya aku menarikmu dan kau bertingkah menabrak tubuhku lalu memelukku? Ish! Cerdik sekali," tambahnya.

Litzi mendorong pria itu sekuat tenaga dan menatapnya kesal. Ia tak setuju dengan apa yang dilontarkan Rex. Jelas-jelas Rex sendiri yang membuatnya jatuh. Tapi tanpa rasa dosa menuduh Litzi bila dia lah yang berakting sedemikian baik agar bisa memeluknya. Rex menyandarkan tubuhnya di dinding kaca itu sembari memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana, menatap gadis itu tanpa menyurutkan senyumnya.

"Enak saja menuduhku!" kata Litzi sembari mengalihkan pandangannya.

"Akui saja, Nona," balas Rex.

"Mr. Rex! Kau lah yang seharusnya mengakui kesalahanmu! Jangan terus menuduhku!" balas Litzi tak mau kalah.

Rex melebarkan kedua tangannya, "Come here, baby! Hug me!"

Litzi mengerutkan dahi dan menatap pria itu. Rex masih saja bersikap defensif dengan arogan dan tanpa wajah berdosa. Melihat ekspresi Rexford Mackenzie yang terkesan seksi, berhasil membuat lidah Litzi kelu untuk membalas perkataannya. Di tambah lagi menyadari betapa menawannya Rex saat mengenakan tuxedo.

"Kau mau memelukku kan? Lihat! Aku siap menyambutmu. Ayolah! Aku sudah tidak sabar lagi," kata Rex.

"Mr. Rex, tolong berhentilah. Jangan menuduhku. Jangan melempar kesalahanmu pada orang lain," ucap Litzi.

Tiba-tiba saja Rex berjalan menghampirinya, masih dengan melebarkan kedua tangannya. Litzi terus berjalan mundur sampai punggungnya bersandar pada dinding kaca itu, tangannya pun menyentuh kaca yang terasa dingin itu. Gadis berusia 17 tahun itu meneguk salivanya dan jantungnya kembali berpacu dua kali lebih cepat. Ia berharap, trillionaire itu tidak memeluknya. Litzi terkejut, ia pikir Rex akan memeluknya tapi justru mengunci pergerakannya dengan kedua tangannya yang menyentuh kaca itu. Litzi mendongak dan menatap Rex tanpa berkedip. Sungguh, nafasnya sampai berhenti sesaat karena wajah pria itu hanya beberapa sentimeter darinya.

"Bagiku, untukku.. kau bukan orang lain," desis Rex dengan tatapan dinginnya.

Litzi meneguk salivanya begitu mendapat tatapan tajam Rex. Namun tatapannya kembali melembut bahkan ia tersenyum, Litzi seolah-olah melihat kupu-kupu berteberangan dari wajahnya begitu menatap betapa lembutnya raut wajah yang ditunjukan trilionaire itu. Tiba-tiba saja Rex menarik tangan kanan Litzi dan menempelkan telapak tangan gadis itu tepat pada area jantungnya. Litzi merasakan jantung pria itu yang amat berdetak, sama sepertinya.

"You're my heartbeat," ucap Rex.

Mendengar kata-kata itu, tubuh Litzi membeku. Terkejut, tersentuh dan bingung menjadi satu. Ia tidak mengerti. Pikirannya berubah penuh dengan ucapan Rex barusan, perkataan itu terngiang-ngiang.

Rex mengulas senyum, "Aku takkan mengubah apa yang ku katakan barusan."

"Emm... itu.. itu tadi kau ya yang bilang?" Litzi tersenyum canggung.

Rex mengernyit, "Apa maksud? Jadi kau tidak dengar?"

"Em.. aku--"

"Baik!" potong Rex, "Akan ku ulang," tambahnya.

Litzi hendak mengeluarkan suara namun Rex membekap mulutnya dengan tangannya. Rex bergerak mendekati telinga gadis itu.

"Litzi Euniciano, you're my heartbeat. You're... my.. heartbeat," ucap Rex dengan nada yang jelas.

Rex memundurkan kepalanya, melepaskan genggaman tangannya lalu mengacak puncak kepala gadis itu dengan sayang.

"Jangan berpura-pura tidak dengar. Tiga kali aku mengatakannya dengan jelas. Okay?" Rex mengulas senyum.

Sungguh, Mr. Rex. Aku tidak mengerti, ucap Litzi di dalam hati.

Rex mengajaknya untuk mengikutinya. Litzi pun mengekori pria itu. Untuk mencoba melupakan apa yang barusan terjadi, Litzi mengedarkan pandangannya untuk melihat lorong yang ia lewati. Sepanjang dinding lorong itu adalah kaca, kaca yang menampilkan pantulan dirinya dan Rex. Litzi penasaran, tempat apa yang terhubung dengan lorong itu. Litzi berdiri disisi Rex untuk melihat apa yang pria itu lakukan.

"Pintu ini hanya terbuka dengan sidik jariku dan password-nya," kata Rex.

Litzi tak bergumam, ia hanya melihat Rex yang sedang memasukan kata sandi di sisi pintu yang terbuat dari kayu itu. Setelah kata sandi dinyatakan benar, pintu itu pun terbuka menjadi dua bagian.

"Ruangan apa itu? Kenapa gelap sekali?" tanya Litzi.

"Kau akan tahu begitu kau masuk ke dalam sana," jawab Rex tanpa menatapnya.

"Bagaimana bisa aku melihatnya? Gelap sekali," balas Litzi dengan kening berkerut.

Rex hendak melangkahkan kakinya, tetapi ia urungkan karena Litzi tidak bergerak untuk mengikutinya. Rex menatapnya, tersenyum sembari menghela nafas. Trillionaire itu tahu jika Litzi takut kegelapan. Untuk meyakinkannya, ia mengamit tangan gadis itu lalu menggenggamnya. Litzi menatap genggaman tangan itu yang entah untuk keberapa kalinya pria itu menggenggam tangannya. Rex berhasil menjinakan Litzi, gadis itu menurut untuk ikut bersamanya. Begitu mereka memasuki ruangan itu, pintu kembali tertutup dan semuanya menjadi terlihat jelas. Lampu-lampu memang menyala dengan sendirinya begitu ada orang yang mempijakan kaki disana. Mereka kembali melewati lorong, meski tidak begitu panjang.

Litzi tercengang saat melihat banyaknya mobil-mobil mewah disana. Mobil-mobil itu dalam posisi rapih dan tampak mengkilap. Rex menjelaskan perihal ruangan seperti area parkir dalam gedung itu. Rex memiliki puluhan mobil mewah, ia memang menyimpan mobil-mobil itu di bagian garasi bawah tanah, tepat dibawah mansion-nya. Rexford Mackenzie juga di kenal hobby mengkoleksi mobil-mobil mewah, salah satunya jenis sport. Triliuner muda itu memiliki mobil sport dengan berbagai merk ternama di dunia. Namun meskipun ia kolektor mobil sport, ia enggan untuk menunjukan garasi luas itu kepada publik.

"Sekarang kau sudah tahu kan?" gumam Rex.

"Semua.. semua mobil-mobil ini, benar-benar milikmu?" tanya Litzi penasaran.

Rex tersenyum, "Apa perlu ku jelaskan dari awal lagi?"

Litzi diam dan membatin, Ku rasa pria dewasa satu ini sulit untuk menghabiskan uangnya. Kenapa dia tidak sekalian mengoleksi jet pribadi.

"Aku juga punya 5 jet pribadi," kata Rex.

Litzi sedikit membelalak matanya. Baru tadi ia memikirkan itu dan Rex langsung membuktikan jika pemikirannya adalah kenyataan.

Kapal pesiar saja sekalian, ucap Litzi dalam hati.

"Aku punya 2 kapal pesiar dan 3 helikopter," kata Rex yang lagi-lagi menjadi suatu yang kebetulan.

Litzi tidak berkomentar. Pria sekaya Rex memang bebas untuk melakukan apapun yang diinginkan. Setidaknya Rex kaya dari hasil kerja kerasnya sendiri. Litzi baru sadar jika tangannya masih digenggam pria itu, ia pun menarik tangannya dan menjaga jarak. Ada rasa tidak suka, ada rasa ingin mengaturnya dengan keras, tapi Rex menahan rasa itu demi kenyamanan Litzi. Sebab dengan kenyamanan, mereka bisa saling berdekatan. Dan ia berharap dengan kedekatan itu, Litzi bisa menjadi miliknya seutuhnya.

Rex memilih salah satu mobil sport yang akan dia bawa ke perusahaannya malam ini. Sebelum dirinya masuk, tentu saja ia membukakan pintu mobilnya untuk Litzi. Begitu gadis itu masuk, ia pun setengah memutari mobilnya dan masuk ke dalam. Lalu mobil itupun melaju meninggalkan tempatnya. Litzi merasakan momen baru lagi, itu ketika dia berada dalam mobil yang terangkat ke atas selama beberapa detik lalu sebuah pintu yang sangat besar dan menyetupai pintu lift di depannya itu terbuka. Rex kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Takjub dengan tempat tinggal trillionaire itu. Mansion Rexford Mackenzie memang dirancang khusus dengan segala fasilitasnya yang sangat modern. Litzi mengernyit ia tak melihat limousine di pelataran mansion.

"Tunggu, Mr. Rex! Bukankah seharusnya kita kesana dengan keluargamu? Mereka menunggu di limousine. Tapi kenapa kau malah membawaku ke lantai bawah dan menaiki mobil ini? Bagaimana dengan mereka? Dimana mereka?" Litzi melontarkan berbagai pertanyaan kepada Rex.

Rex mengacak puncak kepala gadis cantik itu dengan gemas dan seutas senyum.

"Dasar cerewet! Jangan pikirkan mereka, mereka sudah pergi lebih dulu dari kita. Aku sengaja pisah kendaraan karena aku ingin kau--"

"Emm, Mr. Rex.. tanganmu bisa merusak rambutku. Tolong, turunkan!" sambar Litzi seraya menurunkan tangan Rex dan tersenyum kecil.

Litzi, sayang. Aku tahu taktikmu, batin Rex dengan tawa di dalam hati.

"Jangan memotong perkataan orang. Nanti kebiasaan, gadis kecil. Aku sengaja pisah kendaraan karena aku ingin kau dan aku saja dalam satu mobil," jelas Rex.

"Emm," gumam Litzi.

Rex melihatnya sekilas, "Lagipula memangnya kau mau bertemu Elroy?"

Litzi menggelengkan kepalanya. Rex tersenyum miring, "Kau tidak mau kan sampai Elroy mengerjaimu lagi?"

Litzi mengangguk. Rex tertawa pelan, "Jadi lebih baik kau bersamaku, okay? Dia takkan berani menganggumu lagi."

"Baik, itu akal-akalanmu saja," ucap Litzi dengan nada pelan.

"Kau bilang apa?"

"Ah.. tidak."

Selama perjalanan, mereka sama-sama diam. Rex fokus menyetir meski sesekali melirik gadis yang ada di sampingnya itu. Sedangkan Litzi sendiri menatap pemandangan luar terus menerus, ia tak berani melirik Rex, karena Rex pasti memergokinya. Namun tiba-tiba saja Rex mengerem mobilnya secara mendadak hingga bannya berdecit. Rex menggenggam kuat stirnya ketika beberapa mobil sengaja menghalangi jalannya, lalu keluarlah beberapa orang dengan tubuh tegap dari dalam mobil-mobil itu.

"Mr. Rex, siapa mereka?" tanya Litzi dengan cemas.

Rex tidak menjawab. Ia tersenyum kecut dan bersikap santai, meski amarah terus mendorongnya untuk memberontak. Rex tahu siapa orang-orang itu.

"Ku pastikan mereka takkan pulang dalam kondisi baik bahkan... hidup," desis Rex.

******

Brother's Mackenzie

.
.
.

👉 Please, give me vote and comment 👈

PuspitaRatnawati

10.November.2017

(19:16)

*_ _Next To Part 16_ _*

Continua llegint

You'll Also Like

2.1M 98.7K 52
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
MEANDRA Per quemichen

Novel·la juvenil

207K 8.3K 99
Diiincar oleh para lelaki the geng Badboys berkelas untuk dijadikan pacar 'istimewa' oleh mereka yang begitu menginginkannya. Dia adalah Mea Alestara...
25K 2.3K 53
Sequel of My Step Brother. Aiden Ann Mirendeff, putra dari seorang Businessman Eder Von Mirendeff dan Cucu Laki-Laki seorang Multijutawan Hans Mirend...
83.7K 1.8K 34
Aku mengenalnya hanya sebagai pengunjung tetap di rumah makan tempat ku bekerja. dia yang setiap hari selalu datang sebagai pembeli,tak menyangka men...